24 Ketahuan, Tapi

468 20 6
                                    

POV: SAKA

Aku hanya memarkirkan mobil di pinggir jalan lalu mengikuti Kanaya. Tante Salma langsung membuka pintu depan setelah gerbang di buka dan menimbulkan suara khas. Beliau berdiri di depan pintu sambil mengusap lengan kanannya. Kanaya meraih tangan Ibunya itu lalu menciumnya. 

Tante Salma menghela nafas sebentar saat menemukanku di belakang putrinya. 

"Assalamualaikum, Tante." 

"Waalaikumsalam. Masuk dulu, ya?"

Aku mengangguk lalu mengikuti mereka yang lebih dulu melewati pintu berbahan kayu jati. Agak kaget saat ruang tamu ternyata bukan hanya ada Awan. Kian dan Brian juga duduk di sana. Separah ini kah kesalahanku sampai semua orang berkumpul menunggu Kanaya?

Tapi tentu, di antara mereka semua tatapan Awan tidak terkalahkan. Matanya mengunci tajam ke arahku, kedua alisnya bertemu, rahangnya mengatup rapat. Brian malah menunjukkan ekspresi cemas. Entah mencemaskan Kanaya atau mencemaskan kegaduhan apa yang bisa terjadi setelah ini. Sementara seorang laki-laki lain tersenyum datar sambil menatapku. Kian, ekspresinya itu sulit sekali kuartikan. 

"Duduk dulu." Kata Tante Salma lalu menuntun Kanaya ke kamarnya.

Aku duduk di sofa yang paling dekat dengan pintu. Nyaman sekali sebenarnya rasanya begitu tubuhku jatuh ke permukaan sofa berwarna abu-abu itu. Kalau tidak sedang mendapat tatapan aneh dari tiga orang ini, bisa-bisa aku tertidur di sofa. Lelah sekali rasanya menyetir hampir seharian.

"Kemana aja?" Tanya Awan dingin.

"Malang."

Oke, Saka, harus pintar kendalikan emosi kalau berurusan dengan Awan.

"Harus Kanaya, ya?" Tanya Awan lagi tanpa sedikitpun mengubah posisi duduknya. "Jutaan perempuan di luar sana, harus adek gue lagi yang mau lo ambil?"

"Tadi aku yang ngajak Mas Saka jalan, kok!" Kanaya sudah bergabung lagi di ruangan dengan baju yang sudah berganti. Dia sekarang mengenakan kaos oversize dengan rok bunga-bunga. Agak random style nya kalau dipikir lagi. Tapi aku akhirnya tersenyum saat Kanaya menoleh ke arah lain dan menampilkan bagian belakang kepalanya. Rambutnya dia kuncir lagi dengan ikat rambut pemberianku tadi.

"Kamu harus dibilangin gimana sih, Nay?" Mata Awan mengikuti adiknya yang akhirnya memilih duduk di sofa panjang, di sebelah Brian. Agak kesal aku melihatnya, padahal di sebelahku juga ada space kosong. 

Meskipun dengan tatapan tajam seperti itu, melihat Awan hanya duduk diam sejak tadi cukup aneh menurutku. Padahal sejak keluar dari mobil tadi aku sudah pemanasan, peregangan otot. Bersiap kalau tiba-tiba diterkam Awan. Apa dia sudah lebih bisa tahan emosi sekarang? Aneh. Lagi jatuh cinta kali ya. Atau sakit gigi? Ah masa bodo lah, lumayan gak perlu keluar tenaga.

"Ngapain aja disana?"

"Main air, neduh di bawah pohon, makan bakso, terus pulang."

Ah kenapa lah Kanaya tidak sekalian menyebutkan part terbaik dari kegiatan kami hari ini?

Tante Salma akhirnya keluar sambil membawa nampan yang di atasnya ada teko yang sepertinya berisi teh panas. Ada beberapa gelas kecil juga di atas nampan itu. Baik sekali memang dari dulu calon mertuaku satu ini. Calon mertuaku dari Pelangi ya maksudnya. Kalau Kanaya aku belum boleh terlalu percaya diri. Lihat saja cewek itu sekarang malah tertawa kecil saat dibisiki sesuatu oleh Brian.

"Tante cuma khawatir tadi Kanaya tiba-tiba gak bisa dihubungi. Katanya mau keluar sama Nak Brian, lah kok orangnya kesini nyari Kanaya." Tante Salma sudah duduk di sebuah kursi yang sepertinya beliau ambil dari ruang sebelah.

"Maaf tante, tadi rencananya memang cuma jalan sekitar sini, jadi belum sempat minta izin resmi sebelum berangkat."

Tante Salma memejamkan mata sambil mengangguk beberapa kali. "Yang penting Kanaya gak kenapa-kenapa."

"Gak apa-apa kok, Bu. Kanaya seneng banget malah!" Seru Kanaya sambil mengacungkan kedua jempolnya. Tante Salma ikut tersenyum melihat tingkah putrinya. Aku juga. Baguslah kalau Kanaya senang.

Lagi-lagi perhatianku tertuju pada Awan sekarang. Dia belum bereaksi apapun. Ini mah terlalu lancar prosesnya. Dih jangan-jangan kesambet itu orang. Tapi kasihan setannya pasti tersiksa di dalam tubuhnya.

"Woy! Ngapain lo merhatiin gue kayak gitu?" Nah, ini baru Awan yang biasanya. Berarti dia gak kesurupan, memang lagi jatuh cinta atau sakit gigi saja kali. "Pulang lo sana! Capek gue tahan emosi."

Karena memang punggungku rasanya capek banget berkat perjalanan tadi, aku akhirnya menurut saja diusir begitu.

"Saya permisi pamit dulu, Tante."

Tante Salma mengangguk. "Nay, bukain gerbang ya!" 

Kanaya baru saja akan berdiri tapi Awan tiba-tiba memberikan isyarat agar adiknya duduk lagi. Dia lalu berdiri. "Biar Awan aja yang bukain."

Awan lalu berjalan lebih dulu melewati pintu. Aku membuntutinya, tak ada lagi yang mengikuti kami. Sama sekali tak ada percakapan antara kami. Awan tiba-tiba sudah sedikit menarik salah satu sisi gerbang, cukup sebagai aksesku lewat. 

Begitu melewati pagar itu aku malah bingung harus ngapain. Apa iya harus berpamitan dengan Awan? Akhirnya beberapa detik aku hanya berdiri mematung disamping kap mobil. 

"Sak!" Panggil Awan, dia masih berdiri di celah gerbang yang terbuka. Aku spontan menghampirinya. Tinggi kami yang hampir sama membuat muka angkuh Awan semakin jelas terlihat saat kami berdiri berhadapan. "Gue gak emosi malam ini bukan berarti gue udah maafin lo masalah Pelangi! Gue begini karena gue seneng."

"Seneng?" Aku mengerutkan kening. Senang kenapa dia? Menang judi kah? Astaghfirullah. 

"Lo sama Kanaya belum tahu. Kami tadi siang beneran khawatir, sempet mikir kalau Kanaya beneran diculik. Hampir aja gue nelfon Ayah yang lagi dinas. Untungnya Ibu dapet kabar kalau Kanaya lagi sama lo di Malang. Jujur gue baru bisa bernafas lega setelah itu. Lo harus tau rasanya tiba-tiba kehilangan kabar dari orang yang lo sayang! Udah stress gue tadi. Makanya waktu dapet kabar, terus sampai akhirnya kalian pulang, emosi gue ketutup sama rasa syukur gue karena Kanaya masih sehat."

Sifat Awan yang seperti ini membuatku sejak dulu tidak berhenti salut dengannya. Dia benar-benar menjadi sosok yang sangat bertanggung-jawab untuk keluarganya. Aku jujur kalah dalam hal itu. 

"Jadi lo tenang ya kalau Kanaya sama gue? Itu semacam restu apa gimana?" Kalimat yang dengan entengnya keluar dari mulutku itu sepertinya malah membangunkan sedikit emosi Awan. Matanya tiba-tiba melotot begitu mendengarnya.

"Mau gue tonjok lo?!" Bentaknya, matanya yang melotot seperti mau meloncat ke wajahku. "Pulang lo sana sebelum gue sadar!"

Awan.. Awan... kepergian Pelangi ternyata membuatku juga harus kehilangan teman modelan begini. 



~

Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang