63 Kanaya dan Pelangi

307 24 9
                                    

Happy Reading


POV: KANAYA


"Kenapa, sayang?"

Aku menengok ke arah pintu, Ayah berdiri di sana masih dengan setelan subuhnya, sepertinya baru pulang dari masjid.

"Gak papa, Yah. Cuma mimpi buruk lagi."

Mendengar itu Ayah malah menghampiri tempat tidurku dan duduk di pinggirannya. Tangannya tak kusangka malah bergerak dan mengusap sesuatu di pipiku. Ya, air mata. Sepertinya itu tidak keluar saat aku masih bermimpi tapi setelah aku bangun tadi. Pahit sekali aku mengingat apa yang terjadi di dalam mimpi. Akhirnya ya mungkin tanpa sadar aku menitikkan air mata.

"Kamu mimpi apa sampai nangis gini? Mimpi Mbak Angi lagi?"

Dengan ragu aku mengangguk. Entah sudah berapa kali aku bercerita tentang mimpi anehku. Mungkin keluargaku juga sudah hafal betul.

Dalam mimpi itu, Mas Saka datang menjemputku. Awalnya itu membuatku kesal karena sudah kubilang aku mau diberi ruang dulu tapi dia ngotot mengajakku jalan-jalan. Setelah penolakan itu, entah bagaimana caranya tiba-tiba Mbak Angi muncul dan menggandeng Mas Saka menuju mobilnya. Aku tentu tak bisa tinggal diam dan malah mengikuti mereka. Ucapan Mas Saka saat itu benar-benar masih kuingat. "Kamu di belakang aja ya, Nay!" katanya sambil membukakan pintu depan untuk Mbak Angi yang tak berhenti memamerkan senyumnya.

Sepanjang jalan aku harus berkali-kali merasakan sakit hanya karena perlakuan kecil Mas Saka pada wanita yang duduk di sebelahnya. Sementara aku seperti dianggap tak ada disana. Aku hanya mengamati semua kemesraan mereka sampai akhirnya kami tiba di sebuah pantai. Lagi, Mas Saka hanya membukakan pintu depan lalu mereka berdua berjalan tanpa menungguku yang bahkan belum ikut keluar.

Duduk beralaskan pasir pantai sudah lama menjadi kegiatan favoritku, tapi kali ini berbeda. Aku mempehatikan cincin yang menghiasi jari manisku dan membandingkannya dengan cincin di tangan yang tengah kugenggam. Sama kok. Kami masih mengenakan sepasang cincin yang sama sejak malam itu. Jadi sebenarnya statusku disini harusnya bukan lagi sebagai bocil yang suka mengganggu kencan mereka. Aku calon istrinya, tapi kenapa Mas Saka malah memperlakukanku seperti ini? Bahkan saat tangannya tak berhenti kugenggam, wajahnya tak sekalipun memandang ke arahku. Dia lebih betah memandangi wajah cantik yang duduk di samping kanannya.

Sadar tak akan mendapat perlakuan sama, genggaman itu akhirnya kulepaskan. Saat itulah tangan Mas Saka benar-benar menjauh dariku. Mendapat kebebasan seperti itu membuatnya dengan leluasa memberikan perhatian penuhnya pada Mbak Angi. Aku mengintip, entah sejak kapan Mbak Angi sudah menyandarkan kepalanya di bahu kokoh itu. Tangan yang tadi kugenggam juga sudah beralih mengelus pipinya.

Melihat pemandangan ini rasanya berkali-kali lipat lebih sakit dibandingkan melihat kejadian Talitha dulu, atau kejadian salah paham dengan Mbak Andin. Mungkin karena aku tahu, Mas Saka sangat mencintai Mbak Angi.

Bayangan itu lah yang mungkin memancing air mataku saat sudah terbangun dari mimpi. Aku tahu itu mimpi, aku tahu pada realitanya sekarang kami sudah bertunangan. Tapi semua itu tidak cukup untuk membuatku lega. Bagaimana kalau mimpi itu dan semua mimpi yang kualami selama ini adalah gambaran perasaan Mas Saka sebenarnya. Gambaran bahwa dia masih terlalu mencintai Mbak Angi dan aku hanya pelarian.

"Kamu solat dulu, ya. Nanti Ayah tunggu di kamar Angi," kata Ayah setelah melepas dekapannya. Aku menyeka lagi air mata yang ternyata masih setia mengalir membasahi pipiku. Setelah melihatku mengangguk, Ayah keluar dari kamarku.

Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang