33

540 97 6
                                    

"Jatuh cinta sewajarnya ya, cantik. Meski tak dilirik, kamu tetap mahal di mata lelaki yang tepat."

***

Sadam membawa motornya dengan kecepatan sedang. Sejak tadi tak ada satupun kalimat yang terlontar dari mulut keduanya. Hingga mereka berhenti di lampu merah. Alin berdehem, berniat mencairkan suasana.

Namun ternyata Sadam yang lebih dulu buka suara. "Bang Cakra kenapa?"

"Lo khawatir sama bang Cakra?" balas Alin spontan. Sadam tak lagi bersuara. Alin mengembuskan napas pasrah. "Bang Cakra ngejual motor gue."

"Kenapa?!" tanya Sadam sembari menoleh.

"Gue gak tau. Mereka emang lagi kesulitan ekonomi sekarang."

Lampu berubah warna menjadi hijau. Sadam kembali menjalankan mesin motornya.

"Katanya bang Cakra udah ngelamar kerja ke beberapa tempat. Tapi sampai sekarang belum juga dipanggil." Alin lantas tertawa miris. "Yaiyalah, emang perusahaan mana sih, yang nerima karyawan ijazah SMA. Bang Cakra putusin perjalanan kuliahnya gara-gara gak bisa bagi waktu. Gak ngerti lagi gue."

Tanpa sadar, keduanya sudah tiba di pelataran rumah Alin. Alin turun tanpa rasa semangat. Sebenarnya ia malas untuk memasuki rumah itu. Tapi mau bagaimana lagi.

"Mungkin nanti gue bisa bantu tanyain lowongan sama Abang gue. Itupun kalau bang Cakra mau kerja di sana," ujar Sadam.

Alin tersenyum tipis. "Makasih ya," ujarnya lantas beranjak masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai.

***

Begitu tiba di dalam rumah, Ara juga baru saja keluar dari kamarnya. Penampilan wanita itu lebih buruk dari biasanya. Matanya terlihat sembab, dan jelas dia habis menangis.

Alin ingin bertanya, tapi dia sudah terlanjur bersikap bodo amat pada wanita itu sejak awal. Akhirnya Alin memutuskan untuk langsung masuk ke kamarnya.

"Lin..." panggil wanita itu.

Alin menghentikan langkahnya dan berbalik.

Ara berjalan mendekatinya. "Soal motor kamu... Kak Ara minta maaf atas nama Mas Cakra ya." Wanita itu menundukkan pandangannya.

Alin mengembuskan napas pasrah. "Iya kak," jawabnya simpel. Lagipula ia tak tahu lagi ingin bereaksi bagaimana. Mengamuk pun tak akan bisa membuat motor itu kembali lagi.

Ara tiba-tiba saja menghapus air matanya. Entah sejak kapan wanita itu menangis. "Kak Ara gak ngerti, apa yang ada di pikiran mas Cakra akhir-akhir ini."

"Kalau kak Ara dikasih kesempatan untuk balik ke masa lalu, kak Ara bakal milih untuk jadi gadis yang mahal." Ara mengangkat wajahnya, menatap Alin dengan tatapan sendu. Rasa iba di diri Alin muncul.

"Kalau bunuh diri itu gak dosa, mungkin kak Ara udah ngelakuin hal itu sekarang. Atau bahkan sejak dulu," ujarnya lirih.

Alin menggeleng, lantas menggenggam tangan wanita itu. "Duduk dulu di sana ya kak."

Alin menuntun Ara untuk duduk di meja makan. Alin juga menuangkan segelas air putih untuk wanita itu.

Setelah meneguk air putih hingga tandas, Ara memijat kepalanya yang mungkin saja terasa berat.

"Capek, Lin. Bertahan di kondisi yang begini terus, berat. Apalagi kalau partner hidup kita... toxic." Setelah mengatakan itu, ia lantas menggeleng. "Maaf ya. Kak Ara gak bermaksud untuk jelekin mas Cakra."

Hening selama beberapa saat, hingga Alin akhirnya bersuara. "Jadi... bang Cakra yang paksa kak Ara sampai kak Ara hamil dan putus sekolah?"

Ara cukup kaget saat mendengar pertanyaan itu. Alin tak peduli apakah Ara akan marah atau tersinggung dengan ucapannya. Intinya dia hanya ingin mendapat jawaban pasti atas pertanyaan yang dua tahun terakhir mengganjal di benaknya.

"Gak ada paksaan. Semuanya murni karena kita saling mau."

Gantian, Alin yang kaget mendengarnya.

"Mas Cakra itu Abang kelas kak Ara waktu SMA." Ara menyandarkan punggungnya pada kepala kursi. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengelus perut buncitnya. "Waktu itu malam tahun baru. Temen sekelas kak Ara ngajak keluar malem, dan ternyata mereka pada punya pasangan. Kak Ara gak sengaja ketemu sama mas Cakra yang waktu itu juga keliatan gak ada pasangan di circle nya. Sebenarnya kami gak saling kenal. Cuma sebatas tahu, kalau dia salah satu alumni."

"Itu kali pertama kak Ara keluar sampe larut, bahkan pulang ke rumah dini hari. Itu juga kali pertama kak Ara ngerasa jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama mas Cakra, padahal malam itu moment pertama kali kami saling kenal."

"Setelah pukul dua belas lewat, moment tahun baru juga baru dimulai, Kak Ara izin pulang duluan, karena suasana udah gak mendukung di sana. Bukannya menikmati moment tahun baru, temen-temennya kak Ara malah sibuk sama pacarnya masing-masing. Dan mas Cakra nawarin untuk nganter balik."

Ara bungkam. Wanita itu beralih menatap Alin, yang tampak antusias mendengar ceritanya.

"Jadi?" Alin akhirnya bersuara, untuk memancing Ara menyelesaikan ceritanya.

"Kamu tau mobil yang sering dipakai mas Cakra setiap hari?"

Alin mengangguk.

"Kami ngelakuinnya di sana."

Alin shock. Yang ia tahu, abangnya dulu adalah seorang laki-laki mahal yang selalu Alin jadikan panutan. Bahkan hingga kuliah pun, tak pernah ada satupun perempuan yang ia ajak ke rumah sebagai pacar.

Dan Ara adalah satu-satunya perempuan yang Cakra kenalkan sebagai calon istrinya di hadapan Alin dan orang tuanya.

"Dua bulan setelah itu, kak Ara positif. Kak Ara ceritain masalah ini ke temen-temen yang waktu itu ngajak kak Ara ke acara new year. Tapi mereka malah ninggalin kak Ara. Mereka mandang kak Ara sebagai wanita murahan, padahal kak Ara tau, mereka juga ngelakuin hal itu sama pacar mereka masing-masing. Kabar itu nyebar ke satu kelas, bahkan ke seluruh penjuru sekolah, sampai akhirnya Papa kak Ara dipanggil ke sekolah. Papa yang minta langsung ke kepala sekolah untuk putusin sekolah kak Ara. Ngeliat Papa yang susah payah nahan emosinya, kak Ara milih untuk kabur."

"Satu-satunya keluarga yang kak Ara punya cuma Papa. Tapi kak Ara gak akan sanggup ketemu Papa lagi, karena kak Ara udah bikin Papa kecewa."

"Itu alasan kenapa kak Ara nyuruh mas Cakra untuk pindah ke sini. Kak Ara pengen ngelupain semuanya. Tapi ternyata ekspektasi kak Ara gak berjalan lancar. Nyatanya, nikah di usia muda ini berat banget."

"Kak Ara gak nyalahin mas Cakra untuk kejadian ini. Karena kak Ara tahu, dia sama capeknya dengan kak Ara."

Deru mesin mobil terdengar berhenti di depan rumah. Tampaknya Cakra sudah pulang, entah darimana.

Alin lantas memeluk Ara. "Makasih karena akhirnya Kak Ara mau terbuka sama aku. Kita lewatin semuanya sama-sama ya kak."

Ara tak menjawab, wanita itu hanya bisa mengangguk. Alin melepaskan pelukannya ketika Cakra masuk ke dalam rumah.

Pria itu tampak biasa saja melihat Alin dan Ara yang duduk bersama. Sebelum masuk ke dalam kamar, ia bersuara.

"Siapin makanan, mas lapar," ujarnya tanpa menoleh.

Ara mengembuskan napas pasrah, sebelum akhirnya beranjak menuju dapur. Alin mengikuti jejak wanita itu.

"Aku bantu ya kak?" tawarnya, dan diangguki oleh Ara.

***

TBC!

Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Terimakasih:)

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang