Sesal Kesal Dito

156 14 0
                                    


📚 SELAMAT MEMBACA 📚

Semua orang telah pulang, termasuk para karyawan kafe. Sudah sepi dalam kafe, bahkan di luar pun sudah nampak lengang. Mayoritas bangunan sudah berhenti menambah terangnya kota.

Di dalam kafe yang sudah menjadi remang karena telah melewati jam buka, Dito masih di sana sendirian. Duduk di kursi dekat take away. Kedua tangannya menopang dagunya, pandangannya lurus sedangkan pikirannya jauh ke masa-masa Bayu masih bekerja di kafenya.

Dari pengakuan yang dilontarkan Reza tadi, semenjak saat itu Dito kerjanya hanya melamun, marah-marah tidak jelas, hingga beberapa kali ia menyelahi pekerjaannya dengan duduk membenamkan wajah dalam lipatan tangannya, hingga saat ini. Saat semua orang sudah pulang dan kafe ditutup, ia masih di dalam kafe menyusun puzzel dalam kepalanya.

Seketika tatapannya tertuju pada kursi paling pojok kiri dekat jendela, kursi yang dulunya sering kali dan telah menjadi favorit Bayu jika ia datang di luar jam kerjanya. Bayangan Bayu tak lepas dari matanya, hingga ingatannya tiba pada sebuah malam dengan Bayu yang tengah menyendiri di pojok sana.

***

Headset berwarna putih terpasang pada kedua telinga pria berwajah datar tengah membaca sebuah Buku mengenai Jantung.

Di sebuah kafe yang sudah cukup sepi. Kafe bertuliskan close yang menggantung pada pintu dengan sisa sepasang pengunjng terakhir dan para pekerja kafe yang tengah membereskan, membersihkan juga yang tengah bersiap-siap untuk pulang.

Jika biasanya kafe Jingga tutup pada pukul sepuluh malam. Kali ini atau tiap malam minggu kafe Jingga akan buka hingga pukul dua belas malam.

Pukul dua belas pada pergantian hari seperti ini, jalan sudah lengang dari alat-alat berat yang berlalu lalang sepanjang hari hingga malam. Gedung-gedung hingga tempat-tempat sekedar menghirup udara dingin malam pun seolah tengah beristirahat dari kegaduhan dan kepenatan menghadapi polusi sehari yang tak pernah mengasihaninya.

Sunyi adalah kata yang tepat menggambarkan keadaan seperti itu. Bahkan dalam kafe jingga pun yang masih menampung beberapa orang sedang bersiap untuk meninggalkannya tak terdengar bisikan-bisikan apa-apa lagi.

Di sebuah kursi paling pojok dekat jendela kaca kafe, seorang pria mengenakan kemeja lengan panjang yang sengaja digulung hingga menyerupai lengan seperempat berwarna biru malam. Sebuah buku tengah menutupi wajahnya tak menyadarkan dia pada waktu yang telah di laluinya membaca buku tebal di tangan, di dukung oleh alunan musik yang terus mengalir di pendengarannya melalui sebuah kabel putih yang menghubungkan ponsel dengan kedua telinganya.

“Dia menderita gagal jantung.”

Diagnosa dokter terhadap saudaranya terus bermain mengitari kepalanya.

“Semua orang di luar sana mungkin sudah pada terlelap, memejamkan mata atau mungkin udah pada siap-siap naik ranjang narik selimut. Nah, yang di sini kapan terlelapnya?” Pria lain berbadan bulat seperti ikan buntal dengan kepala pelontos menatap heran pria yang masih remaja tengah serius di depannya.

“Kamu itu masih pelajar. Jam segini harusnya kamu gak keluyuran lagi, gak di luar rumah lagi. Walau belajar kalau jam segini ada baiknya lakukan di rumah saja.” Pria pelontos itu masih menatapnya, tak menyadari sesuatu yang menyumpal pendengaran remaja tersebut.

“Jangan mau pake alasan gak apa-apa begadang, kan ini malam minggu besok juga gak sekolah. Sebagai pelajar gak boleh kaya gini.” Masih saja pria plontos itu membusakan mulutnya, sedangkan yang di ceramahi tidak peduli, tidak mendengar apa-apa selain alunan musiknya sendiri.

“Apa gak bosan gitu, baca buku segitu tebalnya?” Si kepala pelontos tersebut menarik sebelah headset yang menyumbat telinga remaja di depannya, setelah menyadari penyebab dia tidak di hiraukan. “Pantesan gak denger, ini nih yang nutupin kupingnya sampai bos sendiri di cuekin, entar aku pecat tau rasa kamu.”

Remaja yang di sebut pelajar sama si kepala pelontos itu menatapnya heran.

Tangannya kembali meraih headset yang sempat terlepas dari telinganya karena perlakuan pria kepala pelontos itu. Namun, gagal karena langsung di raih oleh Dito. Ia menatap pria berbadan bulat di depannya, masih dengan ekspresi datar kecuali matanya berair karena terlalu lama menatap buku.

“Kalau baca buku atau belajar sempetin buat liat sisi lain, istirahatin itu mata jangan di buku terus sampai-sampi kamu terharu gitu bacanya. Entar mata kamu mencolot keluar hanya gara-gara fokus di buku doang berjam-jam lamanya. Baik-baik kalau cuman julin.”

Remaja itu mengucek matanya. Merasakan matanya yang mulai panas dan perih karena terlalu lama membaca, juga akibat menemukan beberapa fakta yang membuatnya di liputi perasaan takut dan khawatir, dari isi buku yang tengah di bacanya terlalu lama itu.

Pandangannya mengedar mengitari seisi kafe, tingggal dia dan kepala pelontos serta seorang teman kerjanya yang lain.

“Udah pada pulang. Pelanggan juga udah kosong dari tadi. Depan pintu udah aku gantungin close karena udah waktunya aku untuk narik selimut di kamarku juga, tapi kamu malah betah disini bikin aku dan dia menunda  badan dibalut selimut.” Masih saja Dito yang berbicara. Menjawab pertanyaan dari mata remaja dingin di depannya yang sudah menutup buku dan membawanya pergi melawati pemilik kafe tanpa pamit.

“Bayu Nov!” Panggil Dito membuat remaja itu berhenti dan menoleh ke arahnya.

“Besok kamu gak perlu masuk kerja, istirahatin tubuh kamu juga jangan sampai buku yang abis kamu baca jadi panduan hidup kamu”

Bayu tidak mengiyakan, juga tidak menolak. Tubuhnya ia bawa melangkah menuju pintu keluar hendak keluar meninggalkan kafe untuk pulang.

“Jarang-jarang loh ada bos yang perlakukan kamu kaya gitu.” Si kepala pelontos menggeleng-geleng melihat sikap dingin dan irit bicara Bayu yang muncul kembali.

Hingga pintu di buka dan tertutup sendiri setelah Bayu keluar, suara pemilik kafe masih tertangkap pendengarannya. Dalam hati Bayu, ia membenarkan jika Bos nya memang baik padanya. Bahkan seulas senyum menghias di wajahnya di tengah langkahnya kembali ke rumah.

Dito menunduk setelah menyadari satu hal dari hari itu. Namun, semuanya juga sudah terlambat untuk ia sadari. Apa yang harus ia lakukan, bagaimana mungkin hal itu terjadi, bagaimana mungkin Reza adalah saudara Bayu yang saat itu diam-diam Bayu temui. Namun, selalu berakhir tergambar kecewa dan takut pada wajah Bayu.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Gimana,  gimana, gimana? Gimana dengan chapter kali ini?

Typo kemungkinan ada di mana². Sama seperti biasa,  sekali ngetik tanpa revisi jadi mohon maaf jika banyak typo.
Mohon maaf lahir batin juga 🙏 kebetulan aku up bertepatan dengan malam lebaran bagi muslim,  jadi mohon di maafkan dan selamat hari raya Idul Fitri.

Thank you and Love you
💛💛

I Want You Back - [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang