"Jangan main-main dengan masa depan!"
***
Alin membuka ponselnya saat di perjalanan. Ternyata Cakra sempat menghubunginya sebanyak lima kali, tepat saat ia pulang sekolah tadi. Sayangnya Alin membisukan ponselnya, hingga tak sadar dengan panggilan itu.
Sesampainya di rumah sakit, Alin langsung bergegas menuju ruang rawat Ara yang sebelumnya sudah diberitahu Cakra melalui pesan singkat.
Begitu tiba di lorong ruang rawat Ara, dapat dilihatnya bahwa Cakra sedang duduk di kursi tunggu dengan pandangan menunduk.
Alin mempercepat langkahnya, lantas menghambur memeluk sang Abang. Tangisnya pecah, begitu memeluk Cakra.
Sementara Sadam, yang sejak tadi mengikuti langkahnya, kini mundur. Sebab tugasnya mengantarkan Alin ke rumah sakit sudah selesai.
"Kak Ara pendarahan," ujar Cakra dengan nada sendu.
Alin menyudahi pelukannya, lantas menghapus air matanya. "Abang sama kak Ara berantem lagi?"
Cakra tak menjawab. Lagi-lagi Alin tak bisa memutuskan untuk berpihak pada siapa. Sebagai perempuan, ia jelas kasihan pada Ara. Namun sebagai adik, ia juga tak tega melihat Cakra di usia muda yang harus berpikir keras untuk bekerja sana-sini.
"Janin kak Ara kembar, kata dokter," ujar Cakra tanpa ada raut bahagia sedikitpun.
Alin sudah tahu info itu lebih dulu. "Bukannya itu kabar baik, bang?"
Cakra mengembuskan napas pasrah, lantas menyandarkan punggungnya pada kepala kursi.
Kabar ini mungkin akan terasa bahagia jika didengar oleh orang tua yang sudah siap mental maupun finansial. Tapi Cakra, sebagai orang tua muda, sekarang bingung ingin bereaksi bagaimana.
***
Ara hanya menginap di rumah sakit selama sehari. Tak lama setelah mereka tiba di rumah, pintu utama diketuk, dan ternyata Sarah, Mama Alin dan Cakra datang atas permintaan Cakra.
Bukan hanya itu saja, Chia juga datang bersama Mama Alin.
Alin tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat bertemu kembali dengan Chia. Saat di rumah sakit kemarin, Alin menceritakan semua kejadian yang menimpa Ara pada Chia. Paginya, Chia memutuskan untuk ikut bersama Mama Alin ke kota ini.
"Kangen banget sumpah. Lo gak ada niatan mau ngajak gue keliling apa, Lin?" Saat ini keduanya sedang berpelukan. Ngomong-ngomong, hari ini Alin izin tidak hadir sekolah.
"Kakak ipar gue lagi sakit bego," ujar Alin. Chia hanya terkekeh.
"Jadi masalahnya sekarang ada dimana?" Sarah sejak tadi memang memasang wajah serius. Wanita itu memilih duduk di ruang televisi, ditemani oleh Cakra. Sementara Ara, masih istirahat di kamarnya.
Alin membawa Chia masuk ke kamarnya, sebab obrolan Cakra dan Mamanya bukanlah urusan mereka.
"Lin, Abang lo keliatan gak keurus semenjak nikah ya," komentar Chia. "Kira-kira Abang lo nyesel gak sih, nikah muda?"
"Heh! Kalau bang Cakra denger, abis lo!"
Chia memilih duduk di tepi ranjang. "Tapi ini pelajaran besar sih buat lo. Jangan main-main masa depan. Apalagi sama laki-laki."
Alin menatap Chia dengan sinis.
"Ampun, Lin. Gue gak maksud flashback. Lagian gue juga udah jauhin cowok kok sekarang."
"Abang baru resign dari kerjaan lama, Ma. Tugas kuliah juga keteteran. Abang gak bisa fokus di banyak hal. Rumah, kampus, kerjaan."
Alin menyuruh Chia untuk diam sebentar, lantas mendekatkan telinganya pada pintu. Chia beranjak, dan mengikuti hal yang sama.
Tak terdengar percakapan lagi. Tapi tampaknya, Cakra sedang menangis sekarang.
"Abang tau, Abang salah, Ma. Abang udah kecewain Mama sama papa. Gak bisa ngasih contoh yang baik juga buat Alin. Tapi sekarang Abang bingung mau ngapain. Janin di perut Ara kembar, Ma."
"Ponakan lo kembar, Lin!" ujar Chia dengan nada pelan.
"Ssst!" Alin sempat memukul Chia pelan. Selanjutnya, ia membawa gadis itu untuk duduk kembali di ranjang.
Alin menghela napas pasrah. "Gue selalu denger mereka berantem. Keluhin ini-itu, sampai gue capek, tertekan, dan merasa kalau masalah mereka ada sangkut-pautnya sama gue."
Chia mengangguk, dan membawa Alin untuk bersandar di bahunya. Dulu, mereka sering melakukan ini.
"Sabar. Tinggal beberapa bulan lagi, lo bakal lepas dari ini. Lo harus bertahan. Karena rasa tertekan lo, gak ada apa-apanya dari penderitaan Abang sama kakak ipar lo."
Alin mendorong tubuh Chia begitu saja. "Sialan lo!"
Chia lagi-lagi hanya membalas dengan kekehan. "Eh, gue di sini cuma sehari doang loh. Gak mau tau, pokoknya nanti malem lo harus bawa gue keliling."
***
Meskipun Chia sedang menginap di rumahnya, Alin tak melulu menemani gadis itu selama dua puluh empat jam. Alin tetap menjalankan kebiasaan tidurnya di pukul tujuh malam, hingga bangun di pukul sembilan.
Entah apa yang Chia lakukan selama Alin tidur, Alin tak peduli.
Sekarang, beruntungnya mereka mendapat izin untuk jalan-jalan keluar selama satu jam ke depan. Tentunya dengan usaha keras Chia yang membujuk Sarah, dengan alasan Chia ingin mencoba makanan berat khas kota ini.
"Jadi lo mau makan apa? Bakso? Sate?"
"Gila kali lo. Gue diet, Lin."
Chia mulai menghidupkan mesin motor. Walaupun Alin lebih hapal dengan jalanan di sekitar sini, namun ia tak mau repot-repot membawa motor demi menyenangkan hati Chia.
Chia menunggu Alin untuk naik ke motor, sementara Alin sengaja stay di tempatnya. Chia menatap Alin, dan menoleh ke arah pandangan Alin. Chia juga ikut bungkam.
Sadam mendatangi mereka sembari membawa sebuah buku tulis.
"Ada tugas matematika," ujar lelaki itu sembari memberikan buku pada Alin. Itu saja, setelahnya, lelaki itu pergi begitu saja.
"Heh, lo tau tadi gue gak masuk. Gue gak tau materinya apa, dan lo tetep nyuruh gue bikin tugas? Stres lo!"
Sadam lagi-lagi bersikap tak acuh. Tak ada balasan apapun yang keluar dari mulutnya. Ia tetap melanjutkan langkahnya untuk kembali ke rumah. Sementara Alin, menyimpan rutukannya di dalam hati.
"Pantes lo betah di sini," celetuk Chia yang sedari tadi diam memperhatikannya. Alin beralih menatap Chia. "Wisnu gak ada apa-apanya loh, dibanding dia."
Alin menggulung buku milik Sadam dan menyimpannya di dashboard. Ia beralih untuk naik di motor.
"Ngaco lo!"
Bersamaan ketika Chia menjalankan mesin motor, motor Sadam lewat di depan mereka dengan kecepatan tinggi.
"Berdamage!" puji Chia, mampu membuat Alin mendengkus pasrah. "Lin, lo belum kasih tau siapa namanya loh."
"Dia gak punya nama!"
Chia terkekeh. "Oke. Gue tunggu cerita lo tentang dia."
***
TBC!
Hallo! Udah lama banget ga update. Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Terimakasih:)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEKAT (COMPLETED)
Teen FictionDinding berguna untuk membatasi beberapa ruangan dalam sebuah bangunan yang kokoh. Dinding adalah sekat di antara ruangan satu dengan lainnya. Sebuah ruangan tak akan diberi dinding jika lingkupnya masih sama. Sama halnya seperti sebuah hubungan. Se...