CHAPTER 34

719 52 5
                                    

Hari-hari telah berlalu, hubungan Alesha dan Agastya semakin membaik sekarang. Bahkan Agastya mampu menepati janjinya kepada Alesha. Sifat cuek dan gengsian Agastya kini berangsur menghilang. Namun satu sifat muncul dalam diri Agastya setelah hubungannya dengan Alesha membaik, yaitu sifat posesif. Sekarang bukan hanya Alesha yang memiliki sifat posesif, Agastya juga memiliki sifat itu sekarang.

Dan sekarang, sepasang kekasih itu tengah berada di sebuah kafe. Mereka memutuskan menghabiskan waktu bersama sebelum ujian sekolah tiba. Ya, sebentar lagi mereka akan melaksanakan ujian sekolah.

"Sha, lo kenapa milih tinggal di rumah peninggalan Kakek lo? Nggak takut tinggal sendirian?" tanya Agastya kepada Alesha yang tengah menikmati es krim donat. Agastya bertanya seperti itu karena ia telah tahu jika Alesha tinggal sendirian di rumah peninggalan Kakeknya.

"Pengen mandiri. Lagian kenapa harus takut? Nggak ada hantu di sana," balas Alesha. Setelahnya ia kembali memakan es krim pesanannya.

"Lo yakin di sana nggak ada hantu? Tadi waktu gue jemput lo, gue lihat ada beberapa anak kecil di sana. Mereka main-main di sekitar rumah lo," ucap Agastya yang membuat Alesha menghentikan aktivitasnya memakan es krim.

Alesha menatap Agastya dengan tatapan bingung. "Anak-anak kecil? Di sekitar gue nggak ada anak-anak kecil, Gas. Rumah Kakek gue itu jauh dari tetangga, lo tadi juga lihat sendiri."

"Anak-anak kecil itu bukan manusia, mereka makhluk yang nggak kasat mata. Gue sebenarnya indigo, jadi gue bisa lihat mereka," ujar Agastya jujur.

"Apa? Lo indigo? Indibego kali, Gas," balas Alesha yang membuat Agastya menatap kesal ke arahnya.

"Gue serius, Sha. Gue itu indigo," kesal Agastya.

"Asal lo tau, gue indigo sejak lahir. Makanya gue punya kecerdasan di atas rata-rata murid yang sekolah di SMA kita. Kebanyakan anak indigo itu punya kecerdasan di atas rata-rata, nggak semua juga sih," lanjut Agastya.

Alesha hanya mengeluarkan huruf 'O' dari mulutnya saat Agastya menjelaskan. Sekarang ia tahu asal kecerdasan yang Agastya miliki. Ternyata pacarnya itu seorang indigo.

"Berarti lo bisa baca pikiran orang sama nerawang masa depan dong, Gas?" tanya Alesha.

"Kalau itu gue nggak bisa. Gue cuma bisa ngeliat dan berkomunikasi sama makhluk yang nggak kasat mata. Dan nggak semua indigo bisa kayak gitu, Sha," jelas Agastya.

"Gue kira lo bisa kayak gitu. Oh iya, Gas. Lo mau lanjut kuliah di mana habis lulus nanti?" Alesha bertanya kepada Agastya tentang pertanyaan yang sedari tadi ingin ia tanyakan.

"Rencananya mau ke Stanford. Tapi nggak tau bisa masuk ke sana atau nggak. Lo sendiri mau ke mana, Sha?" Agastya balik bertanya kepada Alesha.

"Gue mau ikut Daddy gue setelah lulus sekolah. Daddy gue di Singapura, jadi gue bakalan ke NUS."

"Btw, bokap lo berapa sih, Sha? Kok lo mau ngikut Daddy lo?"

"Satu, Ayah gue cuma satu. Daddy yang gue maksud adalah adik Mama yang nganggep gue sebagai anaknya."

"Jadi kita bakalan LDR ni? Kira-kira gue sanggup nggak, ya, Sha? Pasti bakalan lama kita LDR-an, gue kan mau lanjutin pendidikan kedokteran," ujar Agastya dengan sedikit nada sedih.

Di saat Agastya telah benar-benar sayang kepada Alesha, ada masa depan yang harus memisahkannya dengan Alesha. Agastya tidak tahu akan sanggup atau tidak menjalani hubungan jarak jauh dengan Alesha. Mereka berdua harus berpisah demi melanjutkan pendidikan.

"Gue juga nggak tau, Gas. Gue mau fokus kuliah sampai bisa jadi psikolog. Dan itu pastinya juga bakalan lama," balas Alesha yang juga terselip nada sedih.

"Semoga kita bisa jalaninya ya, Sha. Oh iya, itu di samping lo ada anak kecil yang mau es krim lo." Agastya menunjuk ke samping tempat Alesha duduk karena melihat sosok anak kecil yang tak kasat mata.

"Agastya! Jangan nakut-nakutin lo! Di samping gue nggak ada anak kecil!" teriak Alesha.

"Gue serius—" Agastya yang akan membalas teriakan Alesha pun terhenti. Alesha secara tiba-tiba berpindah ke kursi kosong sampingnya. Tak hanya itu, Alesha juga langsung memeluk erat Agastya.

"Lo takut?" tanya Agastya kepada Alesha yang justru semakin mempererat pelukannya.

"Udah nggak usah takut. Anak kecilnya udah pergi kok," ujar Agastya sembari mengelus rambut Alesha. Nada bicara Agastya juga seketika berubah melembut melihat ketakutan Alesha.

Alesha mendongak untuk melihat Agastya yang mengatakan hal itu. Ia kemudian bertanya untuk memastikan, "beneran, Gas?"

"Iya. Nggak mau dilepas pelukannya? Nyaman meluk gue?" tanya Agastya.

"Dih apaan sih, Gas. Gue tadi reflek meluk lo karena gue takut." Alesha secara spontan melepaskan pelukannya. Ia menatap Agastya dengan tatapan sinisnya mendengar perkataan Agastya.

Agastya tertawa melihat Alesha yang salah tingkah. Ia juga menarik kembali Alesha kedalam pelukannya. "Hahaha... ngaku aja kalau nyaman meluk gue. Udah nggak usah dilepas pelukannya. Gue mau ngomong serius sama lo, Sha."

"Ngomong apa sih, Gas? Gue risih pelukan begini. Lo juga kenapa sekarang jadi aneh gini? Sikap gengsian sama sikap cuek lo ilang kemana?" Alesha berusaha memberontak saat Agastya kembali memeluknya.

"Hilang karena gue udah tau perasaan gue sebenarnya ke lo. Gue sayang sama lo, Sha. Gue nggak mau kalau harus kehilangan lo," bisik Agastya tepat di samping telinga Alesha.

Alesha yang mendengar hal itu seketika langsung merinding. Suara Agastya tiba-tiba berubah menjadi lembut kepadanya. Sebelum-sebelumnya Agastya tidak pernah berbicara kepadanya selembut tadi. Walau merasa aneh dengan Agastya saat ini, Alesha juga merasa senang dengan Agastya yang sekarang. Kekasihnya itu banyak berubah menjadi lebih baik dalam memperlakukannya.

"Gue harap lo jangan ada niatan ninggalin gue, ya, Sha. Gue benar-benar sayang sama lo. Lo adalah cewek pertama yang buat gue jatuh hati. Maafin gue yang selama ini sering nyakitin lo. Gue emang bodoh, Sha. Tapi sekarang gue bakalan mencoba jadi pacar yang baik buat lo. Dan satu lagi, lo itu cewek pertama yang buat gue nangis-nangis minta maaf. Jadi gue nggak bakalan lepasin lo. Tunggu sampai pendidikan gue selesai, setelah itu bakalan gue nikahin lo, Sha," lanjut Agastya lagi.

Alesha terdiam mendengar perkataan Agastya. Jantungnya berdetak kencang mendengar perkataan Agastya. Perasaannya saat ini tidak karuan, antara senang dan sedih menjadi satu. Perasaan senang karena Agastya memintaanya untuk tidak meninggalkannya, dan perasaan sedih karena Agastya mengatakan sesuatu yang terlalu jauh. Alesha takut jika kedepannya itu semua tidak akan terjadi, tentu saja hal itu akan meninggalkan rasa sakit di hati.

—————

Gimana? Seneng lihat hubungan Alesha dan Agastya membaik? Jangan terlalu seneng dulu ya, beberapa chapter kedepan akan ada konflik buat hubungan mereka. Kira-kira siap nggak ni para readers? Nggak bakalan berat kok konfliknya, hehehe...
Sampai jumpa di chapter selanjutnya ya, para readers tercinta yang mau baca cerita aku ini :)

ALEAGAS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang