Pagi ini Azkia sudah berada di dalam kelasnya, duduk di bangkunya dengan sesekali melihat siapa yang baru saja datang. Saat ini ia membutuhkan sosok yang dapat menemaninya, sosok yang dapat mendengar keluh kesahnya terhadap apa yang telah terjadi padanya. Semuanya terasa menjauh darinya.
Di pendengarannya ia seperti mendengar kegaduhan dari luar sana. Ingin menghilangkan rasa penasarannya, Azkia pun bangkit dari bangkunya dan berjalan menuju luar kelas. Di sudut, tepatnya di tempat mading sekolah banyak siswa yang tampak berkumpul di sana. Rasa penasarannya kian semakin bertambah kala salah satu siswa seperti mengucapkan nama seseorang yang ia kenal. Dengan langkah tergesa-gesa ia mendekat pada kerumunan itu, memaksa untuk masuk dan melihat apa sebenarnya yang di pertontonkan di sana.
Saat berhasil menembus kerumunan itu, Azkia kini dapat melihat dengan sempurna apa yang tertempel di sana. Sebuah gambar, gambar yang membuat hati kecil Azkia kembali tersentil kala melihat banyaknya foto seorang laki-laki yang sedang tertidur bersama seorang wanita di atas ranjang.
Dengan pikiran kosong Azkia langsung mencopot semua gambar yang tertempel di mading itu. Semua yang sedang asik melihat foto-foto itu ikut kesal dengan apa yang di lakukan Azkia. Tak peduli dengan kekesalan mereka, Azkia terus mencopoti gambar itu lalu membawanya pergi dari sana.
Ia berlari menuju tempat yang sepi lalu menghempaskan foto-foto itu ke tanah lalu menginjakinya dengan rasa yang tak dapat lagi di jelaskan dengan kata-kata. Ia marah, ia kesal, ia muak dengan semuanya.
Semua terasa jahat padanya, mengapa harus dirinya yang merasakannya, mengapa harus orang lemah yang mendapatkan penderita seperti ini.
Seseorang datang secara tiba-tiba lalu memeluk tubuh Azkia yang bergetar dengan tangisannya kuat. Teresia, dia datang untuk Azkia yang sedang hancur.
"Lo bisa nangis Kia, luapin semuanya," bujuk Teresia dengan tangannya yang mengelus punggung perempuan itu dengan lembut.
Teresia semakin mengeratkan pelukannya kala tangisan Azkia semakin terasa sendu. Ia paham dengan apa yang di rasakan Azkia saat ini.
Semuanya terasa menyakitkan sampai tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata sekalipun. Semua memilukan, takdir seakan seperti mempermainkan dirinya.
Kadang kala arti mencinta tidak selalu tertuju pada kebersamaan. Menua bersama, itulah kalimat yang terucap dari bibir setiap pasangan yang sedang di mabuk asmara. Jika kata cinta terucap di bibir seseorang, maka mereka langsung mengklaim saat itu juga adalah awal dari cerita cinta mereka. Sungguh pemikiran yang sangat kecil.
Kala, cinta akan mempertemukan bukan mempersatukan. Kehilangan yang membuatmu takut pada akhirnya akan mendatangimu dengan perlahan masuk ke dalam kehidupanmu. Kebenaran yang membuatmu menolak sadar adalah cinta yang membawamu dekat dengan kata perpisahan. Ingin bersama hingga maut memisahkan? Kalimat aneh itu selalu terdengar di mana-mana hingga seperti menghipnotis banyak orang.
Teresia perlahan melepaskan pelukan itu lalu menghapus air mata Azkia yang menetes. Ia dapat melihat perempuan yang berada di depannya itu menangis dengan tersedu-sedu.
"Siapa Audi?" tanya Teresia tiba-tiba. Azkia tidak menjawabnya sama sekali.
"Jawab jujur Azkia. Siapa Audi?" tanya Teresia lagi.
"H-Hanya sahabat dari Kak Garvin," jawab Azkia dengan terbata-bata di tengah tangisannya. Kalimat itu terasa seperti membohongi dirinya sendiri.
Teresia menghembuskan napasnya. Ia mendengar nama Audi saat banyak orang sedang membicarakan kedekatan perempuan itu dengan Garvin sewaktu beberapa hari yang lalu, saat kejadian Audi pingsan.
"Sekarang kita ke kelas aja, gak baik buat sedih-sedih mulu," ujar Teresia berusaha membujuk Azkia.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
AZKIA [END]
Teen Fiction"ℬ𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒌𝒅𝒊𝒓 𝒑𝒖𝒏 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒔𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒕𝒂." -𝓐𝔃𝓴𝓲𝓪. Hujan itu indah, hujan itu tenang, hujan itu awal dari kisah kita dan juga akhirnya. Begitulah cara alam menyambut dan memisahk...