51 Mantuable

238 20 4
                                    

POV: KANAYA


Aku setuju sama Om Rudi, Brian ini emang bandel banget dari dulu. Ini bukan pertama kalinya dia jatuh dari motor. Waktu masih menjabat di OSIS juga dia sempat hilang seminggu. Penyebabnya ya ini juga. Jatuh dari motor. Waktu itu lebih ngeselin lagi ya, soalnya kerjaan dia akhirnya gak ada yang handle padahal lagi ada event internal waktu itu. Dalam seminggu itu sedang berlangsung class meeting sekaligus persiapan untuk kegiatan rapat pertanggung jawaban dengan Pembina OSIS. Dua itu sebenarnya tanggung jawab Brian sebagai wakil ketua bagian internal. Tapi namanya apes kadang gak ada yang tau ya. Akhirnya aku sama Reynaldi lagi yang jadi tumbal. Eh meskipun apes gak ada yang tau, ini Brian apesnya sering banget astaga. Belum setahun loh kejadian yang dia jatuh sebelumnya. Kayaknya harus cepet-cepet ketemu pawangnya yang bisa bikin Brian nurut.

"Kayaknya aku gak kuliah tahun ini deh, Nay."

Meskipun Brian mengatakan itu masih dengan ekspresi tengilnya, aku tetap bisa merasakan kalau dia kecewa. Padahal kami sudah buat to do list untuk tahun pertama kami di bangku kuliah. 

"Kan kuliahnya masih akhir Agustus atau awal September, Ian. Udah sembuh gak sih kalo dari sekarang?"

"Kalo kata dokter sih bisa normal lagi dalam empat bulan aja udah bagus. Terus kita sibuk-sibuknya ngurus pendaftaran kan dari bulan ini. Belum lagi nanti Agustus ada acara penyambutan maba kan pasti. Kalo aku maksain emang bisa, tapi pastinya malah banyak ngerepotin orang."

Aku menghela nafas berat. Gak kalah kecewa mendengarkan penjelasannya tadi. 

"Dari dulu emang gak ngerasa ngerepotin orang?" sindirku akhirnya.

"Boleh gak sih kuliah pake kursi roda?" Diah ikut bergabung.

"Pasti boleh lah!" yakinku. Pikirku, pasti malah diapresiasi kalau punya ambisi untuk tetap kuliah dalam kondisi seperti ini.

"Yang dorongin siapa tapi, Nay? Kamu mau?"

"Loh, ayo saya mah!"

Kalau memang itu yang dibutuhkan Brian, kenapa nggak? Kita udah mau enam tahun sekelas, dari SMP loh. Terus tiba-tiba dia bilang mau gap year tahun ini, gak bisa ya! Aku harus melakukan sesuatu.

"Makasih ya, Nak Naya. Ternyata kamu emang perhatian banget sama Brian," tante Ani menepuk pundakku. Aku tersenyum ke arahnya. Memang tugasku, tante! Batinku.

Om Rudi tiba-tiba berdiri di belakang istrinya lalu berbisik sesuatu. "Nak Diah boleh minta tolong keluar dulu sebentar? Kami mau ngomong sama Kanaya dulu. Maaf ya."

Diah tanpa bantahan apapun langsung berdiri dan keluar dari kamar. Di kamar hanya tinggal aku, Brian, dan dua orang tuanya. Kenapa aku sendiri jadi deg-deg an ya? Rasanya kayak tiba-tiba suasananya jadi serius sekali.

Om Rudi menggeser dua kursi ke dekat ranjang untuk dia duduki. Tante Ani duduk di sampingku di pinggir ranjang. Tatapan mereka tampak serius. Senyum yang terukir di bibir mereka tidak juga membuatku lebih tenang.

"Orang tua Kanaya kerja apa, Nak? Om lupa," tanya Om Rudi. Meskipun kami sudah lama kenal, tapi memang orang tua kami belum begitu saling kenal. Hanya Tante Ani dan Ibu biasanya saling kasih kabar. Jadi sebatas itu. Seingatku malah mereka baru satu atau dua kali ketemu. Salah satunya saat acara kelulusanku dari SMP.

"Ayah project engineer di perusahaan swasta sih, Om. Kalau Ibu seringnya di rumah, tapi kadang terima pesenan catering.

"Ada di rumah semua berarti?"

"Ayah sebulanan ini harusnya di rumah. Bulan depan baru ngurus proyek cabang perusahaannya yang di Medan."

"Wah berarti harus cepet nih, Mas!" ujar Tante Ani yang semakin membuatku berpikir.

Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang