67 Hari Kita

423 28 15
                                    

POV: SAKA


Aku harus bilang berapa kali ya kalau Kanaya itu cantik banget? Orang-orang aja gak ada yang percaya kalau aku bilang dulu waktu kecil Kanaya itu dakinya setebal Tembok China.

Eh hari ini Kanaya bukan cuma cantik, tapi dia cantik untukku. Sejak prosesi akad tadi pagi, sudah sah ya berarti gadis dengan balutan kebaya modern berwarna putih disampingku ini adalah istriku. 

Oh ya masalah akad tadi, aku mengucapkan semuanya dengan lancar tentunya. Gak ada tuh adeganku salah sebut nama, salah sebut mas kawin, apalagi sampai pingsan. Semua bisa lancar begitu ya karena aku sudah berlatih mengucapkan kalimat yang sama sejak dua hari yang lalu. Mama bahkan sempat menegurku karena selalu melihat mulutku komat-kamit. Tidak tahu saja anaknya ini sedang menghafalkan ijab qabul. Meski harus kuakui kadang tingkahku agak tolol, hari ini aku tidak boleh memperlihatkannya. Aku harus menjadi sosok yang sempurna setidaknya di depan istriku, Kanaya Mentari.

Ada banyak momen duduk berdua dengan Kanaya yang sangat berkesan untukku. Momen duduk berdua di komedi putar saat dia kecil dulu contohnya, lalu duduk berdua di pinggir jalan waktu dia ngambek gara-gara cuma dapet ayam potongan paha bawah, duduk berdua di pinggir pantai dan memberikannya ciuman pertama, duduk berdua di saung tengah sawah lalu menyatakan perasaanku, dan sekelibatan kenangan lain duduk berdua dengan Kanaya. Tapi apa yang bisa lebih berkesan dari saat ini kami duduk berdua di pelaminan. 

Semua orang yang kukenal kupastikan hadir di hari bahagiaku ini. Hampir semuanya sudah menghampiriku dan Kanaya untuk memberikan selamat. Tentu ada juga manusia kurang ajar seperti Dion yang sejak tadi bolak-balik mengambil makanan tapi belum juga datang menyelamati bosnya sendiri. 

"Pengen bakso, Mas," celetuk Kanaya sambil memandang salah satu gubukan yang menyediakan menu Bakso Malang. 

"Nanti ya," kataku. Sebenarnya aku pengen ngambilin langsung saat itu juga, tapi di samping kiriku ada Mama dan Papa yang memang juga disediakan kursi. Bayangin aja kalau aku langsung nyelonong untuk mengambilkan Kanaya bakso, bisa dijewer dan diseret Mama kayaknya aku.

Tiga orang yang sepertinya satu keluarga lalu berjalan ke arah pelaminan. Aku tidak mengenal mereka sama sekali. Sepertinya tamu Ayah Arif, soalnya kalau tamu Papa pasti aku pernah bertemu sebelumnya. Seorang pria tegap berkulit agak gelap, usianya mungkin awal 50 tahunan, di sampingnya pasti sang istri yang tampak anggun dengan kebaya merahnya. Mereka juga bersama seorang gadis mungkin usia SMP atau awal SMA. Ketiganya benar-benar tidak kukenal. 

"Siapa sayang?" tanyaku saat tiga orang itu menyalami Ayah dan Ibu bergantian. Benar dugaanku, memang tamu dari keluarga Kanaya. 

"Gak tau, Mas. Aku juga gak pernah ketemu."

Kami lalu kompak memberikan senyum saat keluarga itu berjalan ke arah sini. Ibu juga mengikuti di belakang anak gadis itu.

"Selamat ya!" kata sang suami dengan nada tegas. Kalau boleh kutebak dari cara bicara dan postur tubuhnya, sepertinya beliau dari kepolisian atau tentara. 

"Selamat Mbak, Mas!" Sang istri ganti menyalami kami. Sementara sang anak gadis hanya diam ketika menyalamiku dan Kanaya. 

"Nay, Saka, ini Bu Airi dan Pak Tama. Bu Airi ini bidan ibu dulu, tapi udah lama ikut Pak Tama tugas di timur Indonesia," terang Ibu yang seketika membuatku ingat pada cerita Pelangi dulu. 

Ingat dengan cerita itu, berarti di depanku ini adalah orang-orang yang berjasa dalam kehidupanku. Kalau gak ada mereka, makhluk cantik di sebelahku ini kayaknya batal lahir ke dunia karena Ibu masih ikut KB waktu itu. 

Sontak kuulurkan tanganku menjabat tangan Pak Tama.

"Om, terima kasih banyak! Terima kasih! Saya bisa menikah hari ini salah satunya berkat Om Tama dan istri," kataku sambil tetap menjabat tangan Pak Tama kuat-kuat. 

Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang