16

772 142 17
                                    

"Ada yang menutup diri dari keluarga baru, bukan karena ia sombong. Tapi sebab ada perasaan tak pantas yang mengganjal di hati karena telah lancang masuk dan menjadi bagian dari keluargamu."

***

Setibanya di rumah, Alin dapat melihat bahwa mobil masih berada di pelataran rumah. Itu artinya Ara pasti juga masih ada di dalam.

Sebenarnya Abi memaksa ingin membantu, namun Alin benar-benar tak ingin merepotkan siapapun kali ini. Lagipula siapa tahu, Ara sedang sibuk memasak atau apalah itu, sehingga tak mendengar panggilan masuk di ponselnya.

Terpaksa Abi langsung pulang. Alin bergegas memasuki rumah yang keadaannya saat itu tidak terkunci, seperti biasa jika Ara memang sedang sibuk di rumah.

Tempat yang Alin kunjungi pertama kali adalah dapur, namun nihil. Ara tak ada di sana.

"Kak Ara?" panggilnya dengan nada santai. Mencoba untuk berpositif thinking.

Hingga akhirnya, Alin berdiri di depan kamar Ara. Panggilannya tadi tak disahuti sama sekali. Alin mengetuk pintu itu beberapa kali, sembari memanggil nama Ara. Namun hasilnya tetap nihil.

Dengan panik, Alin lantas membuka pintu kamar dan menatap ke seluruh ruangan. Hal ini memang tidak sopan. Tapi, jantung Alin berdetak lebih kencang ketika ia tak menemukan keberadaan Ara sekalipun di sana.

Alin bergegas menuju toilet, salah satu tempat yang mungkin saja dikunjungi Ara.

Terkunci.

Pintu toilet di kamar itu terkunci. Alin mengetuknya selama beberapa kali, bahkan memanggil nama Ara dengan kencang.

Nihil. Tak ada sahutan apapun. Panik. Otaknya tiba-tiba buntu. Menghubungi abangnya saja Alin tak mampu.

Pintu kamar yang tadinya terbuka setengah, kini dibuka utuh oleh seseorang. Alin sontak menoleh, dan ternyata Sadam datang.

"Mana kak Ara?" tanyanya langsung.

Alin tak bisa berkata-kata. Sorot matanya mengarah pada toilet. Sadam langsung turun tangan untuk mengetuk pintu toilet berkali-kali seperti yang Alin lakukan tadi.

"Kunci cadangan?" tanya lelaki itu.

Alin menggeleng. Ia sama sekali tak tahu mengenai kunci cadangan toilet di rumah ini.

Sadam lantas keluar mencari sesuatu. Sementara Alin, menangis. Sudah dipastikan bahwa terjadi sesuatu dengan Ara di dalam sana. Andai saja Alin tak keluar hari ini, mungkin Ara tak akan seperti ini.

Sial! Alin jadi menyalahkan dirinya sendiri.

Sadam datang sembari membawa sebuah kawat besi yang panjangnya seukuran pulpen. Entah dimana lelaki itu mendapatkannya, intinya Sadam dengan gerak cepat memasukkan kawat besi itu pada lubang kunci toilet.

Beberapa kali Sadam mencoba, dan selalu gagal, hingga ketika ia menoleh pada Alin, dengan posisi kedua tangan yang masih terus berusaha, kenop pintu itu tiba-tiba saja terbuka.

Pintu kini sudah terbuka sedikit. Sadam mempersilakan Alin untuk lebih dulu masuk.

Ketika Alin masuk, ia mendapati Ara sudah terduduk di lantai dengan keadaan tak sadarkan diri. Masih berpakaian lengkap, tampaknya Ara kepleset hingga menyebabkan ia bisa pingsan.

Alin sontak berteriak memanggil Sadam. Lelaki itu masuk, dan langsung gerak cepat membawa Ara ke ranjangnya.

"Rumah sakit! Kita bawa kak Ara ke sana!" ujar Alin kelimpungan.

"Kita tunggu sampai kak Ara sadar. Kalau dia ngerasa ada yang sakit, kita ke dokter."

"Dia pingsan! Kalau sampai kandungannya kenapa-napa, gue-" Alin menarik rambutnya sendiri, frustasi. "Sumpah, ini salah gue."

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang