31 Kanaya 1.0

310 41 21
                                    

POV: KANAYA



"AYAAAH!" Teriakku setelah membuka pintu depan. Di depan ada sepeda gunung yang sudah seminggu terparkir di garasi karena Ayah lagi-lagi harus dinas ke luar Jawa. Tapi kalau sepeda itu sudah keluar dari sarangnya berarti Ayah sedang di rumah. Entah sejak kapan, karena tidak ada yang mengabariku kapan Ayah akan pulang.

"Waalaikumsalam adikku, sopan santunnya ketinggalan dimana?" Bukannya Ayah, malah Mas Awan yang sedang duduk di ruang tamu sambil menonton streaming liga bola di laptopnya. Tumben dia masih sore sudah di rumah. Kak Kian yang tadi berjalan di belakangku malah menghampirinya dan merebut salah satu earphone yang terpasang di kuping kiri Mas Awan. Mereka lalu duduk anteng mengikuti pergerakan bola di layar.

"Ayah mana?" 

"Belum pulang, kan masih di Pontianak sampe minggu depan." Mas Awan menjawab tanpa melirikku, tetap saja matanya tak berkedip dari siaran itu.

"Bohong. Sepedanya ada tuh di luar."

"Iya mau dijual, buat modalmu nikah." Seenaknya saja kalau ngomong. Baru juga minggu kemaren aku ujian. Tahu nilainya saja belum, tahu lulus nggaknya saja belum, belum saatnya lah.

"Mas aja lah duluan! Kasihan tuh kumis-brewok belum pernah dibelai cewek kan sejak tumbuh?" Ejekku. Sayangnya Mas Awan yang jomblo sejak lahir itu tak menjawab. Sialan emang. "Ayah mana?" Aku masih percaya kalau Ayah sudah pulang.

"Kamis depan Ayah baru pulang, Nay."

"Lah aku rabu ulang tahun loh!"

"Ya terus? Kalau Ayah gak pulang, habis selasa langsung ganti hari kamis gitu?"

Aku tak menjawab. Padahal aku dari tadi sudah terlanjur kegirangan gara-gara sepeda gunung Ayah ada di depan. Aku akhirnya berjalan gontai ke arah kamar. Kecewa. Sepertinya ini akan jadi ulang tahun pertamaku tanpa Mbak Angi dan Ayah sekaligus. 

Saat akan membuka pintu kamar, sudut mataku malah menangkap televisi di ruang tengah sedang menampilkan acara berita. Pantas saja Mas Awan malah nonton di laptop. Tapi bukan itu sebenarnya fokus utamaku. Yang penting adalah siapa yang menonton sambil menyesap teh.

"Ayaaah!" Pekikku sambil menghambur ke arahnya. Ngeselin banget anaknya dibiarin berdebat dulu. Padahal beliau tinggal bersuara saja perdebatanku dan Mas Awan bisa langsung selesai saat itu juga.

"Kapan Ayah pulangnya?" Tanyaku setelah mencium tangan dan puas memeluknya. Aku duduk di sampingnya dengan kepalaku bersandar pada lengannya. 

"Tadi siang, Awan yang jemput ke bandara."

Hmm... Pantes Mas Awan sudah di rumah.

"Harus ya biarin aku sama Mas Awan berdebat dulu tadi?"

"Kangen soalnya Ayah dengerin kelian berantem." Katanya sambil tersenyum. Wajar sih, sejak Mbak Angi meninggal, Ayah selalu saja menerima tugas dinas ke luar kota hingga luar pulau seperti minggu kemarin. Bulan ini Ayah malah sudah 2 kali dinas. Padahal dulu Ayah bisa dibilang paling anti dengan tugas seperti ini. Setiap kali mendapat tugas seperti itu Ayah biasanya menjawab 'Nanti saya siapkan staff saya yang bisa berangkat kesana ya, Pak.'  Dan setelah Mbak Angi meninggal, Ayah pasti menjawab 'Siap, Pak! Saya yang berangkat.' setiap ada panggilan tugas

Sebenarnya Ayah tidak pernah dinas lebih dari seminggu. Setahuku disana tugasnya hanya survei kondisi plant selama seminggu itu, mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Setelah itu Ayah pulang dan mengerjakan dokumen yang dibutuhkan di kantornya. Eksekusi proyeknya nanti ditangani langsung oleh tim lokal sana, Ayah tinggal pandu dari sini. Gampangnya begitu sih setahuku. Mirip-mirip kerjaan Mas Saka, tapi lebih kompleks saja karena skalanya industri. 

Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang