35

581 83 7
                                    

"Bodohnya dulu aku malah jatuh cinta dengan binatang liar."

***

Baru saja keluar dari kamar mandi, Alin kaget saat mendapati Ara sedang menunggunya. Mungkin Ara sempat mengetuk pintu saat ia di kamar mandi hingga ia tak menyaut dan membuat Ara langsung masuk.

“Ada Sadam di depan,” ujar wanita itu.

Alin mengeringkan wajahnya sekali lagi dengan handuk kecil sebelum akhirnya keluar menemui Sadam.

“Dendam lo udah gue bales.” Sadam menunjukkan keadaan kepalan tangannya yang tampak memerah.

Alin dibuat kaget. Bagaimana Sadam bisa tahu?

“Lo-”

Ucapannya dengan cepat dipotong oleh lelaki itu. “Dia belum mati kok.” Sadam mengucapkannya dengan nada sesantai itu.

“Dam, lo apa-apaan sih?! Gue gak suka lo ikut campur masalah gue!”

Sadam tak berkutik.

“Kalau dia sampai kenapa-napa gimana?!” Alin berujar dengan nada tinggi.

“Goblok!” Umpat Sadam.

Alin beralih untuk duduk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia kembali menangis. “Lo gak tau apa yang gue rasain.”

“Alma bilang lo abis berantem sama cowok tadi. Masih bisa lo belain orang kayak dia? Sakit lo ya?”

Alin mengangkat wajahnya. “Chia jadi salah satu korban tenggelamnya kapal seminggu lalu dan nyokap disalahin sama pihak keluarga Chia! Wisnu datengin gue karena gak terima untuk musibah yang ditimpa Chia. Gue gak tau siapa yang salah. Dan gue gak mau nyokap sampai kenapa-napa gara-gara gue.”

Sadam menyusul untuk duduk di hadapan Alin. “Tapi bukan berarti dia bisa seenaknya sama lo. Jangan mau ditindas sama cowok. Masih untung lo gue belain.”

Alin menghapus air matanya sekilas. “Sorry. Gue gak bermaksud nyalahin lo. Gue Cuma kebawa emosi sama cerita nyokap tadi. Gue gak tau kenapa masalah sepele yang gue bawa dari sana bisa makin lebar ke sini.”

Keduanya bungkam selama beberapa saat. Tampaknya Sadam memberikan ruang untuk Alin menyelesaikan tangisnya.

“Tapi bukannya tadi lo nganterin Naumi ya? Kenapa bisa ketemu Wisnu?” tanya Alin.

Sadam tersenyum meremehkan. “Masih sudi lo nyebut namanya?”

“Yaudah kalau gak mau jawab!”

Melihat Alin yang kesal, Sadam kembali bersuara. “Naumi minta diturunin. Dia milih pulang pakai gojek. Makanya gue sempat balik sekolah.”

“Kenapa lagi Naumi?”

Sadam mengangkat bahunya, bersikap tak acuh.

“Paling nanti Naumi sendiri yang cerita ke gue.”

Sadam tak merespon apapun. Lelaki itu memilih untuk memainkan ponselnya.

“Jangan cuek ke Naumi. Gue gak mau dia ngerasain apa yang pernah gue rasain.” Ujar Alin.

“Lo pikir gue cowok sampah.”

“Gue gak bilang gitu. Gue cuma ngingetin karena gue sering dengerin Naumi cerita tentang lo.”

Detik itu juga, Sadam bangkit dan berjalan menuju motornya. Tampaknya lelaki itu tersinggung dengan kalimatnya.

Tanpa basa-basi apapun, Sadam menghidupkan mesin motornya meninggalkan Alin. Tak ada yang bisa Alin lakukan selain pasrah.

***

Pukul setengah dua belas malam, Ara belum juga bisa memejamkan matanya. Perutnya yang mulai membesar membuatnya sulit bergerak, meskipun hanya dalam keadaan berbaring. Bunyi mesin mobil di pelataran rumah, dapat didengarnya dari sini. Perlahan, ia bergerak dan melangkah untuk membuka pintu.

Ara membukakan pintu untuk suaminya. Sampai sekarang, Ara tak tahu apa kegiatan Cakra di luar sana. Semakin ke sini, mereka semakin hilang komunikasi.

“Baru inget pulang ya?” Ara akhirnya buka suara. “Gak inget jemput adik kamu di sekolah?”

Cakra yang berjalan di hadapannya kini sontak menoleh padanya. “Alin udah pulang?”

“Mikir gak sih, kalau Alin masih nunggu mas di sekolah, mungkin sampai sekarang dia belum balik.”

Tak mendapati jawaban yang melegakan dari Ara, Cakra memastikan sendiri keberadaan Alin di dalam kamar. Dapat dilihatnya bahwa Alin sedang tidur menghadap dinding saat ini.

“Yang penting Alin udah pulang sekarang. Udahlah, aku gak mau debat!” ujar Cakra lantas berlalu masuk ke kamarnya.

***

“Lin, serius lo gak kenapa-napa setelah dilabrak sama mantan kemarin?” Naumi langsung bereaksi excited kala mendengar Alma yang tiba-tiba menanyakan perihal kejadian kemarin pada Alin. “Kok lo gak cerita ke gue? Padahal lo bisa chat gue loh Lin. Jangan dipendam sendiri terus. Gimana sih.”

“Gue lagi gak mood ngapa-ngapain kemarin, Nau.”

“Gue gak pernah tau kalau lo punya mantan, Lin.” Naumi memandangnya dengan tatapan penuh selidik.

Hingga saat ini Alin memang tak pernah menceritakan alasannya pindah ke sini pada Naumi. “Itu masa lalu gue. Gue lagi berusaha untuk move-on, Nau. Gue harap lo paham.”
Naumi mengangguk sekilas. “Okey kalau lo belum mau cerita.”

“Kita ganti topik ya?” Bujuk Alin agar gadis itu tak ngambek padanya.

“Kemarin gue gak dianterin Sadam sampai rumah.” Sudah Alin duga jika Naumi pasti akan menceritakan hal ini.

“Kenapa?”

“Nyokap lagi ada di rumah. Gue bisa baca, kalau Sadam masih belum siap.”

“Darimana lo tau?”

“Ya buktinya kemarin dia gak nolak sama sekali pas gue minta turun. Pokoknya feeling gue bilang kalau dia masih belum berani.”

Alin mendengkus pasrah. “Ya lo jangan paksa juga kali. Lagian kan masih sekolah. Ntar aja kenalinnya pas udah lulus.”

“Kelamaan, Lin. Rencananya gue mau kenalin Sadam ke nyokap pas gue ulang tahun.” Terdengar raut bahagia dari nada bicara gadis itu. “Bantuin gue ya, Lin.”

Alin berdecih. “Ogah.”

“Okey! Besok gue atur misinya.”

Alin memutar bola matanya dengan malas. Dasar Naumi!

***

Pulang sekolah, seperti biasa Alin akan nebeng dengan Sadam. Menurut Alin hubungan mereka baik-baik saja. Tampaknya Sadam sudah lupa dengan kejadian semalam hingga bereaksi seperti biasa tadi pagi.

Ponsel Alin tiba-tiba saja berdering menunjukkan panggilan masuk dari sang Mama. Alin yang saat itu sedang di parkiran bersama Naumi lantas mereject panggilannya.

“Kenapa di-reject?” Tanya Naumi. Ia sedang menunggu Sadam yang sedang mengeluarkan motornya.

“Nyokap telpon. Gue telpon balik di rumah aja.” Balas Alin. Naumi akhirnya mengangguk, dan kebetulan Sadam sudah mengeluarkan motornya.
Tak lama setelah Naumi pulang, Alin juga ikut pulang bersama Sadam. Saat dijalan, ponselnya kembali berbunyi. Alin enggan mengangkatnya sebab ponsel itu ia letakkan di dalam ransel. Alin memilih mengabaikannya sebab sebentar lagi mereka akan sampai. Semoga saja Sadam tak mendengar bunyi ponselnya.

Tapi ternyata, mereka malah berbelok arah. “Gue mau beli makanan bentar.” Ujar Sadam.

***

TBC!

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang