4

1.1K 167 30
                                    

"Bertemu orang baru, kuharap masalahku bisa berlalu."

***

Paginya, Alin sengaja bersiap-siap lebih awal. Cakra yang masih mengenakan baju tidur lantas menghampiri adiknya.

"Dek..."

Alin yang sedang memasang sepatu, beralih mengangkat pandangannya. Cakra tampak menggaruk belakang kepalanya sebentar, sebelum akhirnya kembali bicara.

"Hari ini kamu berangkat sama Sadam gapapa kan?"

Alin terdiam. Sebenarnya sejak semalam, ia sudah memikirkan hal ini. Padahal ia sudah berharap bahwa Cakra tak akan mendengarkan saran dari istrinya dan tetap berpihak pada Alin.

"Dek? Gapapa kan?" tanya Cakra lagi. Terpaksa, Alin mengangguk. Meski hatinya sibuk merutuk. Alin bangkit, dan mencium punggung tangan sang Abang. Cakra kembali bicara, "Kamu udah tau dimana rumah Sadam?"

Alin menggeleng. Cakra lantas membawa adiknya untuk keluar dari rumah. "Rumah yang catnya ijo, itu rumahnya Sadam. Mau abang anterin ke sana?"

Alin kembali menggeleng. Ternyata rumah lelaki itu hanya berjarak tiga rumah dari rumahnya. Dengan hati gelisah, Alin terpaksa melangkah ke rumah itu.

Tepat setelah tiba di pelataran rumah Sadam, Alin sempat menoleh kembali ke rumahnya. Ternyata sang Abang sudah tak ada lagi di sana. Alin mengembuskan napas pasrah, lantas mulai mengetuk pintu itu beberapa kali.

Tiga kali ketukan sudah berlalu, namun pintu belum juga dibuka. Di ketukan keempat, jika lelaki itu tak juga membukanya, maka Alin memutuskan untuk pulang saja.

Dan ya, sama sekali tak ada sahutan. Alin berbalik badan, berniat kembali ke rumahnya. Namun suara putaran kunci pada kenop pintu, membuatnya kembali menoleh ke belakang.

Pintu itu dibuka oleh Sadam yang masih menggunakan celana bokser, tanpa balutan atasan apapun. Oke, Alin masih bisa bersikap santai. Lelaki itu menatapnya dengan pandangan tak suka.

"Gue boleh nebeng ke sekolah?" tanya Alin sesantai mungkin.

"Gue bolos," balas lelaki itu lantas menutup kembali pintu rumahnya tanpa basa-basi.

Alin shock. Rasanya ia ingin marah, tapi rasa sesak malah mendominasi di hatinya. Tanpa menunggu waktu lama, Alin berlari ke rumahnya.

***

Dengan kecepatan yang entah berapa kilometer, Alin menggenggam erat belakang motor yang sedang ditumpanginya. Tepat setelah ia pulang dengan keadaan hampir menangis tadi, sang kakak ipar langsung turun tangan mendatangi rumah Sadam. Dan ya, tak sampai sepuluh menit, lelaki itu sudah berseragam lengkap dan siap untuk ke sekolah.

"KALAU LO KEBERATAN, GUE TURUN DI SINI AJA!" Jujur, Alin mengatakan hal ini dengan niatan agar Sadam berbaik hati memelankan kecepatan motornya. Namun sial, lelaki itu malah menghentikan motornya secara mendadak hingga membuat Alin menabrak keras punggungnya. Tapi untung saja ada ransel Sadam di antara mereka.

"Gue turun nih?" Sebenarnya Alin hanya memastikan, meski di dalam hatinya ia berharap bahwa Sadam mengasihaninya.

"Menurut lo?" balasan Sadam sukses membuatnya tak mampu berkutik lagi. Detik itu juga, Alin menuruni motor Sadam dan beranjak tanpa mengatakan sepatah katapun, begitu pula sebaliknya. Oh, jangan bayangkan, jika Sadam akan berbaik hati membujuknya. Tidak! Lelaki itu malah kembali melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Sekarang, mampuslah...

***

Lima menit lagi, bel masuk akan berbunyi, tapi Alin masih tetap berada di tempat tadi. Jarak tempuhnya masih sangat jauh ke sekolahnya. Beberapa angkutan umum yang lewat tak ada satupun yang satu jurusan ke sekolahnya.

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang