9

863 160 27
                                    

"Pacar orang itu hadir saat aku butuh. Akan kuterima bantuannya tanpa bilang apapun pada pacarnya. Janji!

***

Move on berarti pindah. Alin yang saat itu pikirannya masih labil memutuskan untuk membuat pelarian diri ke rumah abangnya.

Okelah, masalah hati waktu itu sudah lumayan terobati. Namun sekarang digantikan dengan beban yang lain. Alin harus bertanggung jawab atas keharmonisan rumah tangga sang Abang sebelum ia tinggal di rumah itu.

Tak mau pusing-pusing mendengar keributan antara Cakra dan Ara, Alin memutuskan untuk belajar mengendarai motor. Selain menyenangkan hati Ara karena solusinya diterima, Alin juga tak lagi merepotkan sang Abang kedepannya.

Seminggu bahkan sudah berlalu. Cakra yang turun tangan langsung dalam mengajari Alin mengendarai motor. Tidak ada campur tangan orang lain. Perlahan, Alin akhirnya bisa.

Selama seminggu ini, ketika berangkat sekolah, Alin dituntun dari belakang oleh sang Abang hingga ke SMA Purnama. Ketika pulang sekolah, Sadam yang menggiringnya dari belakang. Oh, bukan Sadam. Itu paksaan dari Naumi.

Namun hari ini, Cakra tak bisa menemaninya, karena pria itu berangkat kerja di pukul sembilan. Kemarin juga pria itu lembur kerja, hingga pagi ini ia masih tidur. Alin sungkan membangunkan abangnya.

Sialnya, Naumi hari ini tak sekolah. Gadis itu sakit karena mengajari para junior di ekskul dance kemarin.

Alin melangkah keluar rumah. Dilihatnya Sadam baru saja memanasi motornya di pelataran rumah. Ia bahkan belum berganti seragam. Jika harus menunggu Sadam, maka Alin bisa terlambat.

Terpaksa, kali ini Alin turun ke jalan sendirian.

***

Ara baru saja menyaksikan adik iparnya pergi sembari mengendarai motor sendirian. Hingga detik ini, Ara belum juga akrab dengan Alin. Sejatinya Ara memang memiliki sifat yang pendiam dan sukar bergaul.

Menikah dengan Cakra pun, itu karena sebuah keterpaksaan. Kadang Ara merasa sangat bersalah, sebab ia merasa Cakra harusnya mendapatkan gadis yang lebih baik darinya.

Hamil diluar nikah di masa sekolah, membuat orang tuanya murka. Ara dikeluarkan dari rumah. Orang tuanya malu menanggung seorang anak pembawa sial sepertinya. Disitulah mental Ara diporak-porandakan.

Hanya Cakra yang baik. Begitu pula dengan keluarganya.

Tapi Ara masih belum terbiasa dengan keadaan ekonomi mereka. Ara terlahir dari keluarga kaya, namun miskin kasih sayang.

Ara bersyukur dengan kehidupan barunya sekarang, tapi Ara masih belajar untuk menerima semuanya lebih dulu.

"Alin mana?" Cakra tiba-tiba saja keluar dari kamar. Wajah bantal serta mata merah bahkan masih terpatri di wajahnya.

"Alin udah berangkat."

"Astaga! Kenapa gak dibangunin?" Cakra berniat hendak menyambar kunci mobilnya di kamar, namun Ara mencegahnya.

"Alin berangkat bareng Sadam. Kamu tenang aja."

***

Was-was, panik, deg-degan, itulah yang Alin rasakan. Bahkan mungkin saat ini telapak tangannya sudah berkeringat saking gugupnya. Alin berusaha bersikap santai, seolah-olah sang Abang sedang menuntunnya dari belakang seperti kemarin-kemarin.

Tibalah di lampu merah. Hal yang membuat Alin kembali merasa khawatir. Beberapa detik menuju lampu hijau. Alin benar-benar menatap lampu lalu lintas dengan fokus.

Hingga lampu hijau menyala, Alin menjalankan motornya. Ada perasaan lega tersendiri di hatinya. Sedikit lagi maka ia akan tiba di sekolah.

Tin!

Sebuah klakson mobil di belakangnya membuat Alin kaget. Mungkin karena posisi motor Alin sedang berada di tengah, padahal kecepatan motornya sedang lambat. Alhasil, Alin menepikan motornya, namun-

Bruk!!!

Sial sekali, Alin tak mengecek kaca spion lebih dulu hingga ia tak sadar di belakangnya terdapat sebuah motor yang melaju dengan kecepatan tinggi, bersamaan ketika Alin menepikan motonya tadi.

Parah! Alin terhempas dari motornya. Benda itu terseret satu meter darinya. Sialnya, orang yang telah menabraknya malah kabur begitu saja.

Sakit. Tenggorokannya terasa tercekat. Satu-persatu kendaraan mulai berhenti, membantunya. Pandangannya mulai memburam, namun Alin masih bisa melihat bahwa Sadam sedang melintas di hadapannya begitu saja, seolah tak ada kejadian apa-apa.

Alin menatap kondisi motornya yang jelas lecet parah. Air matanya terjatuh. Dadanya terasa sesak.

Orang-orang di sekeliling tak berani mendekatinya. Kondisi Alin saat ini sedang terbaring meringkuk di lantai aspal. Orang-orang mungkin mengiranya pingsan atau bahkan meninggal.

Hingga Alin melihat sepasang sepatu berdiri di hadapannya. Alin mendongak, dan kaget ketika mendapati Sadam yang kini menunduk padanya.

Lelaki itu membantunya untuk duduk. Alin menghapus air matanya dengan kasar. Lututnya kini penuh darah. Entahlah bagaimana dengan kondisi wajahnya sekarang.

Sadam kini meninggalkannya. Alin nyaris kembali tumbang, jika saja tak ditahan dengan tangannya. Kepalanya terasa pusing sekarang.

Sadam kembali, lantas menggendong tubuhnya. Ternyata tadi lelaki itu sibuk mencarikan mobil kosong pada beberapa orang di kerumunan itu.

"M-mau kemana?" tanya Alin di sela-sela langkah mereka.

"Rumah sakit," jawab Sadam dengan singkat.

"T-tapi motor-"

"Luka lo parah, bego!"

***

Wajah memar, luka di lutut serta sikut, Alin yang sedari tadi selalu panikan dan tak henti menangis akhirnya diberi obat tidur.

Menjelang sore, Alin telah sadarkan diri dan mendapati ruangannya kosong. Padahal tadinya banyak suster yang menanganinya, sebab Alin sangat merepotkan saat diobati.

Nah kan, Alin kembali memikirkan keadaan motonya. Bagaimana nanti jika sampai Cakra tahu? Oke, sebenarnya itu tak masalah. Tapi bagaimana jika nantinya Cakra sampai melapor pada orang tuanya? Habislah Alin!

Pintu kamar dibuka oleh Sadam. Alin tak menyangka jika lelaki itu ternyata masih menemaninya di sini. Seragam rapi lelaki itu kini sudah kusut dan berantakan.

Sadam menarik sebuah kursi dan duduk di sebelah brankar yang Alin tiduri. Lelaki itu menyerahkan sebuah kertas. Alin menerimanya, dan ternyata itu adalah kwitansi pembayaran rumah sakit.

"Itu utang. Secepatnya mesti dibayar," ujar Sadam tanpa beban.

Dahi Alin berkerut kala membaca nominal uang di kertas itu. Memang tidak seberapa. Tapi untuk sekarang, dia tak memiliki uang sebanyak itu.

"G-gue gak punya uang," jawab Alin jujur.

"Bisa nyicil." Sadam sepertinya tak mau rugi.

Alin mengangguk, "Mulai besok gue cicil. Hm, trus motor gue gimana?"

"Ya rusak."

Alin meneguk salivanya dengan kasar. "G-gue boleh minta tolong gak?"

"Berarti utang lo nambah."

Shit! Demi apapun Alin baru tahu jika ada lelaki mata duitan seperti Sadam!

"Iya, berapapun bakal gue cicil, asalkan motor gue balik seperti semula. Trus, jangan bilang-bilang ke Kak Ara sama bang Cakra ya."

Sadam tampak menimbang-nimbang. Alin berharap kali ini lelaki itu mau menolongnya, ya setidaknya bisa diajak kerjasama.

Tak lama kemudian, Sadam akhirnya bersuara, "Bisa diatur. Lo berutang banyak ke gue."

***

TBC!

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang