64 Saka dan Kesendiriannya

328 24 13
                                    

POV: SAKA

Entah ini sudah hari sabtu ke berapa yang kulewati tanpa Kanaya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali kami menghabiskan akhir pekan bersama. Bahkan perayaan tahun baru kemarin terlewati begitu saja dengan tidur seharian. Sudah selama itu tapi aku belum juga bisa beradaptasi. Meskipun aku selalu berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja di depan orang-orang, mereka tidak akan tau seberapa sakit hatiku merasa kehilangan.

Hari ini ada sedikit hal aneh. Om Arif tadi langsung menelfonku pagi-pagi. Beliau menawarkan minum teh di rumahnya nanti sore, katanya ada yang perlu dibicarakan. Entah hal apa itu, sepertinya serius sekali. Aku sebenarnya tidak berharap bisa bertemu Kanaya nantinya. Percuma kalau hari ini kami ketemu tapi akhirnya harus diem-dieman lagi untuk besok dan seterusnya. Aku malah berpikir harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, bisa saja ternyata yang ingin Om Arif bicarakan adalah tentang keputusan Kanaya untuk menyelesaikan hubungan kami. 

Jam tiga sore aku sudah bersiap dari rumahku yang selalu sepi di akhir pekan. Dulu saat aku masuk SMA, Papa bilang aku harus belajar mandiri dengan hidup sendiri di rumah ini. Awalnya memang tidak benar-benar sendiri. Mama membayar jasa ART dan supir di awal aku masuk SMA. Sepertinya usaha orang tuaku berhasil, malah terlalu berhasil. Saat aku sudah punya SIM A dan C, aku benar-benar tidak mau lagi di antar supir. Akhirnya Pak Tri, supirku, ditarik ke Malang. Supir di tarik, lanjut Mbok Eli juga minta pindah ke Malang lagi. Katanya sungkan kerja di rumahku tapi aku tidak pernah makan di rumah. Sekalinya mau makan malah masak sendiri. Baju-baju juga seringnya kumasukkan sendiri ke mesin cuci, tinggal pencet doang kenapa harus merepotkan orang lain kan? Akhirnya ya Mbok Eli beneran dipindah untuk mengurus salah satu vila di Batu. Setelah ditinggal mereka, aku tidak mengalami kesulitan apapun. Malah aku merasa lebih bebas dengan hidup sendirian di rumahku. Aku malah akan merasa sangat terganggu kalau tiba-tiba Wanda datang berkunjung. Menurutku dia bisanya cuma mengganggu hari liburku dari dulu. Kira-kira seperti itu kehidupanku dulu. Aku senang dengan kesendirianku di rumah ini. Tapi setelah belasan tahun tinggal di rumah ini, baru akhir-akhir ini aku merasa tersiksa karena sendirian.

Akhir-akhir ini aku benci untuk mengakui, aku merindukan Wanda datang bersama suaminya untuk mengganggu hari liburku. Aku juga mulai sering berharap Awan dengan kunci ajaibnya tiba-tiba muncul mencari keributan. Di hari sabtu seperti ini, aku ingin  ada orang yang menanyakan kabarku yang jelas tidak baik-baik saja tapi selalu berusaha kututupi. Dan aku rindu Kanaya. Tapi aku sudah terlalu kecil hati untuk mengharapkan kehadirannya.

"Om Arif mana, Wan?" tanyaku begitu keluar dari mobil dan menghampiri Awan yang sedang bersantai di teras rumahnya.

"Tumben nyariin Ayah? Mau ngapain?"

"Om Arif yang nyuruh gue dateng. Katanya ada yang mau diobrolin."

Awan manggut-manggut lalu memasukkan ponselnya ke saku celananya. Dia langsung saja masuk ke rumahnya tanpa menyuruhku duduk dulu, jadi aku akhirnya hanya berdiri sambil menunggu Om Arif yang pasti sedang dipanggil Awan.

"Om, assalamualaikum!" salamku saat melihat Om Arif keluar diikuti oleh putranya. 

"Waalaikumsalam. Duduk aja."

Setelah adegan menyalami Om Arif, aku menduduki kursi di depannya. Awan juga ikut duduk tapi malah kembali sibuk dengan ponselnya.

"Gimana kabarnya? Sehat?"

"Sehat, Om."

Saat itu lah Tante Salma juga menyusul sambil membawa nampan yang di atasnya ada tiga cangkir teh yang tampak masih panas lengkap dengan sekaleng biskuit yang tampak masih belum dibuka plastik segelnya.

"Silahkan, Mas!"

Aku hanya mengangguk ramah dan Tante Salma masuk lagi ke dalam rumah.

Sampai detik ini aku tidak melihat Kanaya tapi seperti yang kukatakan tadi, aku tidak begitu berharap untuk bertemu Kanaya hari ini. 

Mengganti Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang