39 Izin

262 18 4
                                    

POV: SAKA



Kanaya merentangkan kedua tangannya sejak aku keluar dari mobil. Dia sama sekali tidak membiarkanku masuk untuk bertemu orang tuanya. Akhirnya sekarang kami malah berdebat di sisi luar pagar. Setiap aku mau maju menuju gerbang, pasti Kanaya sekuat tenaga menahanku. 

"Kan aku tadi udah bilang, aku bisa pake alasan keluar bareng Brian lagi biar gampang." 

Mendengar itu, aku bersedekap dan menatapnya dalam. Kanaya akhirnya diam lalu menunduk saat melihat tatapanku. Mungkin sadar aku tidak suka dengan caranya. "Brian terus dijadiin alasan, aku kapan?" Aku jujur mulai kesal kalau setiap bertemu Kanaya pasti ada momen dia bilang kalau tadi sudah izin mau keluar bareng Brian lah, mau kerja kelompok bareng Brian lah, gak sekalian saja izin kawin lari bareng Brian!

"Ya susah."

"Yasudah kamu telfon Brian ajak dia ikut!" Perintahku. Kanaya malah menatapku tak mengerti. "Kok diem? Ayo telfon Brian kamu itu, kita berangkat bertiga sekalian. Biar kamu gak keseringan bohong juga ke orang tua."

"Okey." Kanaya langsung mengambil ponselnya, tampak mengetikkan sesuatu. Kanaya kemudian malah menatapku sesekali saat mengetik di ponselnya.

"Ayo telfon, biar cepet berangkat!" Tatapan Kanaya tampak semakin kesal. Semakin menggemaskan. "Apa gak jadi aja?"

Seperti harapanku, Kanaya malah menaruh ponselnya di saku. Mukanya ditekuk. "Yasudah ayo ketemu Ayah." Dia lalu berjalan ke arah gerbang rumahnya.

Senyumku mengembang, menyusul Kanaya. "Sekalinya disuruh ngajak Brian beneran malah gak mau." Kanaya semakin mempercepat langkahnya menjauhiku. Aku semakin semangat untuk menggodanya. "Pasti kamu maunya cuma berdua sama Mas Saka, kan? Gak mau diganggu, kan?" Dia malah berlari setelah itu. Kanaya.. Kanaya, menggemaskan sekali tingkahnya.

Saat memasuki rumahnya malah aku sendiri yang deg-degan. Bayangan wajah Om Arif yang mengamuk langsung menghantui pikiranku. Ayo Saka! Kamu sudah melewati ini berkali-kali.

"Duduk dulu, Mas!" Aku menurut, duduk di sofa yang paling dekat dengan pintu. Kanaya lanjut ke arah ruang tengah. "AYAAAH!" Teriak gadis itu. Aku elus dada. Kok bisa ya Kanaya yang barusan teriak-teriak begitu malah sangat menarik perhatianku? Kuatkan dirimu, Saka. Cuma itu kok kekurangan Kanaya. Nanti bisa ditarik ke jalan yang lebih baik.

Sekitar lima menit aku dibiarkan menunggu sendiri di ruang tamu. Kanaya belum kembali dari pencariannya. Sepi sekali rumah ini, Awan sepertinya belum pulang, bagus lah.

"Sudah dah lama nunggu?" Om Arif muncul dengan penampilan standar rumahannya. Kemeja kotak-kotak dengan sarung. Tidak ada yang berubah sejak dulu, beliau selalu seperti ini kalau di rumah.

Aku langsung menghampiri untuk salam. Calon mertua, harus sopan. "Barusan kok, Om." Kataku setelah melepas jabatan tangan kami. Om Arif langsung duduk di sofa yang berseberangan dengan tempatku duduk tadi. Ah, Om Arif tetap saja baik dari dulu. Bisa lancar terkendali lah ini. "Tante Kanaya ada, Om?"

"Hah?"

Sudah disambut dengan ramah begini tetap saja mulut gak bisa diajak kerjasama. "Tante Salma maksudnya."

Om Arif terkekeh. "Lagi bikin teh, dibantuin Tante Kanaya." Kan, Om Arif malah menyindir halus kegugupanku tadi.

"Gimana usaha barunya? Lancar?"

Aku mengernyitkan kening. Om Arif sudah tahu ya berarti kalau aku baru merintis usaha. "Alhamdulillah, Om. Mulai banyak kerjaan masuk."

"Alhamdulillah." Om Arif mengangguk-anggukkan kepala. "Kanaya waktu itu cerita, katanya kamu dipecat terus bikin usaha sejenis. Bagus itu."

Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang