31

870 123 30
                                    

"Aku sedang butuh didengar, kebetulan pacarmu datang."

***

Cukup panjang curhatan Naumi seputar Sadam yang mulai cuek padanya semenjak gadis itu izin tiga hari. Dan Alin cukup berbaik hati mengorbankan waktu istirahatnya untuk mendengarkan hal itu.

Namun Alin tak sepenuhnya menyesal. Sebab dengan mendengarkan cerita bodoh Naumi seputar Sadam, ia bisa memberikan komentar apapun untuk gadis itu. Alin bahkan menyuruh Naumi memutuskan Sadam tanpa alasan pasti. Namun gadis itu hanya membalas dengan emot nangis.

Dan sekarang, gadis itu menyuruhnya untuk memantau Sadam, apakah lelaki itu berencana pergi ke luar atau tidak. Pasalnya dia mengatakan pada Naumi bahwa dia sedang tak enak badan. Alasan klasik memang.

Lagipula ketika di sekolah tadi, saat ditawari bermain futsal oleh Abi, lelaki itu jelas-jelas menolak dengan alasan ingin jalan bersama Naumi.

Alin sudah stand by di jendela kamarnya. Tepat ketika ia sedang mengetikkan balasan pesan untuk Naumi, ia lantas mendengar deru motor Sadam mendekat.

Seperti yang Alin katakan tadi, dia sudah bersiap-siap dan langsung melancarkan aksinya. Alin membuka jendelanya lebar-lebar, lantas melemparkan remukan kertas pada Sadam.

Hasilnya memang melesat dan sama sekali tak mengenai Sadam maupun body motornya. Namun aksi Alin saat membuka jendela tadi, mampu menyita perhatian Sadam hingga membuat lelaki itu menghentikan motornya.

Lelaki itu menoleh sembari menunjukkan ekspresi tak suka. Rasanya Alin ingin tertawa, sebab aksinya berjalan tepat sasaran. Ia lantas bergegas menutup jendela kamarnya dan pergi menemui Sadam di luar rumah.

Masih dengan ekspresi yang sama. Rasa lucu di dalam diri Alin kini lenyap. Sialan! Ternyata wajah kesal Sadam bisa menular.

"Apa?!" sahut lelaki itu lebih dulu.

Alin meneguk salivanya lebih dulu. "Kak Ara masih gitu-gitu aja. Tadi dia nangis."

"Lo bikin Kak Ara nangis?!"

"B-bukan!" Sumpah demi apapun, padahal tadinya Alin sama sekali tak berniat untuk membahas tentang Ara. "Gue cuma nanya, apa gue beban buat dia. Dimana letak salahnya? Kalau lo nganggap gue salah, berarti lo sama aja kayak Kak Ara."

Alih-alih membalas ucapannya, Sadam malah menghidupkan kembali mesin motornya.

"Lo mau kemana?" tanya Alin cepat. Sadam hanya menoleh, tanpa bersuara. "Hari ini ada tugas Matematika, dikumpulin besok."

"Itu kan tugas lo."

Nah kan. Sebaik apapun Alin memperlakukan lelaki ini, tetap saja tak bernilai apapun di matanya.

"Lo mau kemana? Gue ikut!" Tanpa persetujuan Sadam, Alin menaiki motor lelaki itu. Terkesan lancang memang, tapi Alin juga bosan mengurung diri di kamar. Kemanapun lelaki itu pergi nantinya, anggap saja ini bayaran atas tugas-tugas yang telah Alin kerjakan selama ini.

***

Ternyata Sadam keluar hanya sekedar membeli makan malam saja. Sembari menunggu lelaki itu, Alin memainkan ponselnya dan membalas pesan-pesan dari Naumi. Kali ini Alin berpihak pada Sadam, dan mengatakan pada Naumi bahwa ia tak melihat Sadam pergi kemanapun malam ini.

Sepeninggal Sadam, Alin akhirnya sadar. Tingkahnya malam ini benar-benar bodoh dan memalukan. Kenapa dia bisa serendah ini minta tebengan dengan lelaki yang seharusnya ia benci?

Bersamaan dengan renungan kebodohannya, sebuah pesan tiba-tiba masuk di Instagram. Begitu melihat username yang tak asing itu, Alin kaget.

Pesannya juga terbilang singkat. Hanya sebatas 'P'. Tapi sekali lagi, pesan itu dikirimkan oleh username yang pernah ia kenal sebelumnya.

Dia Wisnu, mantannya.

"Geser," ujar Sadam yang tiba-tiba sudah ada di sampingnya.

"Hm, mantan gue ngechat," ucap Alin tiba-tiba pula. Setelah ini mungkin Alin akan merutuki ucapan yang tak seharusnya ia sampaikan pada orang di hadapannya, sebab ini bukanlah urusan Sadam.

Tapi diluar nalar, Sadam yang saat itu sudah naik ke motor dan bersiap-siap hendak kembali ke rumah, malah menoleh.

"Dia bilang apa?" tanyanya.

***

"Gue gak tau apa yang gue rasain. Lagian paling dia cuma iseng. Yaudah sih gak penting," ujar Alin sembari menyuap makanan yang dibeli Sadam tadi.

Saat ini bahkan ia sedang berada di dalam rumah Sadam. Ara mungkin tak tahu jika dia sedang berada di luar rumah saat ini. Alin masih aman selagi Cakra belum pulang.

"Mungkin dia cuma pengen tau kabar lo," ucap Sadam tiba-tiba.

Alin tertawa sumbang. "Hubungan gue gak sedekat lo sama Naumi kali."

Sembari menyuap makanannya, Alin menatap sekeliling. Rumah ini memang tidak sebesar rumah Cakra dan Ara, tapi keadaan tatanan setiap barangnya terkesan rapi, padahal yang tinggal di rumah ini adalah seorang laki-laki yang setahu Alin adalah seorang pemalas di sekolah.

"Jadi setiap hari lo yang bersihin rumah ini?" tanya Alin, sekalipun ia sudah tahu jawabannya.

"Kenapa? Lo mau jadi babu juga di rumah gue?"

Alin berdecak. Tapi dalam hati, ia cukup memuji kerapihan Sadam ketika di rumah.

"Lo gak balik?" Sadam mengambil alih piring Alin yang sudah kosong. Ia juga bersiap-siap bangkit berniat menaruh piring bekas makan mereka ke dapur.

"Lo ngusir?" tanya Alin balik.

Tak ada jawaban apapun dari Sadam. Lelaki itu juga sudah menghilang menuju dapurnya.

Sembari menunggu Sadam kembali, Alin memainkan ponselnya. Bukannya membalas pesan Naumi ataupun dm dari Wisnu, ia malah sibuk melihat postingan di Instagram.

Beranda Instagram nya dipenuhi oleh berita seputar kapal yang tenggelam di perairan kotanya. 95% korban selamat, dan yang lainnya tewas akibat tenggelam dan terlambat ditolong.

"Kapal yang tenggelam tiga hari lalu masih jadi tranding topic di kota ini ya," ujar Alin ketika Sadam datang.

"Yaiyalah. Selama ini belum pernah ada kapal yang muatannya gak seberapa, dan jarak tempuh yang gak terlalu jauh tenggelam secara tiba-tiba."

"Gak menutup kemungkinan musibah tenggelam itu bisa terjadi kapan aja. Lagian yang gue liat di komentar kapalnya juga udah lama. Udah sering rusak katanya."

Sadam mendengkus pelan. "Yang buat berita itu jadi topik pembicaraan warga karena ada yang tewas. Coba aja kalau semuanya selamat, paling beritanya juga awet sehari-dua hari."

Alin mengangguk. "Kasian yang jadi keluarganya."

"Tau darimana lo mereka punya keluarga?"

Alin sontak terdiam. Ia berdehem pelan, meredam rasa canggung. Ia lupa jika Sadam tak punya keluarga.

"Naumi ngajak gue ke pelabuhan itu besok. Ada upacara tabur bunga. Seumur-umur gue belum pernah ikut acara itu."

Sadam tersenyum sinis. "Maklum sih, lo kan anak kota."

Alin berdecak. "Ngeremehin banget lo! Dahlah gue pulang aja kalau gitu!"

Sadam mengedikkan bahunya tak acuh. Ia bahkan dengan santai memainkan ponselnya. Alin bangkit, mengambil ancang-ancang untuk beranjak dari tempat ini.

Bahkan hingga ia tiba di depan pintu utama pun, Sadam sama sekali tak menahannya atau mengatakan apapun. Sialnya, ketika Alin melirik pelataran rumahnya, sebuah motor yang asing berhenti di sana. Abangnya baru saja pulang dengan gojek.

Perasaan tak enak langsung menyelimuti hatinya. Pasalnya tadi Cakra pergi membawa motornya. Lantas sekarang ia malah pulang dengan gojek.

"Bang Cakra kenapa?!" gumamnya, lantas berlari menyusul Cakra.

***

TBC!

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang