43 Bukan Kanaya Biasa

316 21 7
                                    

POV: SAKA



"Tapi itu masa lalu, Nay, jangan dibahas lagi." Kanaya belum bereaksi setelah kuceritakan panjang lebar tentang kejadian dua tahun lalu itu. Jadi kuraih tangannya yang sempat dia tarik dari genggamanku. Kukecup punggung tangan itu lama. Halus, harum. "Sekarang aku maunya kamu."

"Kenapa?" Kanaya menyeka air matanya dengan tangannya yang bebas dari genggamanku. Dia nangis lagi? Ya Tuhan, kenapa dia jadi seemosional ini sih?

Perasaan sesakku membuat tanganku meraih Kanaya ke dekapanku lagi. Tapi tentu dia tidak tinggal diam. Berusaha sekali dia menolak badanku.

"Lepasin Mas!" 

"Maaf."

Kurasakan tenaga Kanaya dalam menolakku melemah, dia membenamkan wajahnya di dadaku lalu menangis terisak disana.

"Maaf ya, Nay?"

"Mas Saka jahat banget tahu nggak? Ngasih album itu nggak bikin aku seneng waktu itu, Mas! Aku malah terbebani perasaan bersalah. Apa lagi gak ada foto Mbak Angi sama sekali disana, cuma foto kita. Aku takut Mbak Angi salah paham dan sakit hati kalau sampai tau. Dan ternyata bener kan?"

"Nay, sudah ya sayang." Kuelus pipinya yang masih basah dengan air mata. "Maaf ya kalau kamu ngerasa hidup kamu jadi lebih berat sejak ada Mas di sekitar kamu."

"Kalau dipikir aku juga jahat gak sih, Mas? Karena kita memang deket banget waktu itu. kalau aja aku menjauh lebih awal pasti semua itu nggak akan terjadi."

Aku mempererat pelukanku mendengar Kanaya berucap seperti itu. Kanaya sudah sedikit lebih tenang tapi sesekali masih sesenggukan.

"Udah ya, yang udah terjadi biarin aja. Sekarang kita lihat masa depan aja."

Senyumku mengukir saat kurasakan Kanaya membalas pelukanku. Kuelus rambutnya yang malam ini dibiarkan tergerai. Sudah agak panjang lagi setelah sempat dia potong beberapa bulan yang lalu. Warnanya juga sudah kembali ke warna hitam asilnya. Hmm.. Kanaya pakai shampo apa ya? Harum banget rambutnya. Halus juga. 

"Mas, kalau ada warga lewat ngeliat kita pelukan di tengah sawah gini gimana ya?" Kanaya sempat akan melepas pelukanku lagi, tapi kutahan.

"Paling diarak keliling kampung."

"Gak lucu ah, Mas!" Kanaya semakin meronta tapi tenagaku lebih kuat untuk menahannya.

"Gak apa-apa. Paling habis itu kita dinikahin."

"Ijazahku belum terbit."

"Kalau udah terbit mau?"

"Mau apa?"

Puter terus, Neng! Gak sampe-sampe ini kita ke pelaminan kalau pertanyaannya begini terus.

Aku menghela nafas sebentar. "Nikah lah sayang."

"Gak mau, aku mau ngerasain pacaran dulu, tunangan, baru nikah."

Hmm.. Kanaya mancing nih jangan-jangan. Tapi masak kutembak di tengah sawah? Mana aku lagi pake jaket tebal sama celana jeans gini. Gak ada kesan romantisnya.

Semoga Kanaya masih polos seperti biasa ya, mau kumanfaatkan sebentar kepolosannya. 

Izin ya Om, Tante!

"Mas pernah nonton film ada cowok nembak cewek di tengah sawah kayak gini. Romantis nggak menurut kamu?"

"Bangeet! Sambil ngelihat bintang tuh. Kalau ada bintang jatuh bisa bikin permohonan juga sekalian."

Emang agak laen cara pikirnya. Padahal kalau mau melihat bintang yang lebih romantis masih ada banyak tempat yang lebih bagus. Bromo contohnya. Kalau tadi dia bilang sawah gak romantis, minggu ini juga kubawa dia ke Bromo. Tapi dia bilang sawah sudah romantis ya mau digimanain lagi?

Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang