Malam ini Rei dan delvan sedang bersantai di ruang keluarga dengan segelas kopi hangat, tidak ada kertas atau pun laptop yang menjadi penghalang antara ayah dan anak itu, kini keduanya hanya diam sembari menatap kearah luar jendela.
Sungguh suasana nya sekarang sangat begitu canggung, Rei ingin sekali mengobrol santai dengan Daddy nya, membagi keluh kesah, dan bercerita tentang apa pun yang terjadi kepada dirinya selama ini, Delvan pun sama ia sebagai Daddy ingin sekali bertanya kepada anak nya, 'apakah hari mu menyenangkan', 'apa kau makan dengan baik selama ini'.
Tapi keduanya memang sangat-sangat begitu keras, mereka lebih mementingkan ego, sungguh Rei rindu sekali di peluk Daddy nya dan di berikan kata-kata penenang seperti saat ia terjatuh dari sepedah, ia ingat sekali waktu itu umurnya baru menginjak 3 tahun, Rei sangat keras kepala saat itu dan ingin naik sepeda roda dua.
kalau saja bundanya tidak meninggalkan keluarga kecil ini begitu saja mungkin keluarga ini akan menjadi keluarga yang hangat dan harmonis, saat delvan di tinggal oleh Sinta ia menjadi sangat dingin, padahal waktu bersama dengan Sinta Delvan adalah seorang ayah yang hangat dan berani menunjukkan kasih sayangnya, tapi sekarang ia lebih memilih memberikan kasih sayang itu secara diam-diam.
Rei tidak menyalahkan bundanya sama sekali, karena ia tahu bundanya melakukan itu karena paksaan, saat ia belum tahu apa-apa tentunya ia sangat marah dan ingin sekali membunuh seluruh keluarga bundanya tapi ia langsung di tahan oleh Delvan.
Sudah hampir satu jam lamanya mereka hanya duduk di sofa yang sama hanya agak berjauhan, sampai sekarang mereka tetap bungkam dan kata-kata yang ingin di keluarkan serasa tercekat di tenggorokan, Rei dengan berani menatap kearah Daddy nya yang sedang meminum kopinya sedikit demi sedikit, bahkan minuman dengan rasa pahit itu sudah sangat dingin karena terlalu lama didiamkan.
"Ada apa", ujar delvan, ia tahu kalau sedari tadi rei menatap kearahnya.
"Tidak", balas Rei dan menatap ke arah depan lagi.
Delvan menghela nafasnya pelan dan menaruh cangkir kopi itu di atas meja, "sini", ujar delvan singkat sembari membuka tangan nya lebar-lebar.
Rei kembali menatap ke arah Delvan dengan alis yang naik sebelah, ia bingung apa yang dimaksud oleh Daddy nya satu ini, apakah ia mau menggendong dirinya seperti elvino, karena setiap Delvan ingin menggendong elvino ia selalu membuka tangan nya seperti itu, oh ayolah itu sangat tidak mungkin tubuhnya dengan tubuh Delvan sama besar dan sama tingginya.
(oh iya kalau kalian mau tau tinggi Delvan itu 193, rei 190)
"Apa maksudmu dad", bingung Rei.
"Sini masuk ke pelukan Daddy", ujar delvan, Rei masih saja diam di tempat ia masih belum bisa mencerna semua perkataan delvan tadi, delvan yang sudah mulai kesal pun langsung menarik Rei kedalam pelukannya dan memeluknya erat, sedangkan Rei ia masih saja terdiam tanpa membalas pelukan Delvan sama sekali.
Akhirnya setelah dua menit berlalu Rei membalas pelukan itu setelah ia tersadar, Delvan tersenyum tipis sangat begitu tipis sampai tidak bisa di sebut dengan senyuman bahkan orang-orang yang melihatnya akan mengira itu bukan sebuah senyuman, yang tahu itu senyuman hanya author dan Delvan.
"Bagaimana kabar mu?", Tanya delvan sembari mengusap belakang kepala Rei, sungguh terakhir ia merasakan semua ini saat ia berumur 4 tahun, sejak saat itu Delvan tidak lagi hangat dan terkesan sangat dingin bahkan ketiga anaknya pun sama, mereka jadi mempunyai sifat dingin padahal ketiganya adalah anak sangat ceria waktu dulu.
"Baik", jawab Rei Singkat, sebenernya ia masih sangat gugup sekarang selama puluhan tahun hidupnya ia baru merasakan gugup separah ini.
"Bagus lah, bagaimana pekerjaanmu?", Tanya delvan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELVINO
Teen Fictionelvino Alexander pemuda imut dan cukup tampan tetapi karena keimutan nya lebih mendominasi menjadikan ketampanan nya terhalangi, walaupun memiliki wajah yang imut, badan yang mungil dan sangat baby face bahkan orang mengira ia adalah anak yang baru...