46

567 103 51
                                    

"Diam-diam punya hubungan sama pacar sahabat sendiri. Kenapa enggak? Udah terlanjur dituduh juga."

***

"Ikut gue!"

Alin yang tadinya hanya pasrah, tiba-tiba saja memberontak. Entah mungkin karena yang ada di benaknya saat ini hanya seputar Naumi dan Sadam, ia malah berpikir bahwa semua laki-laki yang ia lihat adalah Sadam, padahal aslinya lelaki di hadapannya saat ini adalah Abi.

Bagaimana tidak? Postur tubuh mereka tampak sama. Belum lagi dengan aroma parfum. Alin biasanya mencium parfum ini pada Sadam. Tapi Alin masih tak habis pikir dengan kesalahannya dalam mengenali orang lain.

"Sorry. Gue gak bermaksud kasar. Gue liat tadi lo nangis. Gue gak sengaja nabrak lo di lapangan." Ujar lelaki itu akhirnya.

"Gue gak nangis kok." Elak Alin.

"Gue anter pulang ya?"

Alin mengernyit heran, tak mengerti dengan sikap orang-orang padanya yang mudah berbolak-balik.

"Gue gak mau nambah masalah dengan boncengan sama lo."

"Masalah? Oh, yang waktu itu. Gue sama Alma sekarang lagi break."

"Gue bisa pesan gojek." Tolak Alin dengan halus.

"Gapapa, bareng gue aja. Gue juga mau ke rumah Sadam. Deketan kan?"

Alin menggeleng. "Gue belum mau balik."

"Trus? Lo mau kemana? Biar gue anter."

"Bi, please. Gue lagi pengen waktu sendiri."

"Oke, Lin. Tapi please, izinin gue anterin lo kemana pun. Gue bakal kasih lo waktu sendiri di sana."

Alin kalah. Ia akhirnya naik di boncengan Abi. Persetan dengan perasaan Alma. Gadis itu bahkan tega mengadu-domba hubungan persahabatannya dengan Naumi. Lantas kenapa Alin harus berbaik hati untuk menjaga perasaan gadis itu?

Alin meminta Abi untuk mengantarnya ke dermaga. Hanya sekedar mengantar, bukan menemani. Abi tadinya menawarkan diri untuk menunggu hingga Alin puas menghabiskan waktu di sana, namun sekali lagi Alin menolak dan menyuruh lelaki itu untuk pulang saja.

Dan Abi tak membantah lagi.

Alin menarik napas sekuat-kuatnya, lantas mengembuskannya perlahan. Pikirannya sedang berkecamuk. Ponselnya seketika berbunyi. Saat di cek, ternyata ada panggilan masuk dari sang Mama. Sudah lama Alin tak mengangkat panggilan telepon wanita itu. Alin selalu menunggu hingga telepon selesai, dan beralih untuk mengirimkan pesan pada sang Mama dan memberi tahu bahwa kabarnya di sini baik-baik saja. Ia memberikan banyak alasan tentang mengapa ia tak bisa mengangkat panggilan sang Mama.

Alin hanya takut jika Mamanya menanyakan kabar sang Abang.

Alin harus berbagi cerita dengan siapa? Dengan Ara yang kini sibuk sendiri? Atau dengan Naumi yang benar-benar marah padanya sekarang?

Berkali-kali Alin pikir untuk menyerah, dan memilih jujur pada sang Mama. Mungkin sang Mama akan langsung mendatangi mereka ke sini dan menebus Cakra hingga pria itu bebas. Kemungkinan terburuknya, orang tuanya mungkin akan membawa mereka semua kembali ke rumah. Alhasil pendidikan Alin akan kembali berantakan. Sementara sebentar lagi dia akan lulus sekolah.

Ah, entahlah. Semuanya terlalu rumit untuk dipendam sendirian.

Alin kini duduk di tepi jembatan.

Kapan hidupnya kembali normal?

Kapan keputusannya bisa berjalan singkron dengan takdir? Kenapa semuanya tampak melenceng dan kerap menyerangnya secara mendadak?

Alin muak hidup sebagai si paling serba salah.

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang