25 Tanpa Kabar

458 22 10
                                    

Pak Bambang sedang menjelaskan tentang materi Alkana dan Turunannya di depan. Papan sudah hampir penuh dengan coretan materi yang beliau sambil jelaskan. Tapi semoga dia tidak mengecek catatan di buku setiap muridnya. Karena buku yang ada di depan Kanaya hanya menampilkan halaman yang nyaris kosong. Hanya ada judul bab tertulis di pojok kiri. Lalu sisanya adalah halaman kosong. 

Kanaya sejak awal materi hanya menopang kepalanya dengan tangan kanan. Matanya memang tertuju ke papan tulis, tapi otaknya sudah penuh dengan pikiran-pikiran lain. Ia belum berhenti memikirkan statusnya dengan Saka saat ini. Karena waktu itu Saka menciumnya, apa itu artinya mereka sekarang pacaran? Tapi Saka tidak menegaskan apapun. Bahkan Saka malah belum menghubunginya lagi sejak Sabtu kemarin. Ingin sekali Kanaya menghubungi lebih dulu, tapi selalu batal Ia lakukan. 

"Istirahat nanti mau ikut nyolong mangga di lapangan belakang, Nay?" Bisik Brian dekat sekali dengan telinganya.

Kanaya tak merespon apa pun. Dia malah tidak mendengar satu katapun yang keluar dari mulut Brian. Akhirnya Brian menganggap diamnya Kanaya sebagai penolakan. Sayang sekali. Padahal skill memanjat Kanaya jauh melebihinya. 




"Kenapa sih, Nay?" Diah memperhatikan temannya yang sejak tadi mengaduk bakso dengan tatapan kosong. Mereka sudah di kantin sejak bel istirahat berbunyi. Brian dan Reynaldi malah absen karena ada panggilan ke ruang guru. Jangan ditanya masalah apa lagi yang mereka perbuat! Tentu saja aksi mereka di atas pohon mangga tadi ketahuan Bu Devi, guru olahraga yang baru selesai mengajar di sisi lain lapangan.

"Kamu pernah dicium sama Rey, Di?" Tanya Kanaya tanpa babibu. 

Diah yang risih dengan pertanyaan itu malah memukulkan sendok baksonya ke tangan Kanaya. "Apa-apaan coba nanyanya gitu?"

"Atau sama tukang martabak depan sekolah, pernah nggak?" Mendengarnya, Diah hampir saja menjambak rambut temannya itu. Untung saja Ia jadi ingat jasa Kanaya yang minggu lalu memberi tahu judul buku yang Kian pakai untuk membuat soal ujian. Jadi Diah bisa membeli buku yang sama untuk latihan. Dan hasilnya sudah kelihatan saat selebaran hasil nilai ditempelkan di mading tadi pagi, Diah mendapat nilai 87. 

Kanaya menghela nafas lalu kembali memandangi baksonya yang hanya termakan sebiji. "Coba aja proyek PLTS nya jadi, ya?"

"Hah?" Dahi Diah mengerut, omongan Kanaya barusan jauh sekali dengan topik pertama yang dia tanyakan. Dari masalah ciuman tiba-tiba membahas proyek yang batal. Agak lain ini anak.

Kanaya menyendok lagi sebiji pentol kasar berukuran tanggung, menggigitnya separuh, lalu menaruh lagi sisanya di dalam mangkuk.

"Masalah nyatetin mimpi ada progres, Nay?"

Mendengar pertanyaan Diah, Kanaya langsung teringat sesuatu. Ia mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya. Kecil sekali, mungkin lebih kecil dari buku saku Pramuka.

"Aku udah nyatet beberapa sih, Di!" Seru Kanaya bersemangat. Baguslah, pikir Diah, setidaknya Kanaya tidak linglung seperti tadi. "Terus tadi malem aku mimpi lagi. Tapi gak terlalu ekstrim sih." 

Diah meraih buku catatan Kanaya lalu membukanya. Gadis itu ternyata membuat catatan berupa poin-poin. Tapi detail sekali. Ia bahkan sampai mencatat baju orang-orang yang muncul di mimpinya. Baru di bawah semua poin-poin detail itu Kanaya menuliskan narasi. Diah mengangguk-anggukkan kepala seraya membaca halaman demi halaman. Semuanya Kanaya catat sekaligus tanggal terjadinya mimpi itu.

"Terus tadi malem mimpi gimana?" Tanya Diah saat sudah mencapai halaman kosong dan belum menemukan mimpi dengan tanggal kejadian hari ini atau kemarin.

Kanaya hanya mengulum senyum sambil sedikit menunduk malu. "Jangan dicatat ah, agak jorok. Kayaknya gak berkaitan juga sama mimpi aneh yang biasanya."

Diah menyipitkan kedua matanya. "Mimpi apaan?"

Kanaya tambah menutup wajah menggunakan tangannya. "Nanti kamu tutup kuping lagi."

"Nggak akan!"

Kanaya mencondongkan tubuhnya ke arah Diah. Temannya itu paham, Ia juga mengarahkan kupingnya agar mendekat ke bibir Kanaya.

"Tadi malem aku mimpi kawin, terus tiba-tiba aja punya anak. Eh pas aku lihat anakku mirip sama Mbak Angi dong! Rambutnya langsung cokelat panjang sebahu gitu. Tapi ya namanya mimpi ya? Aneh-aneh aja emang."

Setelah itu, Kanaya dan Diah kembali ke posisi duduk normal.

"Kawin sama siapa? Brian?" Tanya Diah tanpa mengontrol suaranya, alhasil beberapa orang di sekitar meja mereka malah menengok.

Mendengar itu Kanaya malah mencubit lengan sahabatnya. "Kalau kawin sama dia mah bayinya mirip Stegosaurus kali!"

Diah lagi-lagi harus menahan sabar meskipun lengannya nyut-nyutan. Ingat, berhasil dapat nilai 87 itu berkat Kanaya!

"Terus sama siapa?"

"Ya ada, deh!"

Diah lalu seperti teringat sesuatu. Ia berhenti mengusap lengannya saat perkataan Kanaya tentang mimpinya tadi.

"Kamu mimpi kawin apa nikah tadi, Nay?"

"Kawin!" Jawab Kanaya pasti, tak ragu sama sekali.

"Nay, kamu paham kan beda arti kawin sama nikah?"

Kanaya mengangguk. "Makanya sampe punya anak kan aku bilang tadi."

Diah spontan menutup kedua kupingnya. "Iuwwh. Jijik banget, Nay! Kotor kupingku dengernya. Aku masih kecil!"

Kanaya terkekeh geli melihat respon temannya itu. Padahal Ia belum menceritakan keseluruhan mimpinya. Bisa pingsan kali Diah kalau semuanya Kanaya ceritakan sedetail mimpinya yang lain.

Keributan kecil mereka lalu berhenti saat ponsel Kanaya menampilkan sebuah panggilan masuk. Nomornya tidak dikenal. Itu malah membuatnya teringat pada pagi dimana kakaknya meninggal. Sama seperti sekarang ini, ada panggilan dari nomor tak dikenal. Agak lama Kanaya hanya memandangi ponselnya yang tetap saja bergetar sejak tadi. 

Diah paham betul kondisi Kanaya saat ini, bukan pertama kalinya Kanaya mendadak diam saat ada panggilan dari nomor tak dikenal. "Mau aku yang angkat?"

Kanaya mengangguk.

Diah menggapai ponsel itu dan langsung menerima panggilan. Ia memposisikan ponsel itu di antara Kanaya dan dirinya sendiri. "Aku loudspeaker, ya?"

"Halo?" Suara seorang wanita terdengar di seberang. "Ini Kanaya?"

Diah dan Kanaya saling pandang. "Ini temennya, anda siapa ya?"

"Ini Wanda. Tapi bener ya ini nomernya Kanaya? Kanayanya kemana, ya?"

Mendengar nama Wanda disebut, ekspresi Kanaya langsung berubah antusias. Di rebutnya ponselnya dari tangan Diah lalu menempelkannya di kuping. Sayangnya Ia lupa mematikan mode loudspeaker.

"Halo, Mbak!"

Diah mengernyitkan keningnya karena perubahan Kanaya yang cepat sekali. Tadi cemas sekarang malah seperti senang sekali karena menang arisan.

"Eh, ini Kanaya?"

"Iya, Mbak. Kenapa Mbak nelfon siang-siang?" 

"Iya, Mbak mau minta tolong. Kanaya nanti sore pulang sekolah jam berapa?"

"Jam 4 sih, Mbak. Lagi ada jadwal bimbel juga soalnya. Mau minta tolong apa emangnya?"

"Cuma minta tolong gantian jagain Saka sebentar, aku ada urusan sebentar. Harusnya jam 8 udah bisa aku gantiin lagi."

"Bisa, Mbak. Rakanya dimana? Di rumah Mas Saka, kan?" Kanaya tentu senang sekali kalau harus menjaga bocah menggemaskan seperti Raka. 

"Jagain Saka, Kanaya! Bukan Raka. Justru ini aku terpaksa mau ninggalin Saka karena Raka rewel banget dari pagi minta pulang. Jadi biar nanti aku pulang dulu bawa Raka, nanti kalo dia udah tidur aku balik lagi deh. Janji!"

"HAH?" Mata Kanaya membulat saat mendengar Wanda mengulangi tugas Kanaya yang sebenarnya. "Emangnya Mas Saka kenapa harus dijagain?" Kanaya sudah harap-harap cemas saat menanyakan itu.

"Lah kamu gak dikabarin kalau Saka masuk rumah sakit dari kemaren, Nay?"


Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang