14

796 145 31
                                    

"Kudukung hubungan kalian putus! Bukan sebab ingin mengganti posisi sahabatku, tapi karena tahu lelaki sepertimu tak pantas untuknya."

***

Pukul sepuluh pagi, Alin duduk di bangku kayu sembari mengipasi wajahnya dengan buku tulis. Sadam duduk di sebelahnya. Keduanya tampak seperti gembel, kucel dan penuh keringat serta debu.

"Tumben pakai motor. Biasanya nebeng," ujar Alin mengusir keheningan.

"Abang lagi di rumah," balas Sadam setengah-setengah.

"Gak nyambung sumpah," lirih Alin, namun masih terdengar oleh Sadam.

"Motor ini udah lama rusak. Bang Al gak tau kondisi motor gue, dan gue gak mau ngerepotin dia."

Alin manggut-manggut. "Kalau gitu kenapa gak nabung untuk perbaiki motor?"

"Udah tua. Diperbaiki juga bakal percuma."

"Jadi itu alasannya kenapa lo selalu nebeng sama Naumi," Alin kembali manggut-manggut atas kesimpulannya. "Gak malu?" ujarnya menohok.

Sadam sontak menoleh padanya. Tatapan lelaki itu tampak berbeda. "Apa?" tanya Alin tanpa rasa bersalah.

"Mulut lo kasar."

"Loh? Yang gue omongin kan fakta. Naumi terlalu baik untuk lo."

Tanpa Alin sadari, kedua tangan Sadam terkepal. Sebenarnya Alin merasa dirinya sudah keterlaluan. Namun setiap melihat Sadam, entah kenapa mulutnya tak tahan untuk berkata frontal. Padahal sebelumnya Alin selalu menjaga tutur kata.

"Mending lo cabut!" ujar Sadam penuh penekanan. Kedua mata lelaki itu menyala marah. Tak ada sorot bercanda di sana.

Tanpa membuang waktu lagi, Alin beranjak dari sana.

***

Ada rasa sakit kala dirinya diusir oleh Sadam. Alin juga merasa dirinya keterlaluan. Tapi tak seharusnya Sadam memperlakukannya seperti tadi. Jika begini, sama saja Sadam tak bertanggung jawab. Alin sudah rela membolos demi menemaninya. Jika tahu begini, lebih baik Alin memilih masuk kelas tadinya.

Ponselnya bergetar, menampilkan sebuah panggilan telepon dari Naumi. Alin mendengkus pasrah sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu.

"Lin? Lo sakit? Kok gak masuk? Sadam juga gak masuk. Hape nya gak bisa dihubungi. Kalian kenapa sih?"

Pertanyaan beruntun itu keluar dari mulut Naumi.

"Gue lagi di pinggir jalan."

"Hah? Terus Sadam?"

Lihatlah! Bukannya mengkhawatirkan temannya, Naumi malah memikirkan pacar sialannya!

"Lagi di bengkel."

"Kalian kenapa? Kok bisa gak masuk?"

"Udahlah, Nau. Pertanyaan lo bikin gue bad mood. Lo tanya aja sendiri sama pacar lo."

"Yah, jangan ngambek dong. Terus sekarang lo mau kemana?"

"Pulang."

"Yaudah, pulang sekolah nanti, gue mampir ke rumah lo ya. Bye!"

***

Sama seperti yang Alin duga, Ara sama sekali tak menanyakan mengapa ia pulang lebih awal. Tak mau ambil pusing, Alin memilih mengistirahatkan diri di kamar. Alin benar-benar berjalan kaki hingga ke rumah ini. Hal itu ia lakukan untuk memperlambat waktu.

Entah bagaimana kabar Sadam sekarang. Alin tak mau ambil pusing akan hal itu. Tanpa sadar, dalam sekejap saja, Alin sudah terlelap.

Alin terbangun ketika ponsel yang sedari tadi digenggamnya malah bergetar. Begitu melihat jam, Alin kaget sebab ia tertidur selama tiga jam. Perutnya terasa lapar. Namun sebelum itu, Alin mengangkat panggilan telepon dari Naumi.

"Gue udah di depan rumah lo."

***

"Bang Al lagi di rumah. Gue gak berani main ke rumah Sadam," ujar Naumi tanpa ditanya.

"Kenapa?"

"Takut di gangbang," ujarnya sembari tertawa. Alin mengernyit tak mengerti. Detik selanjutnya, Naumi kembali bersuara, "Gak enak aja, soalnya di rumah Sadam gak ada cewek."

"Biasanya juga lo berduaan di dalem sama dia."

"Ah, udah jangan dibahas. Jadi kenapa lo kesal sama Sadam?"

"Lo tanya aja sendiri sama orangnya."

"Hello Alin! Yakali gue mesti temuin Sadam buat nanyain ini. Tinggal jawab susah banget elah."

Alin mendengkus pasrah. "Gue cuma bilang kalau lo terlalu baik buat dia."

"Kenapa lo bisa bilang gitu?"

"Gue nanya alasan kenapa dia selalu nebeng sama lo. Dan gue bilang kalau dia gak tau malu."

"Wah, parah lo, Lin!" Naumi bahkan geleng-geleng kepala. "Gue sebagai pacarnya aja gak berani bilang gitu."

"Gue cuma utarain apa yang ada di hati gue. Apa salah?"

"Gak salah, Lin. Cuma sama aja lo nyakitin Sadam. Lagian gue sama sekali gak keberatan buat antar-jemput dia setiap hari."

"Parah lo, Nau."

"Lin, lo bisa bilang gitu karena lo gak ngerasain ada di posisi gue. Gue gak tega sama Sadam. Lo tau kan, motornya rusak. Ini bukan kesengajaan."

"Tapi dia cowok, Nau! Dia bisa pesan gojek, atau nebeng sama teman cowoknya kan? Apalagi Abi."

"Trus, gunanya gue sebagai pacarnya apa?"

Lagi-lagi Alin mendengkus pasrah mendengar bantahan Naumi yang selalu tak mau disalahkan.

"Gue cuma bantu meringankan beban Sadam. Dia tinggal sendiri. Bang Al kerja, dan balik sekali seminggu. Kadang dia lebih milih balik sekali sebulan karena tempat kerjanya jauh. Lo pikir jadi Sadam gampang? Tumbuh tanpa dampingan orang tua itu gak enak, Lin."

"Orang tuanya kemana?"

"Meninggal pas Sadam baru lulus SMP. Sadam dan bang Al itu manusia tegar yang pernah gue temuin."

Alin bungkam. Jujur, dia baru tahu masalah ini. Ia pikir Sadam sama sepertinya. Memilih tinggal jauh dari orang tua. Tapi nyatanya, Sadam seterpuruk itu.

"Jadi, alasan lo bertahan untuk Sadam selama ini karena rasa kasihan?"

Sontak, Naumi terdiam.

***

Esoknya, Alin berangkat sekolah sendirian. Tak ada dampingan dari Cakra, ataupun Sadam. Sadam juga tampaknya sudah pergi lebih dulu menggunakan motornya sendiri.

Ini kali pertama Alin mengendarai motornya sejak kejadian kecelakaannya waktu itu. Kali ini, Alin harus lebih berhati-hati.

Seperti dugaannya tadi, sebuah motor yang ia kenal sedang berhenti di pinggir jalan. Alin jelas kenal siapa orang itu. Alin menepi, lantas menuruni motornya. Ia membuka jok motor, dan mengambil sesuatu di dalam sana.

"Biar gue bantu," ujarnya sembari menyodorkan sebuah tali pada Sadam.

Sadam menatapnya serta tali itu secara bergantian, hingga akhirnya lelaki itu mengambilnya.

Jika ditanya masalah dendam, Alin masih sakit hati dengan perlakuan lelaki itu semalam. Tapi mengingat Sadam bukanlah lelaki nakal seperti biasanya, Alin merasa kasihan.

Alin mengendarai motor, dengan Sadam yang mengikutinya dari belakang. Mesin motor Sadam kembali bermasalah, padahal kemarin baru saja diperbaiki. Alin tetap menuntun motor lelaki itu hingga mereka tiba di bengkel.

Motor Sadam terpaksa ditinggal dan akan dijemput kembali ketika pulang sekolah nanti. Singkat cerita, Sadam yang beralih membawa motor Alin hingga tiba di sekolah. Untungnya mereka tidak terlambat.

Ngomong-ngomong sejak tadi Sadam tak berbicara apapun padanya. Alin berniat hendak meminta maaf duluan. Saat tahu mengenai latar belakang Sadam dari Naumi kemarin, Alin merasa bersalah pada lelaki itu.

Baru saja Alin hendak bersuara, Sadam malah mendahuluinya.

"Thanks, ya," ujar Sadam sembari memberikan kunci motor pada Alin.

***

TBC!

SEKAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang