CHAPTER 24

674 56 1
                                    

Raiden mencengkram erat kerah kemeja yang Aditya kenakan. Ia memojokan Aditya ke dinding halaman belakang rumah sakit. Kemarahan terlihat jelas di wajah Raiden.

"APA MAKSUD LO NGELAKUIN HAL TADI KE ALESHA?! JAWAB GUE, BANGSAT!" teriak Raiden di hadapan Aditya.

Tatapan sinis dari Aditya itulah balasan yang Raiden dapatkan. Hal itu justru semakin membuat kemarahan Raiden memuncak. Dengan entengnya Raiden memberikan sebuah bogem mentah ke wajah Aditya.

"JAWAB GUE!" tegas Raiden.

"ANAK NGGAK BERGUNA ITU UDAH BUAT GUE KEHILANGAN CALON ANAK GUE!" balas Aditya.

"TAPI NGGAK SEHARUSNYA LO NGELAKUIN HAL TADI KE ANAK GUE!"

"Kenapa? Seharusnya gue ngelakuin lebih dari hal tadi, biar anak nggak berguna itu mati. Nyesel gue ngebiarin dia hidup sampai sekarang, harusnya gue bunuh aja dia sejak dulu," ucap Aditya dengan santainya.

Ucapan Aditya yang baru saja membuat naik darah Raiden. Dengan membabi buta Raiden memberikan bogem mentah ke wajah dan perut Aditya. Bahkan Raiden tidak memberi kesempatan Aditya untuk melawan. Kemarahan sangat menguasai Raiden karena itu menyangkut Alesha, putrinya.

"SEHARUSNYA LO YANG MATI! MANUSIA BIADAP SEPERTI LO ITU NGGAK PANTES HIDUP DI DUNIA INI, BAHKAN LO NGGAK PANTES DISEBUT MANUSIA KARENA NGGAK PUNYA HATI!" ucap Raiden sambil terus menghajar Aditya.

Raiden menghentikan pukulannya saat melihat Aditya sudah tidak berdaya lagi. Ia kemudian merapikan kemejanya yang lusuh akibat dirinya yang menghajar Aditya. Dan setelahnya Raiden pergi dari halaman belakang rumah sakit, meninggalkan mantan sahabatnya yang terkapar tidak berdaya di tanah.

Tetapi sebelum benar-benar pergi, Raiden menyempatkan mengatakan sesuatu, "gue bakalan laporin lo ke pihak berwajib. Lo harus mempertanggung jawabkan perbuatan lo."




Raiden menggenggam tangan Alesha yang masih belum sadarkan diri. Ia juga mengamati wajah putrinya itu dengan seksama. Rasa penyesalan sangat terasa di hati Raiden karena harus membiarkan Alesha tinggal bersama Ibu kandungnya dan Ayah tirinya.

Selain itu, penyesalan terbesar dari hidup Raiden adalah tidak memberikan kasih sayang penuh kepada Alesha. Dirinya sangat sibuk dalam bekerja hingga lupa memiliki seorang anak yang memerlukan kasih sayangnya. Dan keegoisannya dengan mantan istrinya membuat Alesha harus menjadi korban. Sekarang Raiden menyadari itu semua.

"Maafkan Papa, Alesha. Papa terlalu sibuk bekerja hingga lupa kalau kamu masih butuh kasih sayang Papa," ucap Raiden dengan penyesalan.

"Papa," lirih Alesha yang sudah sejak tadi sadarkan diri. Tentunya Alesha mendengar perkataan Raiden baru saja.

"Alesha, kamu sudah sadar?" tanya Raiden dengan spontan saat melihat Alesha membuka matanya.

Alesha dengan tubuh yang masih lemas mencoba untuk duduk. Melihat Alesha yang kesusahan, membuat Raiden membantu Alesha.

"Papa, boleh Alesha jujur sama Papa?" tanya Alesha pelan kepada Raiden. Mendengar hal itu membuat Raiden menganggukan kepala.

"Kalau bisa milih, mungkin Alesha ingin mendapat kasih sayang dan perhatian dari Papa secara penuh daripada materi yang Papa berikan. Papa sibuk kerja dan jarang ada waktu untuk Alesha sejak dulu, Alesha juga ingin seperti anak-anak pada umumnya yang mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apa dengan harta yang bergelimang bisa menggantikan kasih sayang? Nggak, Pa."

"Alesha bisa terima kalau Papa dan Mama harus berpisah. Tapi apa Alesha juga harus terima kalau kasih sayang yang Alesha dapatkan kurang. Apa Alesha sebegitu nggak pantasnya mendapat kasih sayang, ya, Pa?" Cairan bening keluar begitu saja dari mata Alesha setelah mengatakan itu. Dadanya juga terasa sesak saat mengatakan isi hatinya itu.

Raiden terdiam saat putrinya mencoba mengeluarkan isi hatinya selama ini. Dan tanpa sadar air mata juga menetes dari mata Raiden setelah mendengar penuturan putrinya itu. Hatinya terasa tercubit saat melihat Alesha yang menangis setelah mengeluarkan isi hatinya.

"Kamu jangan berbicara seperti itu, Alesha. Ini salah Papa, maafkan Papa." Raiden memeluk Alesha dengan erat. Pelukan yang sebelumnya tidak pernah ia berikan dengan tulus kepada Alesha.

"Maafkan Papa," lirih Raiden dengan menumpahkan air matanya.

Ayah dan anak itu berpelukan dengan erat. Mereka saling menumpahkan air mata. Raiden menangis karena penyesalan, Alesha menangis karena merasa lega setelah mengutarakan isi hatinya.

Raiden kemudian melepaskan pelukannya. Ia menghapus air mata yang membahasi pipi Alesha dengan ibu jarinya. Raiden tidak ingin putrinya terus menerus mengeluarkan air mata. Raiden kemudian berkata sambil menghapus air mata Alesha, "anak Papa tidak boleh menangis lagi setelah ini. Papa tidak akan membiarkan satu orang pun membuat kamu menangis."

Raiden di dalam hatinya membatin setelah mengatakan itu, Maafkan Papa, Alesha. Papa masih harus merahasiakan sesuatu yang begitu menyakitkan untuk kamu ketahui.




Agastya berjalan santai menuju ruang rawat Bundanya setelah selesai mengisi perut di kantin rumah sakit. Ia mengisi perut atas paksaan Bundanya walau selera makannya menghilang. Mau tidak mau ia harus menuruti Bundanya yang memaksanya untuk mengisi perut.

Mata Agastya sepanjang perjalanan menuju ruang rawat Bundanya tidak berhenti melihat sosok-sosok tidak kasat mata di rumah sakit. Beragam bentuk sosok tak kasat mata terlihat di sepanjang koridor rumah sakit. Agastya yang sudah biasa melihat sosok tak kasat mata, tidak acuh saat melihat mereka. Ia sudah terbiasa dan tidak takut sejak dulu.

Kalau gue udah jadi dokter, pasti bakalan bosen ngeliat sejenis mereka terus berkeliaran di rumah sakit. Mana bentuknya aneh-aneh lagi dan kadang-kadang suka nongol tiba-tiba. Sabar Agastya, lo nggak boleh ubah cita-cita lo jadi dokter cuma karena mereka, batin Agastya dalam hati.

"Agastya, ngapain kamu membatin?" tanya sosok tak kasat mata yang memiliki paras cantik. Ia mendekati Agastya dan bertanya seperti itu karena mendengar isi hati Agastya saat melihat hantu-hantu di rumah sakit.

"Tau nama gue dari mana lo?" Agastya balik bertanya kepada hantu perempuan cantik itu.

"Kamu tadi membatin dan nyebut nama kamu. Gimana sih kamu, Agastya. Hihihi..." balas hantu perempuan itu dengan diakhiri tawa yang mengerikan.

Oh iya, gue lupa. Hantu kan bisa denger suara hati manusia, batin Agastya yang lupa akan fakta itu.

"Kamu mau tau sesuatu? Tadi ada gadis seumuran kamu yang hampir mati gara-gara dicekik oleh Ayahnya. Kejadian tadi membuat aku mengingat kembali kematianku yang tragis akibat Ayahku sendiri," kata hantu perempuan itu kepada Agastya.

Agastya memutar bola matanya dengan malas. Ia sangat jengah terus-menurus menemui sosok hantu yang menceritakan kisah kematiannya yang tragis. Bukannya tidak memiliki rasa kasihan, tapi Agastya tidak mau rasa simpatinya dimanfaatkan oleh para hantu yang ia jumpai.

"Terus gue kudu ngapain?" tanya Agastya.

"Kamu tidak mau tau tentang gadis itu?"

"Nggak penting."

"Yakin? Coba kamu cek ruang rawat VIP nomor 7. Mungkin gadis tadi adalah seseorang yang ada di hati kamu." Setelah mengatakan itu, sosok hantu perempuan cantik itu menghilang di hadapan Agastya.

"Apa maksud hantu tadi? Bodo amat lah, nggak penting," monolog Agastya.

Agastya kemudian melanjutkan kembali perjalanannya menuju ruang rawat Bundanya. Ia mengacuhkan ucapan hantu perempuan tadi begitu saja. Menurutnya hal tadi sangat tidak penting.

ALEAGAS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang