CHAPTER 35

711 49 0
                                    

Jam menunjukan pukul sembilan malam, Agastya yang sudah selesai belajar menutup bukunya. Ia bangkit dari kursi tempatnya duduk untuk pergi ke lantai bawah, mungkin lebih tepatnya dapur. Agastya akan memasak mie instan untuk ia makan.

Dan saat akan melewati ruang keluarga, Agastya berhenti sejenak untuk berdehem. Ia melihat kedua orang tuanya sedang bermesraan sembari menonton film di televisi yang berada di sana.

"Ehem! Kayak pengantin baru aja ni orang tuanya Agastya," sindir Agastya kepada orang tuanya yang sedang bermesraan.

Mengetahui keberadaan Agastya, dengan spontan Gardana melepas rangkulannya di bahu Airin. Gardana kemudian mengatakan sesuatu kepada anaknya itu, "iri aja kamu, Gas."

Agastya tidak menghiraukan perkataan Ayahnya. Ia memilih pergi ke dapur untuk makan. Perutnya sudah terasa sangat lapar karena belum diisi semenjak siang tadi. "Terserah Ayah aja," ucapnya sembari berjalan ke dapur.

Tapi langkah Agastya terhenti saat Bundanya berteriak memanggil dirinya. Tentunya Agastya harus berbalik arah menghampiri Bundanya itu.

"Agastya! Jangan makan mie instan lagi kamu!" teriak Airin yang mengetahui putranya pergi ke arah dapur. Putranya itu pasti akan memasak mie instan karena dirinya tidak memasak sejak tadi pagi.

"Agas laper, Bun. Agas makan apa kalau nggak makan mie instan. Bahan makanan di kulkas juga habis," balas Agastya dengan raut wajah melas.

"Salah sendiri tidak mau diajak ke restoran buat makan malam. Kelaparan kan kamu," ejek Gardana ke putranya.

"Tadi Bunda udah bungkusin makanan buat kamu. Sebentar biar Bunda panasin dulu." Setelah mengatakan itu, Airin bangkit dari duduknya menuju dapur. Ia akan memanaskan makanan untuk Agastya.

"Iya Bun."




Agastya melahap makanan yang berada di piringnya tanpa menghiraukan Ayahnya. Ayahnya itu pasti sedang kesal dengan keberadaannya yang mengganggu kebersamaan dengan Bundanya.

"Agas, kamu yakin mau melanjutkan pendidikan ke Stanford? Apa kamu sanggup jika harus menjalani hubungan jarak jauh dengan Alesha? Hubungan kamu dengan Alesha baru saja membaik lho, sayang." Airin membuka suara setelah melihat Agastya telah menyelesaikan makannya.

"Masuk ke universitas Stanford adalah impian Agas sejak SMP. Untuk masalah LDR, Agas belum tau, Bun. Semoga aja Agas bisa menjalaninya," balas Agastya.

"Bun, kalau selama LDR Alesha tertarik sama cowok lain gimana? Agas nggak mau kalau hubungan Agas dan Alesha berakhir. Agas sayang sama Alesha, Bun," imbuh Agastya lagi.

"Sekarang baru bilang sayang, kemarin-kemarin ke mana kamu?" sahut Gardana dengan sinis.

Agastya menatap kesal ke arah Ayahnya yang mengatakan itu. "Yah, Agas kemarin-kemarin udah sadar sama perasaan Agas. Tapi gengsi buat mengakuinya,"

Airin menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Agastya. Airin juga melirik ke arah suaminya yang menurunkan sifat gengsian dan tidak peka kepada Agastya. "Kamu itu persis sama Ayah kamu, gengsian dan sulit peka. Oh iya, Gas. Bunda tadi ketemu Alesha sama sahabat kamu yang kayak kulkas itu di rumah sakit. Bunda baru tau lho kalau Alesha juga sahabatan sama sahabat kamu itu."

"Maksud Bunda, Edsel?" tanya Agastya.

"Iya, tapi kok dia tadi nggak ngenalin Bunda, ya. Apa dia hilang ingatan?" ujar Airin heran.

"Itu bukan Edsel, tapi kembarannya," jelas Agastya kepada Bundanya.

"Oh kembarannya. Kamu kok kayak kesel gitu sih, sayang? Kenapa?" Airin bertanya kepada Agastya karena melihat perubahan raut wajah Agastya.

"Gimana nggak kesel Bun, sahabat Alesha itu deket banget sama Alesha. Bahkan manggil Alesha dengan sebutan sayang. Agas aja yang pacarnya Alesha nggak pernah manggil Alesha sayang."

"Oh, jadi anak Bunda ini cemburu?"

"Iya dong Bun, Agas kan pacarnya Alesha."

"Sekarang kamu rasain jadi Alesha selama ini kan? Enak nahan rasa cemburu?" tanya Gardana dengan nada ejekan.

"Ayah kenapa sih? Dari tadi sensi banget sama Agastya. Keganggu karena Agastya ada di sini? Ayah nggak bisa berduaan sama Bunda karena ada Agastya? Iya?" tanya Agastya kesal kepada Ayahnya.

Agastya dan Gardana saling melemparkan tatapan permusuhan. Ayah dan anak itu pasti akan berdebat sebentar lagi. Untuk mencegah hal itu terjadi, Airin membuka suara menyuruh Agastya kembali ke kamarnya. "Sayang, kamu udah selesai kan makannya? Kamu kembali ke kamar, ya. Kamu istirahat, biar besok waktu ujian bisa lancar pikiran kamu."

"Iya Bun," balas Agastya. Setelahnya Agastya bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kamarnya. Tetapi sebelum benar-benar pergi dari ruang keluarga, Agastya menyempatkan diri menatap Ayahnya dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya.

"Anak kamu itu, Rin. Nggak tau sifatnya nurun dari siapa," celetuk Gardana setelah Agastya pergi dari sana.

"Ya, dari kamu lah, Mas. Sifat keras kepala, gengsian dan sulit peka itu kan kamu banget," balas Airin dengan tertawa kecil.

Gardana turut tertawa melihat istrinya yang tertawa. Hubungannya dengan sang istri kini kembali membaik. Gardana sekarang sadar akan kesalahan yang telah ia lakukan. Dan sekarang ia mencoba meperbaiki hubungannya dengan istri dan anaknya.

—————

Halo, aku update lagi. Maaf baru bisa update sekarang, kemarin2 sibuk dan udah capek banget mau update. Rencananya mau double up, tapi kayaknya besok aja deh. Yang sabar ya para readers nunggu kelanjutan cerita ini. Dah gitu aja, sampai jumpa di chapter selanjutnya...

ALEAGAS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang