*Pulau Penjara*
SETELAH sepuluh hari terombang-ambing di laut, akhirnya mereka berhasil menuju ke Pulau Penjara seperti yang ada di peta. Rute dari Pulau Kabut ke Pulau Penjara tidaklah rumit. Ombak tidak begitu besar, cuaca yang hangat tidak terlalu panas, juga suasana laut yang biru membiru seperti biasa. Sepuluh hari yang tidak menyiksa setidaknya untuk mereka berdelapan.
POi tidak tahan lagi karena mabuk laut yang dideritanya. Hati dan tekadnya menikmati kuliner seluruh penjuru negeri begitu kuat, tapi apa daya? Badannya tidak mumpuni. Akibat muntahan Poi yang bertebaran di laut, muncul masalah baru yang menyebabkan ekosistem laut berantakan.
"Kalo menderita tuh, gak usah ajak-ajak," gerutu penghuni samudra raya.
"Apa salah dan dosaku ya Tuhan!" begitulah jeritan bantin ikan-ikan ini.
Kali ini, POi sudah benar-benar tidak tahan diatas kapal, lemas lunglai. Persediaan obat anti mabuk pun sudah habis. Tapi untunglah ...
"Kapt, arah jam 2 ada pulau yang mulai keliatan!" teriak Ajudan sambil memegang teropong.
Kabar gembira untuk POi. Dengan tenaga seadanya, POi cepat-cepat berdiri dan melihat ke arah yang ditunjuk sang Ajudan. Wajah POi tampak lega melihat daratan yang merupakan habitatnya. Setelah kapal terparkir sempurna dan jangkar sudah dilabuhkan mereka pun turun dengan perahu kecil. Khusus untuk ketiga penyihir, mereka diminta terbang karena kursi perahu tidak muat.
"Ning, napa lo gak upgrade perahunya sih? Kan kita bisa hemat tenaga," bisik Neng yang ogah diminta ninggalin kapal.
"Ya elah, masa lo gak tau. Gue ogah deket-deket sama Bloo," bisik Ning balik.
"Ohh, iya juga," gumam Nong dan Neng bersamaan karena malas kena semprot omelan Bloo. Di mata Bloo bukan cowok yang selalu salah tapi penyihir kembar itu yang selalu salah.
Seperti biasa kapal ditinggal dengan perlengkapan pertahanan tak kasat mata. Di situ terdapat perangkap bagi mereka yang mengunjungi kapal dengan maksud jahat. Berkat bantuan Ning, beberapa benda di modifikasi dan cukup untuk melindungi kapal mereka.
Setelah mendayung beberapa menit, akhirnya ujung pulau tersebut semakin terlihat. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan, gumaman dan decakan kagum tidak bisa tertahan di mulut mereka. Laut dangkal kebiru-hijauan yang jernih memperlihatkan biota laut yang unik dan cantik.
Terumbu karang yang banyak dan asri juga menandakan pantai ini sehat dan bersih. Gelombang kecil dan gemercik air menambah keindahan alam bawah laut yang memukau. Kaum yang rindu liburan dapat dipastikan ingin ke tempat tersebut.
"Wow wadidaw, amazing! Cuci mata!" seru Nong yang terlihat girang dengan keindahan lautnya.
"Beh, seger puol!" kata Ning yang terbang lebih rendah dan menyentuh air yang jernih dan sejuk itu.
"POi, mau mandi~poi!" seru POi yang ingin terjun namun ditahan oleh Ajudan.
"Gak, gak boleh. Kita belom tau ini tempat apaan. Kita mesti hati-hati, jangan sembrono!" nasihat Ajudan ala emak-emak.
"Tapi, badan POi gerah tau!" gerutu POi.
"Halah, sok amat, bocah! Dakian puluhan tahun aja betah!" seru Bloo yang dibalas gelak tawa yang lain.
Tapi ada berbeda di ujung pulau tersebut. Tidak ada bibir pantai, tidak ada pasir putih keemasan yang sangat cocok dengan kecantikan alam bawah lautnya, justru semakin mendekati pulau itu, aura suram semakin mencekam.
Terdapat dinding setinggi 60 meter menjulang dari bibir laut, permukaan dindingnya licin berlumut bak benteng tua terbengkalai. Gumpalan kabut hitam menutupi langit seperti mahkota. Ombak laut yang semula tenang, makin lama makin besar dan menerjang kencang dinding benteng terus menerus. Batu karang yang semula indah, semakin lama semakin tajam. Batu karang yang tajam dan hitam ini, menghiasi sekeliling pulau ini seakan-akan seperti pagar, panjangnya sekitar 50 meter.
KAMU SEDANG MEMBACA
POi the Legend
Teen FictionUdah bau, dekil, jelek, o'on, hidup lagi! Begitulah kesan pertama semua orang yang bertemu dengannya. Berbekal otak sebesar kacang hijau, tampang bloon, bau (yang amat sangat) tak sedap dan daki setebal 5 cm ditubuhnya bocah ini akan memulai petua...