14 Step 2

523 42 12
                                    

"Mas, nanti sore sibuk?" Tanya Kanaya disela kegiatan sarapan bersama keluarganya.

"Kayaknya pulang agak malem sih." Jawab Awan sambil menahan sesendok nasi di depan mulutnya. "Sama Kian aja ya kalau mau keluar."

Kanaya memanyunkan bibirnya. "Ya udah gak jadi, deh." Katanya kecewa.

"Padahal barusan aku udah seneng mau keliling kota." Kian juga menunjukkan raut muka kecewanya.

Padahal Ia meminta Awan mengantarnya bukan masalah ingin ditemani. Kalau hanya masalah itu Ia tinggal mengajak Brian. Atau sekalian sendirian saja, tinggal pesan ojek online. Justru tadi tujuannya mengajak Awan adalah untuk menghemat tabungannya. Karena Awan memang sangat loyal pada adik bungsunya itu sejak awal Ia diterima kerja dulu. Tapi kalau tahu pada akhirnya Kian yang harus mengantarnya, lebih baik tidak usah.

"Kak Kian belum sempet lihat-lihat keliling kota?"

Padahal sudah lebih seminggu lamanya Kian tinggal di rumahnya. Mana mungkin belum pernah jalan-jalan keliling kota ini.

"Eh malam minggu kemaren kita kan udah nongkrong di angkringan!"

"Ya udah sih, itu kan sama lo! Giliran sama Kanaya hari ini. Iya nggak, Nay?"

Kanaya lalu meneruskan makannya. Kalau melihat Awan dan Kian berdebat bisa hilang nafsu makannya. Ibu dan Ayah juga sama sekali tak berkomentar. Menurut mereka, kehadiran Kian sudah seperti obat untuk emosi Awan yang sering meledak-ledak sejak Pelangi pergi. Yang cukup mereka khawatirkan justru Kanaya. Karena Kian terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada si bungsu. Untungnya Kanaya sepertinya tidak mudah luluh pada godaan alumni Universitas di Jerman itu. Setidaknya untuk saat ini.

Kanaya lalu meraih ponselnya yang bergetar. Ada sebuah pesan masuk. Sebenarnya Kanaya bisa menebak siapa pengirimnya. Saka! Sepertinya sudah puluhan pesan yang Saka kirimkan sejak insiden malam itu. Tak ada satu pun pesan itu yang Kanaya buka. Namun sekilas Kanaya bisa membaca potongan pesan yang ditampilkan di main-page aplikasi itu. Saka mengajaknya bertemu.



~



"Gimana, Kak?" Kanaya menghamiri Kian yang duduk di kursi tunggu sambil matanya tak lepas dari game di ponselnya sejak hampir dua jam yang lalu.

"Astaga, Kanaya!" Seru Kian kaget bergitu menengok dan menyadari bahwa Kanaya seperti berubah menjadi orang lain. Rambutnya sekarang dipotong sebatas bahu, persis seperti yang direncanakannya. Tak hanya itu, rambutnya kini berwarna cokelat gelap. Wajahnya juga tampak jauh lebih cerah. Bibirnya juga dipoles dengan warna mocca brown, sepertinya lipstic itu yang Kanaya beli di salah satu merchant di mall dengan 12 lantai ini. Kalau dilihat lagi, warna pada bibirnya sekarang entah bagaimana tampak sangat serasi dengan warna rambut dan kulitnya. Gadis itu sudah merencakan ini matang-matang.

"Malah bengong!" Protes Kanaya melihat Kian yang sekarang melongo, tak berhenti memandanginya. Bahkan game yang tadi dimainkannya sudah menampilkan tulisan 'DEFEAT' dengan semburat warna merah di sekitarnya. Respon guru muda itu membuat Kanaya mengulum senyum. Pikirnya, Ia berhasil upgrade.

"Kamu gak habis dihipnotis sama yang punya salon, kan?"

Kanaya menggeleng polos.

"Lebih cantik, kan, ya?"

"Kamu sih mau gimana pun cantik Nay!" Puji Kian membuat Kanaya tersipu. "Eh tapi emang boleh nanti ke sekolah rambutnya diwarna?"

"Boleh aja tuh, kan ada beberapa cewek di kelas yang rambutnya diwarnai."

Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang