CHAPTER 14

729 57 0
                                    

Agastya memandang nisan bertuliskan nama Zora Agnara Nawasena di hadapannya. Saat ini Agastya tengah berada di pemakaman umum tempat Kakaknya dimakamkan. Ia kemudian mengambil bunga yang ia bawa dan langsung menaburkannya di makam sang Kakak.

"Maaf, Kak. Agastya baru sempat mengunjungi Kakak," ucap Agastya sambil menaburkan bunga.

"Agastya akhir-akhir ini sibuk latihan voli dan basket, Kak. Itu semua Agastya lakukan cuma buat nyari kesibukan di luar rumah, Agastya bosen kalau harus di rumah terus dan denger orang tua kita berantem. Kakak tau? Ayah dan Bunda sekarang berantem setiap hari, bahkan sekarang masalah kecil dibesar-besarkan," adunya di hadapan makam sang Kakak.

"Andai waktu itu Agastya nggak maksa Kakak buat pergi beli es krim. Pasti semua ini nggak akan terjadi. Kakak pasti masih di sini dan orang tua kita nggak akan berantem setiap hari." Agastya mengusap matanya yang berair. Ia mengingat kembali kejadian masa lalu yang membuat ia kehilangan Kakaknya untuk selama-lamanya.

"Tapi ini semua udah takdir kan, Kak? Kakak dulu sempat bilang kalau kita harus bisa menerima takdir yang Tuhan berikan kepada kita. Jadi Agastya akan mencoba menerima takdir." Agastya berusaha tersenyum setelah mengatakan itu. Ia kembali mengusap matanya yang tiba-tiba meneteskan air.

"Maaf, Kak. Agastya sekarang cengeng. Oh iya, Agastya lupa bilang kalau sekarang Agastya udah punya pacar, Kak. Pacar Agastya itu sama kayak Kakak, cerewet dan galak. Bahkan ulang tahunnya sama kayak Kakak. Nanti kapan-kapan Agastya ajak ke sini, ya."

Agastya menghela napasnya, setelahnya ia berkata, "selamat ulang tahun Kak Zora, seharusnya Agastya bilangnya besok. Tapi sekarang nggak apa-apa kan? Hehehe... Udah mau malam, Kak. Agastya pulang dulu ya, takutnya nanti Bunda nyariin." Agastya mengelus nisan Kakaknya. Ia kemudian berdiri dan setelahnya ia berjalan menjauh dari makam sang Kakak.




Flashback

"Kakak, ayo kita beli es krim. Di depan komplek ada toko es krim yang baru buka," ajak seorang anak laki-laki berusia enam tahun kepada Kakaknya.

Anak laki-laki itu adalah Agastya. Ia mengajak Zora, Kakaknya yang saat itu berusia sebelas tahun untuk membeli es krim.

"Tunggu Bunda dulu, ya. Bunda lagi pergi arisan di tetangga sebelah," ucap Gardana kepada mereka.

"Ayah... Agas maunya sekarang..." rengek Agastya.

"Tunggu Bunda dulu, tokonya di seberang jalan raya. Bahaya kalau pergi cuma berdua."

"Iya, Agastya. Yang dikatakan Ayah bener, tunggu Bunda dulu ya," kata Zora. Ia mengelus rambut adiknya dengan sayang.

"Ya udah, ayo sekarang kita susul Bunda. Kalo nunggu Bunda pulang pasti lama." Tanpa menunggu jawaban, Agastya menarik tangan sang Kakak menuju rumah sebelah.

Melihat hal itu membuat Gardana menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum melihat anak bungsunya berjalan dengan tidak sabaran, sedangkan anak sulungnya harus mengikuti kemauan adiknya. Gardana kemudian berkata, "pelan-pelan jalannya, nanti kalian bisa jatuh."

.

Sesampainya di rumah tentangganya, Agastya langsung menemui Bundanya. "Bunda, Agas mau beli es krim."

"Mau beli es krim di mana, sayang? Tunggu Bunda selesai arisan dulu, ya," balas Airin.

"Beli di depan komplek, Bunda. Kalau nunggu Bunda selesai arisan pasti lama. Agas beli sama Kak Zora aja, minta uangnya Bunda."

"Jangan, Agastya. Bahaya, di sana ada jalan raya. Tunggu Bunda aja, ya?"

"Nggak, Agas mau beli sendiri. Kan ada Kak Zora, Bunda..."

Airin mengamati putra dan putrinya. Kemudian ia menghela napasnya, dengan terpaksa ia mengiyakan Agastya. "Ya udah, tapi kalian hati-hati ya." Airin mengeluarkan selembar uang dari dompetnya dan memberikannya kepada Agastya.

"Makasih Bunda." Setelah mengatakan itu, Agastya berlari keluar rumah sambil menggandeng tangan Kakaknya.

.

"Ayo, Kak. Cepet jalannya."

"Sebentar, Agastya. Kakak capek." Zora menghentikan langkahnya dan mengatur napasnya. Napasnya tidak teratur karna diajak lari oleh Agastya.

"Ih... Kakak. Ayo, Kak. Kalo gitu biar Agastya aja yang beli sendiri." Agastya kembali berlari, ia meninggalkan Zora begitu saja.

"Agastya jangan lari-lari! Nanti kamu jatuh!" teriak Zora, tapi Agastya tidak mengindahkan hal itu.

Dan benar saja, sekarang Agastya terjatuh karena tersandung batu. Melihat hal itu, Zora langsung menghampiri adiknya.

"Hiks... Kakak. Kaki Agastya sakit," ringis Agastya yang lututnya terluka.

"Agastya, lutut kamu berdarah. Kita duduk dulu di bangku situ, ya." Zora memapah Agastya dan membawanya duduk di bangku yang berada di pinggir trotoar.

"Berhenti nangisnya, ya. Anak laki-laki nggak boleh cengeng." Zora menghapus air mata Agastya.

"Hiks... iya."

"Jadi nggak beli es krimnya? Kalau jadi biar Kakak aja yang beliin, kamu tunggu di sini."

"Jadi, Agas mau es krim rasa nanas."

"Kamu ini ada-ada aja sih, Gas. Es krim rasa nanas mana ada." Zora terkekeh melihat Agastya yang menginginkan es krim rasa nanas.

"Kalau nggak ada, nanti Agastya yang bakal ciptain," balas Agastya.

Zora tertawa mendengar hal itu. Adiknya ini memang ada-ada saja. "Tunggu sini, ya. Kakak beliin es krim rasa strawberry, kesukaan kamu. Nanti habis beli es krim kita obatin luka kamu, ya."

Zora berdiri dari duduknya. Ia berjalan ke pinggir jalan raya untuk menyebrang ke toko es krim yang berada di seberang.

Saat hendak menyebrang, tiba-tiba saja sebuah mobil melaju sangat kencang. Mobil tadi hilang kendali sehingga menabrak trotoar dan menghantam Zora yang berada di pinggir jalan.

"Aakkhh..."

Agastya yang menyaksikan itu langsung berteriak histeris memanggil Kakaknya. "Kak Zora!"

"Kak Zora..." lirih Agastya saat melihat kondisi Kakaknya.

Tubuh Zora terpental beberapa meter dari tempat kejadian. Darah merembes keluar dari tubuh Zora dan membasahi aspal.

Banyak orang yang menghentikan laju kendaraannya saat melihat kejadian tadi. Mereka kemudian menghampiri Zora yang terkapar di aspal dengan bersimbah darah untuk melihat kondisinya. Dan salah satu dari mereka langsung menelpon ambulans untuk segera datang di tempat kejadian.

Agastya berlari menghampiri Kakaknya yang terkapar di aspal. Ia menangis histeris melihat kondisi Kakaknya. Setelahnya pandangan Agastya menjadi buram. Agastya pingsan karena melihat banyak darah yang keluar dari tubuh Zora.

Agastya sebelum pingsan sempat berharap kejadian tadi hanyalah sebuah mimpi buruk. Tapi kenyataan itu bukan sebuah mimpi. Sanggup atau tidak sanggup dia harus menerima kenyataan setelah ia bangun nanti. Kenyataan bahwa ia kehilangan Kakaknya untuk selama-lamanya.

Flashback end

ALEAGAS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang