36

571 82 17
                                    

"Persetan dengan perempuan mahal! Terlanjur dicap buruk oleh semua orang bahkan keluarga. Sekali ini, aku merendah."

***

“Gue tunggu di sini aja ya.” Ujar Alin.

Sadam membuka helmnya, lantas meletakkan benda itu di kaca spion. “Yang mau ngajak lo siapa?”

Alin melepaskan tendangannya, namun melesat sebab Sadam lebih dulu melarikan diri.

Melihat Sadam yang sudah benar-benar pergi, Alin membuka ranselnya lantas mengecek ponsel. Ada tiga panggilan tak terjawab dari sang Mama. Hatinya mendadak tak tenang. Alin akhirnya berusaha menghubungi sang Mama sebab takut terjadi apa-apa.

“Halo, Ma?

“Mama udah angkat tangan sama masalah kamu di sini.”

“Maksud Mama?”

“Wisnu babak belur. Kamu tau hal ini kan? Orang tuanya gak terima, dan nuntut pertanggung jawaban ke rumah.”

Alin dibuat kaget. Apa Sadam menghajar Wisnu keterlaluan?

“Kalian masih remaja. Mama paham kalian masih labil. Tapi kalau sudah menyangkut fisik, Mama gak bisa membenarkan ini, Alin.”

“Tapi, Ma…”

“Tangan kirinya patah.”

Alin menutup mulutnya tak percaya. “Ma, aku minta maaf.”

“Sejak kapan sih, kamu berani pacaran diam-diam? Gini kan akibatnya. Mama jadi ngerti kenapa kamu mutusin untuk pindah ke bang Cakra secara tiba-tiba. Kamu yang pacaran, tapi malah Mama yang repot. Kamu tau udah berapa kali tetangga nanyain kamu yang tiba-tiba pindah. Kamu tau gak berapa uang yang Mama keluarin untuk biaya pengobatan Chia sama Wisnu. Belum lagi malu yang mama rasain karena tiba-tiba didatengin orang tua mereka ke rumah. Mereka marah-marah di depan rumah karena anaknya kenapa-napa. Mama jadi merasa kamu…” Sarah mengembuskan napas pasrah. “Kalau sampai kejadian ini keulang lagi, Mama bawa kamu pulang. Kelarin masalah kamu sendiri!”

Alin mengepalkan sebelah tangannya, menahan emosi.

“Minggir.” Ujar Sadam, padahal posisi Alin sama sekali tidak mengganggu.

“Ini semua gara-gara lo!” Alin berujar dengan nada tak santai hingga membuat Sadam menghentikan aktivitasnya dan menoleh. “Kalau aja lo gak hajar Wisnu, semuanya gak akan sekacau ini!”

Sadam mengernyit heran. “Lo ngomong apa, hah?”

“Barusan Mama telpon kalau Wisnu gak baik-baik aja. Tangannya sampai patah, nyokap-bokapnya minta pertanggung jawaban ke rumah. Nyokap gue yang kena imbasnya!”
Sadam bungkam. Namun kedua matanya menatap tajam.

Semua kalimat emosi yang sejak tadi Alin tahan seketika lenyap. Semuanya berganti dengan air mata. Alin meluapkan emosinya lewat tangis.

“Gue ceritain masalah gue bukan berarti gue minta pembelaan. Gue cuma mau didengar. Lo gak seharusnya ikut campur.” Alin kini menangis.

“Oh gitu?” Sadam akhirnya bersuara. “Kalau gitu mulai sekarang jangan pernah cerita apapun. Gue gak akan ikut campur lagi.”

Alin menghapus air matanya dengan kasar. Sadam malah bergegas menaiki motor dan menghidupkan mesinnya.

“Dam, maksud gue gak gitu.”

“Apa?”

“Gue cuma…”

“Turun.”

Tak lagi membantah ucapan Sadam, Alin langsung turun dari motor lelaki itu. Detik itu juga, Sadam pergi.

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang