CHAPTER 19

663 50 0
                                    

"Aku lelah, Mas. Aku lelah menghadapi sikap kamu yang seperti ini terus!"

Agastya menyumpal kedua telinganya dengan earphone. Kemudian ia menyetel lagu yang ada di handphone-nya dengan sangat kencang. Itu semua ia lakukan agar tidak mendengar pertengkaran orang tuanya.

Setelahnya Agastya memilih turun ke lantai bawah untuk mengambil minum dan makan. Dirinya lapar karena sejak pagi belum makan. Nafsu makannya tadi pagi menghilang karena mendengar pertengkaran orang tuanya.

"Kalau bukan karna Bunda, gue udah pergi dari rumah ini. Capek gue denger mereka berantem terus," celetuk Agastya.

Tiba-tiba saja salah satu earphone Agastya terjatuh. Agastya tau itu ulah salah satu makhluk tak terlihat di rumahnya. Agastya kemudian melepas kedua earphone-nya dan meletakannya di meja makan.

"Capek, bro?"

"Yoi," balas Agastya kepada makhluk tak kasat mata itu.

Agastya semenjak lahir memang memiliki kelebihan dapat melihat dan berkomunikasi dengan makhluk yang tak kasat mata. Kelebihannya itu hanya diketahui oleh kedua orang tuanya saja. Tak ada yang tau selain orang tuanya.

"Sini curhat sama gue, bro. Gue siap dengerin curhatan lo." Makhluk tak kasat mata itu ikut mendudukan diri di kursi meja makan.

"Thanks, bro. Lain kali aja."

"Oh ya udah, nanti kalau mau curhat tinggal panggil gue aja."

"Hmm."

"Kayaknya enak tu, Gas. Bagi dong."

"Lo mau? Bentar gue ambilin. Jangan lo ambil sendiri, nanti yang ada masakan Bunda gue jadi hambar." Agastya bangkit dari duduknya untuk mengambil satu piring lagi. Ia kemudian mengambil nasi dan beberapa lauk yang dimasak Bundanya.

"Thanks, Gas."

"Lo kalau capek cerita aja ke orang yang lo percayai, Gas. Jangan lo pendam sendiri. Nanti lo kayak gue, bunuh diri dan berakhir penyesalan. Bunuh diri itu bukan solusi untuk nyelesain masalah, nanti yang ada malah jadi arwah gentayangan kayak gue," kata sosok tak kasat mata itu kepada Agastya.

Agastya memperhatikan sosok tak kasat mata di hadapannya. Ia merasa kasihan karena sosok di hadapannya belum bisa tenang. Agastya kemudian bertanya kepada sosok itu, "lo belum bisa tenang ya, Bang?"

"Belum, gue belum bisa tenang kalau masih lihat Mama masih sedih," jawab sosok di hadapannya.

"Lo juga sih, ngapain pake acara bunuh diri. Kasian nyokap lo, Bang Azra."

"Gue juga nyesel, karena ngelakuin tindakan bodoh. Gue capek dengan keadaan gue semasa hidup sampai mutusin buat bunuh diri. Gue ngelakuin itu sampai lupa sama nyokap gue. Seharusnya gue bertahan demi nyokap gue," ucap sosok bernama Azra itu dengan penuh penyesalan.

Azra adalah sosok yang sudah meninggal, tapi rohnya belum bisa tenang. Kematiannya mendahului takdir dari Tuhan. Ia dengan sengaja menghabisi nyawanya sendiri karena tidak kuat lagi menghadapi masalah hidupnya. Dan sekarang rohnya tidak tenang dan memilih tinggal di rumah Agastya.

"Gas, gue mau minta tolong. Tolong temui Mama gue dan bilang buat ikhlasin gue," pinta Azra.

"Apa dengan cara itu, lo bakal tenang?"

"Gue sendiri juga nggak tau."

"Kalau itu bisa buat lo tenang, bakal gue lakuin."




"Di sini ada yang bapaknya duda nggak?" tanya Agastya kepada teman-temannya di markas LEANDER.

Agastya yang baru saja sampai di markas LEANDER langsung bertanya seperti itu. Ia kemudian mendudukan dirinya di sofa samping Edsel. Ia juga merebut rokok yang akan dinyalakan oleh Edsel.

"Bagi, Sel," ucapnya pada Edsel. Sedangkan Edsel hanya berdehem menanggapi Agastya.

"Tuh, bapaknya si Edsel duda. Bapak gue juga calon duda," celetuk Zio yang sudah dari tadi berada di markas LEANDER. Ia kemudian menghampiri Agastya dan Edsel.

"Yang diomongin Zio, bener Sel?" tanya Agastya kepada Edsel.

"Hmm," balas Edsel.

"Kebangeten lo, status bapak temen sendiri nggak tau. Lo itu sahabatan sama Edsel udah berapa lama, anjir? Dari SMP!" ucap Zio yang kesal dengan Agastya.

"Namanya aja nggak tau."

"Lo itu nggak pernah ngerokok, tapi kenapa sekarang lo ngerokok? Lagi stres lo?" tanya Zio kepada Agastya. Ia heran melihat sahabatnya akan mencoba merokok.

"Hmm, gue pengen nyoba."

"Bokap lo kalau dijodohin sama nyokap gue mau nggak ya, Sel? Nanti lo jadi saudara gue. Nyokap gue baik kok, Sel," kata Agastya kepada Edsel.

"Nggak, makasih tawarannya," balas Edsel.

"Kalau lo, Zio? Bokap lo dijodohin sama nyokap gue, terus nanti lo jadi saudara gue. Lo juga tau sendiri gimana sifat Bunda gue." Kini Agastya berkata kepada Zio.

"Gue sih, mau-mau aja jadi saudara lo, Gas. Tapi masalahnya bokap gue itu playboy, gue nggak mau kalau Tante Airin punya suami modelan kaya bokap gue," balas Zio.

Agastya terdiam sebentar untuk berpikir. Tidak mungkin ia menjodohkan Bundanya dengan orang yang sifatnya sama seperti Ayahnya. Ia kemudian meminjam korek api milik Edsel untuk menyalakan rokoknya.

"Ya, udah lah. Nanti gue cari orang lain yang pantes buat Bunda gue."

"Nyokap, Bokap lo kan belum cerai, Gas. Kenapa lo udah nyari calon buat Tante Airin?" Zio kembali bertanya kepada Agastya.

"Ya, nggak apa-apa, anjir."

Agastya mulai menghisap rokok ditangannya setelah menyalakannya. Bukannya membuang asap rokok, Agastya justru menelan asap rokok yang dipegangnya. Hal itu membuatnya terbatuk-batuk.

"Uhuk, uhuk..."

"Bego," kata Edsel setelah menghembuskan asap rokoknya. Mulutnya dengan spontan mengucapkan hal itu saat melihat sahabatnya yang tidak tau cara merokok.

"Sok-sokan lo, Gas. Udah tau belum pernah ngerokok, gegayaan pake ngerokok segala," cibir Zio.

Agastya yang masih terbatuk-batuk juga menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Seharusnya ia mendengarkan kata Bundanya untuk tidak menghisap rokok. Sekarang ia tau akibatnya tidak mengikuti perkataan Bundanya.

Maafin Agas, Bunda. Sekarang Agas tau akibatnya nggak dengerin perkataan Bunda, batin Agastya yang sudah berhenti batuk.

ALEAGAS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang