17

751 138 9
                                    

"Bosan dengan kalimat semua akan indah pada waktunya. Menunggu sampai kapan? Setelah meninggal kah?"

***

Setibanya di rumah, Alin langsung memasuki kamar. Sadam juga sedang ada di rumah. Terserah, lelaki itu ingin berbuat apa di sini. Alin tak peduli.

Ngomong-ngomong sejak percakapan terakhir tadi, keduanya sama-sama bungkam. Alin jelas tak terima jika abangnya disalahkan.

Alin mungkin tak tahu bagaimana persis kejadian kelam antara Cakra dan Ara. Tapi menurutnya, keduanya sama-sama salah.

Pintu kamarnyanya diketuk tiba-tiba. Alin membukanya, dan ternyata orang itu adalah Sadam.

"Kak Ara mau makan. Tolong siapin piring," ujarnya tanpa beban. Seolah sebelumnya mereka tak terlibat perdebatan apapun.

"Kenapa gak lo aja?!" sinis Alin. Alih-alih menjawab, Sadam beranjak pergi begitu saja.

Jujur, Alin rasanya ingin berlari dan menerjang lelaki itu. Sadam selalu memerintahnya seperti pembantu. Tapi mengingat posisinya di sini tak punya siapa-siapa, Alin menurut. Ia keluar dari kamar, dan menyiapkan piring untuk Ara.

Begitu tiba di meja makan, Sadam ternyata sudah mengambilkan tiga piring. Lelaki itu menatapnya, dan Alin balas menatap tak suka. Sadam membagi seblak tadi menjadi tiga porsi.

"Tolong siapin sendoknya," ujar Sadam dan berlalu begitu saja.

Alin mendengkus pasrah, dan tetap melangkah ke dapur guna mengambil sendok. Saat kembali ke ruang tengah, Ara dan Sadam sudah duduk di meja makan. Belakangan ini, Alin jarang makan bersama. Alasannya dia sering ketiduran di jam makan malam, dan bangun di pukul sepuluh. Jam segitu biasanya Ara dan Cakra sudah istirahat di kamar.

"Tumben gabung?" Pertanyaan sinting itu dilayangkan Sadam padanya ketika Alin baru duduk.

"Sadam!" tegur Ara dengan nada lembut. Persis seperti kakak yang menegur adiknya ketika bersalah. Alin memberikan sendok kepada Ara, dan ketika memberikan pada Sadam, ia melayangkan tatapan tajam dan dibalas kekehan tak berdosa oleh lelaki itu.

"Adik ipar kak Ara pendiam ya orangnya," celetuk Sadam.

Pendiam apanya? Jelas-jelas beberapa menit lalu mereka baru saja berdebat!

"Berarti sifat kita sama. Kak Ara juga dulu pas sekolah pendiem," balas Ara dengan ramah. Kedua mata wanita itu masih tampak sembab. Tapi dengan keberadaan Sadam di sini, Ara jadi banyak bicara.

"Kak Ara pendiem, tapi asik. Beda sama si-"

"Siapa?!" potong Alin dengan cepat.

Ara terkekeh. "Sadam udah. Kebiasaan kamu ya, suka jahil."

Selanjutnya, tak ada perbincangan lagi. Diam-diam, Alin melirik ke samping. Sadam tampak fokus menyantap makanannya.

"Kenapa lihat-lihat?" ujarnya mampu menyita kembali perhatian Ara. Wanita itu geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak laki-laki yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Sementara Alin, membuang muka menahan kesal sekaligus malu.

Dia akui, Sadam memang menyebalkan. Tapi kelakuan lelaki itu tampak berbeda dari biasanya saat di hadapan Ara.

"Eh? Mau ngapain? Udah, biar kakak aja." Ara sontak melarang Sadam yang sedang mengumpulkan piring mereka berniat hendak mencucinya. Kebetulan mereka sudah selesai makan.

"Eits! Bumil dilarang bekerja keras," ujarnya sembari beranjak. "Eh adik ipar, tolong bawain gelasnya sekalian."

Adik ipar yang dimaksud Sadam adalah Alin. Seperti biasa, lelaki itu membabukannya. Tapi tak masalah. Daripada dia dibiarkan berdua saja di meja makan dengan Ara.

Begitu tiba di dapur, Sadam mencuci sendiri piring serta gelas bekas makan mereka. Padahal tadinya Alin sempat berpikir buruk bahwa lelaki itu akan menyuruhnya mencuci piring sebab tak ada Ara di sini.

Hening. Sekarang Alin berpikir, bahwa jangan-jangan Sadam memiliki kepribadian ganda? Padahal beberapa menit lalu lelaki itu menjahilinya di depan Ara. Sekarang, keduanya tampak asing. Aneh...

***

Alin terbangun saat ponsel di sampingnya berbunyi. Ia ketiduran selama dua jam setelah makan bersama Sadam dan Ara tadi. Ngomong-ngomong saat ini Naumi sedang menghubunginya. Sembari menguap, Alin menggeser tombol hijau.

"Lin? Lo tau Sadam lagi dimana?"

"Gue baru bangun tidur, Nau. Lo malah nanyain dia."

"Ih, gue serius. Sejak pagi tadi, pas dia tau kabar kak Ara, dia ngebatalin rencana kami. Mana hp nya gak bisa dihubungi. Wajar gak sih gue panik."

"Paling dia udah balik ke rumahnya."

"Jadi dari tadi dia di rumah lo?"

"Ya menurut lo? Dia kan sayang banget sama Kak Ara. Tadi kak Ara pingsan."

"Oh."

"Oh doang kata lo?"

"Trus gue harus gimana, Lin? Kak Ara kan bukan kakak gue, wajar dong gue b aja. Lagipula Sadam sama kak Ara emang sedekat itu sih."

"Trus kenapa lo masih nyariin dia, Naumi?"

Terdengar helaan napas berat di ujung sana. "Oke. Yaudah, Lin. Intinya sekarang gue udah lega karena Sadam baik-baik aja."

"Bentar. Nau, sejak kapan Sadam kenal sama kak Ara?"

"Sejak kak Ara sama Abang lo tinggal di rumah itu. Kira-kira setahun lalu lah."

Alin mengangguk. Setelah menikah, Cakra dan Ara memang memutuskan untuk tinggal di luar kota. Katanya sih agar mandiri. Tapi hingga sekarang, Alin masih penasaran tentang awal mula perkenalan Sadam dengan kakak iparnya.

"Kenapa? Lo heran, kenapa kakak ipar lo bisa sedekat itu sama Sadam?"

Alin tak menjawab, sekalipun ia membenarkan pertanyaan Naumi.

"Gausah mikir yang macem-macem. Gue tau apa yang lo rasain. Lo masih ngerasa asing sama Kak Ara kan? Sama. Sejak awal kak Ara pindah, ngeliat dia deket sama Sadam, ngebuat gue juga pengen deket sama dia. Tapi, zonk. Kak Ara terlalu asing buat gue. Entah mungkin karena kami gak se-frekuensi."

Ternyata sifat asing Ara bukan hanya ditujukan pada dirinya. Alin agak merasa lega karena hal itu.

"Tapi, Lin. Biasanya, orang yang pernah terluka, bakal lebih cepat akrab sama orang yang pernah luka juga. Lo paham kan?"

Bunyi mesin motor, membuat Alin melirik ke arah jendelanya yang memang belum ditutup oleh tirai. Abangnya baru saja pulang. Alin sontak menatap jam dinding. Abangnya pulang lebih awal dari jam lembur biasanya.

"Iya, gue ngerti."

"Satu hal yang harus lo tau. Sadam dan Kak Ara sama-sama pendengar yang baik. Gue yakin, Kak Ara tau persis gimana hubungan gue sama Sadam."

Pintu kamar Alin tiba-tiba diketuk. Tak lama, pintu itu terbuka, menampilkan Cakra dengan wajah kelelahannya.

"Dek, udah makan malam?"

Alin buru-buru menutup teleponnya. Ia lantas menggeleng. Malam ini dia memang belum makan. Siang tadi dia juga hanya mengonsumsi seblak, makanan yang kurang ia sukai.

Cakra kembali menutup pintu kamarnya. Tak lama, Alin mendengar bahwa Cakra memanggil istrinya beberapa kali, hingga akhirnya Ara menyaut.

"Ra, hari ini kenapa gak masak?"

***

TBC!

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang