06| Perairan Pulau Tengkorak

651 127 165
                                    


TERNYATA, oh ternyata POi terkenal juga di geng ikan hiu ini.

Para hiu itu serentak memucat dan membenamkan diri kembali ke dalam air, berenang perlahan menjauh berusaha tidak membuat suara gemericik air sedikit pun.

Mereka tahu betul, kejadian yang hampir menghilangkan nyawa mereka, kawanannya dan penghuni laut dangkal lainnya.

Cairan berisi ampas pencernaan yang teramat busuk tidak akan luput dari ingatan buruk mereka. Hingga kini mereka terus terbayang dan dihinggapi rasa takut merinding akibat kejadian itu. Oleh karena itu, menjauh adalah tindakan tepat saat ini. Hiu juga makhluk hidup, insting bertahan hidup mereka masih berfungsi, bukan?

Sebagai ucapan terima kasih mereka tidak melahap dua manusia itu sebagai santapan, lantaran rasa takut dan bayangan ampas pencernaan telah mengenyangkan perut mereka.

Kapten pun mengajak Ajudan untuk berenang perlahan tanpa suara agar si Legenda tak siuman dan mengeluarkan jurus mematikannya.

Butuh waktu cukup lama untuk sampai ke daratan, untungnya terombang ambing di tengah lautan memang sudah menjadi makanan sehari-hari pelaut.

Dengan terengah-engah mereka terus berenang menuju daratan yang masih terlihat kecil. Dengan keahlian dan pengalaman berkelana di laut, mereka mampu berenang cukup jauh.

Beberapa kilometer sanggup mereka lewati karena sebelumnya pun mereka pernah berenang lebih lama dan jauh daripada itu.

Dengan tubuh yang lelah dan mata yang perih karena kandungan garam air laut mereka pun segera membentangkan diri mereka di hamparan pasir empuk. Terkapar karena lelah dan masih terkejut dengan kejadian yang baru saja menimpa mereka.

Kalo terpikirkan lagi sekilas ... kejadian barusan membuat bulu kuduk berdiri dan pucat pasi. Kembali lagi POi dikenal sebagai Legenda di antara bajak laut.

***

Setelah mengatur napas kembali normal mereka pun memanjat dan memetik beberapa buah kelapa untuk dinikmati kesegarannya, air laut yang asin membuat tenggorokan mereka kering minta dibasahi. Mereka pun berbincang-bincang ringan hingga teringat rekan-rekan yang meninggalkan mereka dengan tak tau diri.

Si tompel, keriting dan buncit. Ketiganya, berenang secepat kilat tak peduli akan keselamatan sang Kapten dan Ajudan. Walau kesal dengan perbuatan rekan mereka, Kapten tetap bisa bernapas lega terbebas dari neraka yang hampir saja merenggut kesadaran mereka.

Teringat dengan kapal yang porak-poranda dan tanpa penghuni, mereka pun memutuskan untuk memulai hidup mereka dari awal di pulau ini, karena tidaklah memungkinkan jika mereka kembali ke kapal.

Lagipula pulau ini cukup nyaman, perbekalan mereka pasti selalu penuh. Asik berbincang dan berdiskusi, keduanya tidak sadar ada segerombol orang mengawasi gerak gerik mereka. Hingga ...

Sesuatu berdesing cepat, lewat di samping telinga sang Ajudan. Lemparan tombak melesat mulus beberapa senti di samping telinganya. Sang Kapten pun reflek menarik tangan Ajudannya yang masih terkejut dan lari dengan cepat.

Kapten dengan cepat membaca situasi, ternyata kehadiran mereka sudah diawasi sedari tadi, tapi mereka tidak sadar lantaran terlena dengan kesegaran kelapa dan perbincangan mereka selagi rehat.

Sang Kapten pun merutuki dirinya dalam hati, Ajudan gue hampir mati, woe! Kapten pun berusaha fokus dan mencari cara untuk keluar dari situasi ini selagi berlari. Baju mereka yang hampir kering, terpaksa basah lagi oleh keringat dingin.

Saat berlari ranting dan dahan pohon yang rindang menyulitkan langkah lari mereka. Mereka memutuskan lari ke hutan di belakang pantai dengan harapan orang-orang yang mengincar mereka kehilangan jejak. Sayang sekali perkiraan itu meleset. Hutan ini bagaikan markas mereka, tentu saja mereka hafal betul seluk beluk hutan ini. Napas mereka sudah putus-putus tapi kumpulan orang yang terus mengejar mereka mulai menyusul mereka dengan cepat.

Semakin menyusuri ke dalam hutan, akar-akar pohon semakin besar dan mempersulit langkah mereka. Kapten menengok ke belakang ingin memastikan kalau orang-orang yang tidak dikenal itu sudah jauh atau belum, sayangnya fokus Kapten terpecah dan dia tersandung akar pohon.

"Eh, mamak-copot!" latah Kapten.

Sang Ajudan pun dengan cepat menarik tangan Kapten agar dia kembali berdiri. Kejar-kejaran pun masih berlangsung dan mereka hampir terdesak karena jarak mereka yang sudah dekat dan lontaran tombak yang menghujani mereka.

Akhirnya Kapten mempunyai ide, melihat pohon besar dan semak-semak yang banyak, Kapten menyuruh Ajudannya untuk sembunyi. Lalu melompatlah mereka ke timbunan semak di balik pohon besar itu.

Deru napas kasar yang keluar mereka tutupi dengan tangan. Sebisa mungkin tak ada suara sehingga persembunyian mereka tak dicurigai.

Bunyi hentakan langkah pun lewat dari tempat itu. Untuk berjaga-jaga sang Kapten mengisyaratkan Ajudannya untuk menenangkan dirinya dan bersiap dengan kemungkinan terburuk.

"Kapt!" bisik Ajudan.

"Shtt! Diem dulu. Siapin golok sama parang yang kita bawa!"

Berusaha membaca situasi Ajudan pun berusaha mempersiapkan apapun yang dia bisa. Jantung mereka terus berdegup kencang, salah langkah taruhannya bisa nyawa.

"Ehey, Kapt!" panggil Ajudan dengan berbisik.

"Aduh, diem dulu napa!" jawabnya kesal.

"Gue, kebelet. Sakit perut," kata Ajudan sambil memegang perutnya.

"Yang bener aja, sekarang banget apa?! Bisa-bisa bentar lagi akhir hayat gue kali," katanya dengan berbisik.

"Ehey, namanya panggilan alam," katanya sambil terus memegang perutnya.

Peluh keringat dan dentuman jantung semakin menjadi-jadi. Ditambah lilitan yang Ajudan rasakan membuatnya cukup menderita.

Ternyata terdengar derap langkah yang mendekat, seakan tahu posisi dimana mereka bersembunyi. Lutut sang Kapten pun gemetar, tatapannya nanar dan tubuhnya bergeming. Sedangkan sang Ajudan berusaha sekuat mungkin untuk diam, dan tak mengeluarkan suara dan gas yang justru membongkar tempat persembunyian mereka.

Telapak tangannya berkeringat tanda dia semakin gugup. Ia memejamkan mata menahan perutnya yang semakin melilit. Dengan posisi merangkak keduanya pun berusaha merangkak menjauh menurut isyarat sang Kapten. Tapi, tiba-tiba ...

Brett! Kepulan gas yang tertahan terbebas dari sarang karena tak kuasa menahan sakit perut. Lokasi mereka pun langsung ketahuan dan suara derap kaki kumpulan orang mendekat.

Jaring-jaring pun menghalangi jalan mereka, kumpulan orang itu berhasil menangkap keduanya. Seakan tahu nasib dirinya dan Ajudannya, sang Kapten hanya terkulai pasrah ...

To be continued

***


Panggilan alam emang gak bisa di kompromi, ya?😭


POi the LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang