Bayangan hitam Pulau Misterius itu tampak terus bergerak dan meninggi saat kapal mereka menjauh. Untunglah mereka semua gercep langsung naik kapal dan menjauh dari pulau itu. Hembusan napas lega terdengar halus dari semua penghuni kapal.
Bukannya dapat makanan, malah dapat bencana, tapi ya sudahlah. Yang penting semua selamat. Kini kapal yang mereka tumpangi harus melewati banyak rintangan ombak ganas yang tercipta karena pergerakan dadakan si pulau. Ngomongin ombak Poi mabuk laut gak, ya? Lho, lho. Bentar, tengok kanan, tengok kiri, Poi kemana?!
"Kapten puter balik! Anak ayam ketinggalan di pulau itu! Buruan!" teriak Ning yang memotong keributan itu.
"Hah? Anak ayam? Maksudnya, Poi?! Jadi, Poi ketinggalan maksud lo!" kata Sigung mulai marah.
"Udah, Gung. Gak usah berteman. Tadi emang salah dia buru-buru suruh dayung. Jadi kita gak cek lagi si Poi," kata Ajudan yang sok ingin menenangkan Sigung.
"Ya, justru itu!" kata Poi semakin ngegas dengan muka memerah kesal.
"Udah diem dulu lo pada! Gue mau banting setir!" maksudnya mau putar balik. Shtt! Si Kapten mau fokus.
Sang Kapten langsung putar balik ke arah pulau tadi. Mereka berusaha dengan cepat kembali ke pulau itu karena kabut sore itu mulai tebal dan khawatir dengan kondisi bocah pecicilan itu. Saat tiba di pulau itu hanya tersisa perairan kosong dan sisa-sisa selaput lendir yang tenggelam. Lah, pulaunya lari kemana?
Mereka pun mulai menyusuri sekitaran pulau yang hilang itu dan berdoa komat-kamit berharap pulau itu hilang atau minggat bukan karena tenggelam. Kasihan, kan? Masa Poi kelelep? Mereka berharap pulau itu hanya berpindah tempat, mungkin pulaunya mau cari tempat PW lain. Sementara itu, lolongan teriak bocil yang mereka kenal, mengagetkan semua orang, Kapten yang juga ikutan kaget reflek menoleh ke sumber suara.
"Poi! Poi terbang!"
"Weh, kalian denger gak suara tadi?" tanya Sigung.
"Gue denger!"
"Gak, tuh!"
"Dasar budeg, kuping kok tampelan panci doang!"
"Buruan! Buruan kita kesana!" teriak Bloo yang (tumben) tampak khawatir dengan ketidakhadiran Poi.
"Neng! Lo bisa liat gak ada berapa orang disana!" kata Sigung.
"Hah? Liat apa?"
"Liat ada berapa otak di balik kabut itu! Bisa, kan?!"
"Oh, bi-bisa-bisa," Neng pun mulai memfokuskan pandangannya dan melihat panas otak dari Poi.
Tapi karena otak Poi hanya sebesar kacang ijo sulit mencari pergerakan otaknya dari jauh. Tapi akhirnya munculah sinar yang sangat kecil dari balik kabut itu. Sinar itu berada di udara seperti melayang.
"Weh! Gue nemu titik kecil banget, tapi melayang di udara! Sama sebelahnya ada otak segede tong! Arah jam 1," teriak Neng memberikan informasi.
Kapten dengan tangkas langsung mengarahkan kemudi kapal sesuai arahan Neng. Sigung dan Ajudan mempersiapkan senjata untuk kemungkinan terburuk. Senjata andalan Sigung, cambuk khas penduduk Pulau Tengkorak. Sedangkan Ajudan dengan pedang sederhana yang mampu menyabit apapun. Otak besar yang ada di sebelah Poi pasti makhluk hidup, tapi kita tidak tahu apa itu.
"Kalian ngapain angkat-angkat cambuk sama pedang?! Poi kan bawa pedangnya tadi!" kata Nong yang bingung dengan kelakuan dua orang itu.
"Lo liat aja, tuh ..." kata Sigung memonyongkan mulutnya mengarah ke sesuatu.
"Lah, peyang nih bocil! Dia kira buat gaya doang apa tuh pedang, bisa-bisanya ditinggal," kata Ning sambil geleng-geleng kepala.
"Tau tuh, ceweknya gak bener sih. Bukannya di ajarin yang bener malah dibikin makin miring," ejek Nong.
"Idih, cewek Poi. Pala kau cewek," elak Ning tak setuju.
"Udah siap-siap cepet! Lo denger gak tadi Neng bilang ada otak besar banget di sebelah Poi!" kata Sigung melerai kembar itu.
Saat jarak kapal mereka sudah dekat dengan pulau yang nomaden itu ...
"Astaga! Woe, Poi! Buat ulah apalagi lo!"
"Astaga, benda apaan tuh! Besar banget kayak gajah besar!"
"Woe, Poi! Dari mana tuh tuh makhluk segede gaban?! Jangan sembarang pungut lo! Lo apain makhluk itu!"
Semua tampak kebakaran jenggot dengan ulah si Poi, Sigung yang sudah mengembalikan cambuknya kembali mengambilnya lagi. Ajudan dan Kapten juga mengambil posisi kuda-kuda dengan pedang terhunus. Bloo mencabuti beberapa bulunya yang tajam untuk melemparkannya ke makhluk besar itu. Ketiga penyihir itu juga bersiap dengan serangan sihir mereka.
"Serang!" teriakan ini keluar dari mulut Bloo bersamaan dengan bulu-bulu tajam yang dia lempar ke arah makhluk itu. Semua bulu-bulu tajam itu mental, tidak ada yang tembus. Rupanya naga ini kebal terhadap senjata tajam.
"Emwargh!" makhluk itu mengeluarkan suara mengerikan pertanda dia marah.
"~poi, jangan! Stop! Jangan!" teriak Poi sambil memeluk makhluk itu spontan tidak mau barang temuannya itu terluka.
To be continued
***Wah, wah. Poinya udah gede ya sekarang??
Anakku dan aku berbeda jenis. Bisa kali ya jadi judul sinetron? 🤔
Author: "WOE GA ADA TUH YA! SINETRON AMAT SIH!😤😠"
Tukang nyeletuk: "Am-ampun, thor! Canda. Ngegas amat💨"
Kalo kata Ajudan, "Ehey! Yang waras diem.😓🤐"
Salam,
#authorkumat
KAMU SEDANG MEMBACA
POi the Legend
Teen FictionUdah bau, dekil, jelek, o'on, hidup lagi! Begitulah kesan pertama semua orang yang bertemu dengannya. Berbekal otak sebesar kacang hijau, tampang bloon, bau (yang amat sangat) tak sedap dan daki setebal 5 cm ditubuhnya bocah ini akan memulai petua...