74| Sinetron

20 5 0
                                    

*Pulau Penjara*

Ini! Ini dia! Ini kesempatan yang dinanti-nantikan oleh sang Jenderal. Tanpa mikir babibu, sebelum Sigung berubah pikiran pernyataan itu langsung disetujui.

"Hahaha, semudah ini dapet kesempatan yang saya idamkan?!" jentikan jari mengakhiri kalimat Jenderal dan para penjaga pun langsung menghampiri POi dan Sigung untuk menjalankan tugasnya.

Sigung sempat mendekati POi dan membisikan sebuah pesan yang tentu saja Flip ikut mendengarkan. Flip mengangguk paham, sedangkan POi yang mengangguk karena meng-copy Flip. Sigung menyampaikan permohonan terakhir mereka supaya ada hidangan makanan lezat untuk makanan terakhir tawanan. Permintaan ini disetujui, semua makanan yang disediakan habis licin dimakan oleh duo sekawan itu. Mereka melepaskan komandan besar ini dari ikatan tiang.

Komandan ini jatuh tersungkur dan membungkuk mengucapkan terima kasih sambil menangis. Walaupun dirinya sudah berkali-kali menyerang, menangkap, menghasut dan menjerumuskan duo sekawan, dia tetap mendapatkan perlakuan terbaik. Kejahatannya selalu dibalas kebaikan yang entah berapa banyak. Hatinya benar-benar tersentuh sekaligus dipenuhi rasa bersalah dikala hukuman mati yang seharusnya mengeksekusi dirinya malah dibebaskan oleh duo sekawan ini. Sigung yang melihat tangis haru ketidakrelaan mankom ini hanya tertawa dalam hati.

Prok! Prok! Prok! Suara tepuk tangan Jenderal menginterupsi tangis haru dan momen perpisahan yang mengandung bawang tersebut.

"Aduh, sedihnya. Udah main sinetronnya?" tanya Jenderal dengan muka pura-pura terharu.

"Heh, Jenderal! Gak usah menunjukan air mata buaya lo! Lo seneng, kan, dua kaum cacing yang paling lo benci akhirnya dibasmi? Ngaku lo!" kata sang mata-mata yang tak mampu lagi membendung kekesalannya melihat tingkah Jenderal yang memuakkan.

"Heh, pengkhianat! Siapa kamu berani ngelawan?! Atau perlu langsung 3 orang saya eksekusi?" tanya Jenderal sambil mengangkat satu alisnya.

"Jenderal ingusan! Lepasin temen-teman kami!" seru anak buah si mankom alias si mata-mata.

"Iya, lepasin! Dasar, badut dodol!"

"Jenderal kaleng-kaleng!"

"Sok bengis!"

"Cupu!"

"Jenderal egois!"

Opini publik seketika berubah drastis mendukung POi dan Sigung. Umpatan demi umpatan terus menggema dan memantulkan kata demi kata tajam yang tertuju ke sang Jenderal. Tapi, Jenderal tidak peduli. Hatinya seakan benar-benar riang hingga tak ada ruang untuk menerima umpatan tersebut karena hatinya penuh dengan kemenangan.

"Yok, mulai yok eksekusinya! Saya sudah tak sabar~!" para penjaga pun segera melaksanakan perintah Jenderal walau umpatan demi umpatan semakin keras terdengar, bahkan hampir semua kaum cacing berdemonstrasi.

Karena Sigung dan POi sudah selesai makan. Dimulailah prosesi eksekusi.

Tiga singa lapar dimasukan, mata yang memicing dan taring setajam samurai lapar akan daging segar. Kuda-kuda siap menyergap dan terus melihat target santapan seakan siap menghancurkan tengkorak mangsanya.

"Eh, ada si raja hutan, mana rakyatnya? Gak silaturahmi kesini?" kata Sigung dengan bahasa hewan yang sudah lama tidak dipakainya.

"Napa hah?! Gak usah SKSD, kita bukan temen!" seru si pemimpin singa.

"Yah, jujur aja gue gak sudi dimakan sama lo ya. Dan gue yakin, lo juga gak sudi makan gue," kata Sigung penuh percaya diri.

"Gak usah sotoy, yang namanya laper apa aja dimakan, kayaknya sih daging lo enak ya. Banyak lemaknya." Kata singa lain yang sudah meneteskan air liur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

POi the LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang