21

763 130 19
                                    

"Katanya, rasa suka itu bisa diciptakan. Tapi sepertinya energiku untuk itu sudah habis. Butuh di re-charge dulu."

***

Pagi ini, ketika Alin baru saja naik diboncengan motor Cakra, Sadam melewati mereka. Kali ini lelaki itu menggunakan motornya sendiri.

"Tumben Sadam bawa motor?" Pertanyaan yang dilayangkan Cakra sama persis seperti yang Alin pikirkan.

"Gak tau."

Ngomong-ngomong semenjak Cakra meminjam motornya untuk kuliah serta berangkat kerja, mobil mereka tak lagi digunakan. Paling setiap pagi hanya memanaskan mesin.

Semenjak perdebatan antara Ara dan Cakra waktu itu, tak terdengar lagi perdebatan selanjutnya. Keadaan mereka kembali seperti biasa, meski kali ini, masakan Ara terlihat lebih sederhana dari biasanya. It's okay, Alin paham.

"Dek, kamu gapapa kan, kalau motornya Abang pinjam?" tanya Cakra akhirnya.

"Gapapa bang."

"Maafin Abang ya. Tapi kalau misalnya kamu butuh motornya, bilang ke Abang ya, biar Abang berangkat pakai mobil lagi."

Alin hanya mengangguk, meski anggukannya sama sekali tak terlihat oleh Cakra.

"Bang..." panggil Alin setelah terjadi keheningan beberapa saat.

"Iya dek?"

"Alin beban ya, buat Abang?"

Cakra menghentikan motornya, sebab mereka memang sudah tiba di gerbang SMA Purnama.

"Siapa yang bilang gitu?" Cakra menatapnya lekat.

Alin menundukkan pandangannya, lantas menggeleng. "Maaf kalau Alin sama sekali gak bisa bantu masalah Abang sama kak Ara."

Terdengar helaan napas berat dari Cakra. "Masalah Abang, sama kak Ara, gak ada hubungannya sama kamu."

Cakra lantas mengacak rambut Alin sekilas. "Jangan diambil pusing. Karena apa yang kamu dengar di rumah, semuanya wajar. Ini urusan Abang sama Kak Ara. Tugas kamu, belajar yang rajin, dan janji harus buat bangga Abang, Mama, sama Papa, oke?"

***

"Jadi sekarang lo diantar sama abang lo ke sekolah?" tanya Naumi saat telah tiba di kelas. Tadinya mereka berpapasan saat di gerbang sekolah. Kali ini Naumi berangkat sendirian. "Trus pulangnya gimana? Naik bus kota lagi?"

Alin mengangguk. Tak mungkin ia berkata jujur bahwa Cakra menyuruhnya untuk pulang bersama Sadam.

"Kenapa gak sama Sadam?" Alin sontak menoleh pada Naumi. Gadis itu menatapnya heran, seolah pertanyaannya tampak lumrah.

Alin mendengkus pasrah. "Please lah, Nau. Lo pikir cowok lo sebaik itu nebengin gue?" Itu hanya alibi. Padahal mungkin jika diminta, Sadam mau-mau saja menebenginya.

"Sadam, Alin minta nebeng pas pulang tuh. Boleh kan?" sahut Naumi secara langsung pada Sadam. Lelaki itu tampak sibuk bermain sesuatu di ponselnya. Detik itu juga, Sadam membalas ucapan Naumi dengan deheman pelan.

"Tuh kan, boleh," ujar Naumi. Alin sebenarnya kesal, sebab dia sama sekali tak meminta untuk nebeng bersama Sadam. Tapi tak masalah. Selagi tak ada yang keberatan di antara mereka.

"Buku tugas Matematika kamu mana? Biar aku tulisin sekalian," ujar Naumi.

Alin mendadak tegang. Naumi belum tahu perihal tugas baru Alin yang membuatkan pr Sadam sekarang.

"Udah kelar," jawab Sadam.

"Tumben? Kok rajin?" Naumi jelas heran, pasalnya pacarnya ini memang tak pernah mau repot memikirkan tugas-tugas sekolah.

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang