CHAPTER 01. ALESHA DAN AGASTYA

4.1K 152 0
                                    

"Enak ya, santai-santai sambil makan donat. Sedangkan Mama kamu sibuk bersihin rumah."

Alesha yang akan memasukan donat ke dalam mulutnya, ia urungkan saat mendengar sindiran pria paruh baya yang merupakan Ayah tirinya. Alesha kemudian meletakan kembali donat yang ia pegang ke dalam wadah.

"Maksud Ayah apa? Alesha baru aja selesai nyuci baju dan nyapu halaman depan, Ayah nggak lihat? Alesha juga bantuin beres-beres rumah!" balas Alesha kepada Aditya, Ayah tirinya.

"Berani kamu meninggikan suara di hadapan saya?!"

"Apa? Ayah mau tampar aku? Tampar aja. Alesha capek, karna dari dulu semua yang Alesha lakukan selalu salah di mata Ayah!" Alesha mengatakan itu dengan mata yang berkaca-kaca.

Alesha kemudian bangkit dari bangku taman yang berada di halaman belakang rumahnya. Ia berniat pergi dari sana. Tapi sebelum pergi dari sana, ia berpapasan dengan Mamanya yang membawa secangkir kopi.

"Liza, lihat anak kamu! Dia berani meninggikan suara di hadapan aku," adu Aditya kepada Liza, Mama dari Alesha.

"Alesha, apa benar yang dikatakan Ayah kamu itu? Mama nggak pernah ngajarin kamu dan Gianira kayak gitu," ucap Liza kepada Alesha.

"Iya, Mama memang nggak pernah ngajarin kayak gitu. Karna dari dulu Mama nggak pernah ngajarin Alesha dan lebih mementingkan Gianira, anak kesayangan Mama itu! Alesha capek dibeda-bedakan terus, Ma. Alesha juga anak Mama!" Alesha mencoba mengeluarkan isi hatinya selama ini.

Kejadian yang baru saja terjadi membuat Liza dan Aditya terkejut. Mereka tidak menyangka jika Alesha membalas ucapan Liza dengan berteriak. Tidak seperti biasanya Alesha begitu.

"Alesha tadi cuma istirahat sebentar karna capek habis nyuci baju dan nyapu halaman depan rumah. Tapi Ayah bilang kalau Alesha bersantai dan Mama bersihin rumah sendiri. Kenapa semua yang dilakukan Alesha itu selalu salah di mata Ayah?" Setelah mengatakan itu Alesha pergi dari sana dan membuat Liza berteriak memanggilnya.

"Alesha! Mau kemana kamu?!"

"Ke rumah Papa," balas Alesha sambil menghapus air matanya yang tiba-tiba turun.

Mungkin 'lelah' itu kata yang cocok untuk menggambarkan kondisi Alesha saat ini. Lelah bukan karna melakukan aktivitas, tapi lelah menghadapi sikap orang tuanya kepadanya.

Alesha adalah korban dari keegoisan kedua orang tua kandungnya. Mereka berpisah saat Alesha masih berumur lima bulan. Tidak hanya itu, mereka juga menikah lagi dengan pasangan baru dan memiliki seorang anak. Hal itu membuat Alesha kekurangan kasih sayang.

Rasa ingin menyerah sempat ada di benak Alesha, tetapi ia berusaha menghilangkannya karna masih banyak hal yang belum ia jalani di dunia ini.




Di lain tempat, tepatnya di dapur sebuah rumah megah. Seorang laki-laki mencengkram kuat gelas yang ia pegang. Kemudian ia membanting gelas yang dipegangnya, hal itu menyebabkan pecahan gelas berserakan di lantai dapur.

Laki-laki itu adalah Agastya yang baru saja sampai di rumah setelah melakukan lari pagi. Dirinya yang merasakan haus langsung menuju dapur rumahnya untuk mengambil minum. Baru saja akan menuang air ke gelasnya, ia urungkan saat mendengar kegaduhan yang berasal dari kamar orang tuanya. Agastya yakin bahwa kedua orang tuanya itu pasti sedang berdebat.


Setelah membanting gelas yang dipegangnya, Agastya berlari menuju kamar kedua orang tuanya. Ia masuk ke kamar orang tuanya tanpa permisi. Terlihat kedua orang tuanya sedang beradu mulut dan Ayahnya bersiap melayangkan tangannya ke arah Bunda Agastya.

"Ayah, berhenti! Jangan sakiti Bunda lagi!" Agastya berlari ke arah Bundanya, dan dengan segera ia memeluk wanita itu.

"Agastya, kamu jangan ikut campur urusan Ayah dan Bunda kamu!" Gardana, Ayah Agastya itu memperingati Agastya agar tidak ikut campur dalam urusannya.

"Apa Ayah bilang? Agastya jangan ikut campur dalam urusan Ayah dan Bunda? Tapi Ayah sudah keterlaluan! Ayah selalu main tangan setiap bertengkar dengan Bunda!" Agastya berteriak marah ke Ayahnya.

"Agastya, udah. Bunda nggak apa-apa kok." Airin, Bunda Agastya itu mengelus lengan putranya untuk menenangkannya.

"Tapi Bun—"

"Sekarang kamu keluar Agastya! Ayah mau menyelesaikan masalah dengan Bunda kamu." Gardana memotong ucapan Agastya dan menyuruhnya keluar.

Agastya menggelengkan kepalanya, ia juga mengeratkan pelukannya. "Nggak, Ayah pasti bakalan main tangan lagi ke Bunda."

"Agastya, kamu dengar apa yang Ayah ucapkan tadi? Ayah bilang keluar!" Kini Gardana lah yang berteriak marah.

"Sayang, kamu keluar dulu ya. Biar Bunda selesaikan masalah ini dengan Ayah kamu." Airin menatap putranya dan menyuruhnya untuk keluar dari kamarnya. Sedangkan Agastya menggelengkan kepalanya mendengar suara lembut Bundanya.

"Ayah, Agastya mohon jangan sakiti Bunda terus. Ayah juga nggak bisa terus-menerus menyalahkan Bunda atas kejadian di masa lalu. Karna itu bukan sepenuhnya salah Bunda." Agastya berujar seperti itu sembari menatap Ayahnya.

"Tapi Zora meninggal gara-gara kelalaian Bunda kamu!"

"Ayah juga salah! Andai waktu itu Ayah datang tepat waktu ke rumah sakit, pasti Kak Zora masih ada di sini bersama kita!" Setelah mengatakan itu, Agastya mendapatkan sebuah tamparan dari Ayahnya.

Agastya memegang pipinya yang baru saja mendapat tamparan. Ia kemudian tersenyum sinis ke arah Ayahnya. "Yang Agastya katakan benar kan? Ayah waktu itu sibuk bermesraan dengan selingkuhan Ayah, sedangkan saat itu Kak Zora sangat membutuhkan donor darah dari Ayah!"

Gardana bungkam mendengar hal itu. Ia kemudian keluar dari kamar tanpa mengucap sepatah kata lagi.

Setelah melihat suaminya pergi, Airin menghampiri Agastya. Ia menatap khawatir putranya, kekhawatirannya bertambah saat melihat darah keluar dari sudut bibir Agastya akibat tamparan yang dilayangkan Gardana. Airin kemudian mengajak Agastya duduk di sofa yang berada di kamarnya.

"Sayang, bibir kamu berdarah. Tunggu di sini dulu ya, Bunda mau ambil obat merah dan kapas buat luka kamu." Airin berjalan menuju sebuah lemari untuk mengambil P3K.

"Bunda, Agastya nggak apa-apa. Ini cuma luka kecil," ucap Agastya saat Bundanya menghampiri dirinya sambil membawa kotak P3K.

"Biarpun luka kecil, harus tetap diobatin, sayang."

Agastya meringis saat permukaan kapas menyentuh luka di bibirnya. "Bunda kenapa masih bertahan sama Ayah sih? Ayah kan udah sering nyakitin Bunda."

Agastya bertanya seperti itu karna melihat Bundanya masih mempertahankan pernikahan dengan Ayahnya. Padahal Ayahnya itu terlalu sering menyakiti Bundanya. Pertengkaran dalam rumah tangga pun hampir setiap hari terjadi. Hal itu membuat Agastya sangat muak mendengarkan pertengkaran orang tuanya.

Semenjak kematian Kakaknya, hidup Agastya berubah drastis. Keluarga yang dulunya harmonis, sekarang berubah menjadi broken home. Ayahnya selalu menyalahkan Bundanya atas kematian Zora, Kakak Agastya. Hal itulah yang memicu perdebatan antara orang tuanya.

Airin meletakan kembali obat merah ke dalam P3K, dirinya telah selesai mengobati luka Agastya. "Kamu sendiri pasti sudah tau alasan Bunda bertahan dengan Ayah kamu."

Agastya menghela nafas mendengar jawaban Bundanya, ia sebenarnya tau alasan Airin mempertahankan pernikahannya dengan Gardana. Agastya kemudian beralih memegang tangan Airin, ia genggam kuat tangan Bundanya itu sembari berkata, "Bunda memang wanita yang kuat. Agastya beruntung punya Ibu seperti Bunda."

—————

Hai, selamat datang di ceritaku. Cerita yang aku buat ini bukan hanya menceritakan kisah percintaan Alesha dan Agastya saja. Tapi juga akan menceritakan kehidupan mereka, mulai dari keluarga, persahabatan dan masalah yang mereka hadapi. Mungkin itu aja, sampai jumpa di part selanjutnya.

ALEAGAS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang