*Pulau Penjara*
BERKAT Sigung kejadian buruk tak berhasil menimpa mereka. "Untung ada Sigung kalo gak, kita dah beda alam sekarang. Makasi, Gung!" kata salah bajak laut yang mewakili mereka berenam.
"Hahaha, iya iya. Tapi gue mau minta tolong satu hal lagi. Ini buat keselamatan kita bersama kalau kebetulan gue gak notice dia ngerencanain sesuatu yang bikin kita dalam bahaya," serentak mereka dalam mode dua-rius.
"Tolong jaga gerak gerik mata-mata itu, laporin semua pergerakan mencurigakan sekecil apapun. Tapi jangan heboh, natural aja," jelas Sigung sambil memperingati mereka.
"Ya elah, kirain apaan. Udah serius nih gue. Pastilah itu mah easy peasy, bos!" seru yang lain dan dibarengi dengan hembusan lega Sigung.
"Kita mah selalu siap kalo yang ginian!"
Sekarang ketahuan wajah mata-mata di kelompok bajak laut, bahkan wajah sang penguasa juga terlihat. Apalagi wajah sang Jenderal terlihat ditekuk dan dilipat, malu tidak ketolongan, merah padam menunjukkan kemarahan yang luar biasa. 1 hari, 2 hari bukannya semakin mereda amarah sang Jenderal, justru semakin menjadi-jadi. Awalnya hanya ucapan sinis dan pedas, sekarang lantai atas dan segala isinya porak poranda karena dibanting dan dilempar tanpa ampun. Hingga pada hari yang ketiga, keluarlah titah dari Jenderal.
"Panggil mankom alias mata-mata tidak becus itu kesini!" katanya sambil mendengus kasar. Perasaan tidak enak terus mengganjal di hati si mata-mata. Perasaan tersebut begitu menyiksa batinnya hingga dia memiliki asumsi ...
"Jangan-jangan bentar lagi ajal gue. Ya Tuhan, masih bisa nawar umur gak? Biar gue tobat, gak usah balas dendam deh," renungnya dengan begitu dalam.
"Woe, lo dipanggil sama Jenderal!" panggil seorang pengawal Jenderal dengan tampang garangnya. Mateng, gue! Beneran bentar lagi dong hidup gue, pikirnya sambil menangis dalam hati.
"Wah, wah. Ini dia si perusak rencana brilian saya. Selamat datang! Apa kabar wahai mata-mata amatir?" sapa sang Jenderal dengan suara nyaring dengan senyum manis andalannya.
"Eh, ba-baik, Jenderal!"
"Memang kelihatannya baik-baik saja, ya. Sedangkan nama baik saya diinjak-injak layaknya keset baju bekas. Kalo gitu kita harus impas. Harus sama-sama gak baik-baik saja, kan?" tanya Jenderal sambil meremas bahu mata-mata. Si mata-mata bisa menahan sakit dan menelan ludah yang tampaknya sebesar biji mangga.
"Paling pas, kalo dimasukin kandang singa, kan ya? Kasian singanya udah gak makan dua minggu. Satu manusia berotot dan ukuran besar pasti kaya protein," kata Jenderal sambil berjalan memutar di sekeliling mata-mata itu berlutut.
"Ma-maaf, Jenderal. Saya yakin sekali sudah memasukan racun dengan kadar tinggi," seru si mata-mata masih sempat membela diri.
"Wah, bisa-bisanya cari celah buat membela diri? Besar juga nyalimu!" kata Jenderal dengan nada yang semakin lembut. Entah kenapa sifatnya yang terbalik begini lebih menyeramkan daripada dia yang banting-banting barang. "Sayangnya, kesabaran saya gak sebesar nyalimu. Jadi, ada kata-kata terakhir?" tanya Jenderal sambil mengisyaratkan kandang singa disiapkan.
"Jenderal! Saya mohon beri saya kesempatan. Tolong dengarkan saya dulu!"
Kali ini si mata-mata memohon diberikan kesempatan terakhir, dengan alasan kelompok bajak laut sudah lebih akrab dengan duo sekawan. Tidak mungkin cara devide et impera mempan terhadap mereka. Tapi tidak dengan kelompok perampok gunung yang belum kenal POi, Sigung dan Flip. Mereka hanya mendengar desas-desus tanpa informasi pasti. Celah ini akan mempermudah mereka untuk menghasut para perampok gunung. Dia memohon kesempatan terakhir, kalo gagal lagi, kali ini benar-benar rela jadi santapan singa.
KAMU SEDANG MEMBACA
POi the Legend
Teen FictionUdah bau, dekil, jelek, o'on, hidup lagi! Begitulah kesan pertama semua orang yang bertemu dengannya. Berbekal otak sebesar kacang hijau, tampang bloon, bau (yang amat sangat) tak sedap dan daki setebal 5 cm ditubuhnya bocah ini akan memulai petua...