1 Pudarnya Pelangi

2.4K 70 10
                                    

Sepasang suami-istri dengan kedua anaknya berlari dari parkiran ke salah satu sisi rumah sakit. Tidak ada yang memperdulikan mereka tengah menjadi pusat perhatian semua orang. Laki-laki berusia sekitar 27 tahun berlari paling depan. Ayahnya menyusul di belakangnya. Sementara dua langkah di belakangnya, sang Ibu dirangkul anak perempuannya yang mengenakan putih abu-abu.

Belum satu jam sejak Arif, sang Ayah, mendapat telfon yang mengabari kalau putrinya mengalami kecelakaan dan sudah dilarikan ke rumah sakit. Saat itu Ayah langsung berharap bahwa itu hanyalah telfon penipuan yang berakhir meminta tebusan. Sayangnya si penelfon malah memberikan informasi rumah sakit tempat putrinya dilarikan. Yang membuat Ayah semakin lemas adalah ketika si penelfon menyarankan agar segera menyusul ke rumah sakit karena keadaannya cukup parah.

Setelah itu Ayah benar-benar terduduk lemas, ponselnya beliau jatuhkan tanpa menutup percakapan. Kedua anaknya yang sudah berpakaian rapih untuk aktivitas hari ini langsung menghampirinya panik. Begitu juga Ibu yang ada di dapur sejak sarapan selesai. Semuanya berharap cemas menunggu Sang Kepala Keluarga kuat untuk berbicara.

~

"Wan, disini!" kata Sang Ayah setengah berteriak memanggil putranya yang berlari beberapa meter di depannya.

Ayah menunjuk salah satu ruangan di ujung bangunan. Ada seseorang tak jauh dari pintunya. Terduduk lesu di kursi tunggu. Tubuhnya membungkuk, membenamkan wajah di kedua telapak tangannya. Arif mengenal orang itu. Orang sama yang pagi-pagi tadi meminta izin akan mengantar putrinya ke toko kain. 

Si sulung langsung menghampiri pintu yang sekarang tengah terkunci. Kepalanya ia sandarkan di tengah pintu yang terdapat sebilah kaca memanjang. Sayangnya Ia tak bisa melihat apapun di balik pintu itu. Tangisannya terdengar setelah itu. Ibu menghampirinya. Merangkulnya dan juga sesenggukan membayangkan apa yang bisa terjadi di dalam sana.

"Mas Awan sabar ya. Kita semua berdoa saja," ujar Ibu menenangkan, walau suaranya sendiri bergetar.

Pria yang sebelumnya duduk tadi bangkit dan menghampiri Arif yang mematung tak jauh di depannya. Anak gadisnya berdiri tepat di sebelahnya. Ia pasti khawatir ayahnya meluapkan emosi.

"Maafkan saya, Yah." 

Pria itu mencoba meraih tangan Arif lalu mencium punggung tangannya. Ia menangis sambil tetap mencium tangan pria 50 tahunan itu, terus mengulang kata maaf berkali-kali. Arif masih belum mengucapkan apapun. Pandangannya tak lepas dari pintu dimana salah satu buah hatinya terbaring.

"Maafkan Saka, Ayah," sesalnya semakin lirih di tengah tangis.

"Harusnya Saka bisa jaga Angi lebih baik. Semua ini salah Saka, Yah." Suara Saka yang bergetar sama sekali tak membuat Arif luluh dan menjawab. Pikirannya terlalu kalut dalam harapan agar putrinya selamat. 

Belum Arif menjawab, Awan muncul lalu menghantamkan tinjunya pada Saka, tepat di pelipisnya. Saka jatuh membentur vas bunga besar di samping kursi panjang. Ia tak sanggup berdiri. Rasa khawatir dan bersalahnya terhadap orang di dalam ruangan ICU itu lebih membebaninya.

Awan menghampiri pria itu lagi, menarik lengan bajunya, memaksanya berdiri.

"Bajingan!" umpat Awan tepat di depan wajah Saka yang tak berani menatapnya. Suaranya menggema memenuhi lorong. "Adek gue di dalem sana gak jelas gimana keadaannya, dan seenaknya lo cuma ngomong maaf!" 

Salma, sang Ibu, menghampiri putranya, mencoba menahan amarahnya yang memuncak. Memeluknya dari belakang.

"Sudah, Wan." Ibu menangis di punggung Awan.

Seorang dokter keluar dari ruangan tadi. Ekspresi wajahnya sangat mudah di tebak. Berita buruk, atau justru lebih buruk lagi.

Semua lantas menghampiri sang dokter. Dari mata mereka masih terpancar sedikit harapan pada si dokter.

Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang