Sesampainya di pulau itu, mereka pun mulai menyusuri setiap ujung pulaunya. Tak butuh waktu lama hanya butuh waktu 10 menit untuk mencapai tiap ujungnya.Penampakan pulau ini berbeda dari yang mereka bayangkan. Tidak ada pantai, hanya ada dataran dengan selaput tipis yang dipenuhi lumut. Luasnya pun hanya sebesar lapangan sepak bola. Ujung pulau ini bisa terlihat dengan jelas. Hanya saja terdapat gundukan seperti bukit di tengah pulau itu. Saat mereka turun dari sampan, mereka satu per satu turun dengan hati-hati. Tidak ada tempat untuk mendamparkan sampan agar tidak diangkut arus laut. Ajudan pun bingung harus bagaimana.
"Ehey, Kapt! Gimana, nih? Ombaknya lagi gede pula," seru Ajudan sambil menahan sampan itu dengan otot yang tersisa.
"Ya mau gimana? Ning lo bisa bikin kapalnya gak lari-lari gak?"
"Lari-lari? Sampannya ajaib ya, punya kaki!" kata Ning dengan wajah berseri-seri.
"O'on banget sih jadi penyihir! Lari-lari kebawa arus laut maksudnya!" kata Kapten kesal.
Ning yang dilempari geramnya warga pun hanya tersipu malu. Malu dengan kebodohannya yang hqq.
"Hmm, tempelin aja pake lem bentar."
Ning pun mencoba mengubah selaput tipis yang licin itu perekat super kuat. Dia mengangkat tangannya dan cring! Sinar lembut keluar dari tempat yang Ning sihir. Ajudan pun menempelkan sampannya disitu.
"Woe lu bikin apa tadi? Kok bisa nempel?"
"Bikin lem lah o'on! Lem super anti copot! Gitu aja masa gak tau?" tanya Ning dengan sarkasnya dengan maksud balas dendam telah dipermalukan.
1-1 untuk mereka berdua. Selamat untuk Ning yang bisa membalikan ejekan o'on ke Kapten. Semua orang yang melihat kelakuan mereka hanya bisa geleng-geleng kepala. Kayak bocah aja, gumam mereka dalam hati. Ajudan yang selesai dengan gelengan kepalanya sadar kalau Poi tidak disitu lagi.
"Lho?! Poi! Poi! Poi ilang woe!"
Semua orang pun langsung kelabakan menoleh kanan dan kiri mereka memastikan keberadaan Poi yang tiba-tiba menghilang. Mereka berusaha berjalan di lapisan selaput itu. Sangat licin! Dikaki mereka seperti ada lendir yang menempel. Beruntung para penyihir bisa terbang dengan leluasa, mereka pun dengan cepat mencari Poi.
"Poi! Bocil pecicilan! Mana lo?!" seru Nong dengan lantang, entah mencari entah marah tak ada bedannya.
"Ehey, mana dah si Poi! Poi!" seru Ajudan dengan teriakan khasnya.
"Buset dah, tuh bocah. Woe, Poi! Ngapain lo! Dicariin emak lo tuh!" teriak Ning sambil melirik Ajudan yang nampak seperti induk ayam kehilangan anak.
"Woe, Poi! Astaga! Ngapain lu makan lendir itu! Jorok astagah!" teriak Neng histeris melihat kelakuan yang diluar nalar.
"~poi? Nyam, nyam, slrup, slurph," begitulah bunyi ASMR live ala POi.
"Nih, bocah. Ckckck, buruan emak lo nyari tuh!" seru Ning sambil menunjuk ke arah Ajudan.
Poi pun dipaksa para penyihir itu untuk kembali ke tempat mereka berkumpul. Perlu acara tarik-menarik dulu untuk membawa Poi bersama rekan-rekannya. Saat Neng memberitahu kalau Poi ditemukan, emak si Poi alias Ajudan langsung berlari dan memastikan tubuh Poi tidak terluka sedikit pun.
"Lapor, Ajudan! Anakmu makanin selaput lendir di tanah tadi," adu Nong layaknya anak tetangga.
"Ehey Poi, joroklah! Masa enak makan lendir," seru Ajudan bergidik mendengar aduan Nong.
"Enyak, kok! Kayak jeli-jeli gitu. Terus mereka malah narik Poi, paksa gak boleh makan jeli itu~poi," kata Poi kesal dan membuang muka dari tiga penyihir itu.
Mereka pun kembali ke tujuan awal mereka. Mereka mencoba mencari makanan untuk pasokan mereka di kapal. Mereka semua berpencar agar lebih cepat selesai menyusuri pulau yang kecil ini. Saat mereka berpencar, kali ini Poi asyik jumpalitan.
Loncat sana, loncat sini, main seluncuran di hamparan tanah berlendir yang licin ini. Tanah ini beralih fungsi menjadi trampolin dan wahana bermain untuk Poi. Semua rekan yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala. Poi pun mulai menjelajahi setiap sudut dari pulau itu dan menjilati setiap bagian yang nampak menarik. Sampai tiba-tiba ...
"Weh, kepala gue pusing! Kok semuanya goyang dumang ya?" kata Ajudan tiba-tiba.
"Gak, ini daratannya emang goyang!" kata Kapten mulai panik.
"Iya, weh! Daratannya goyang-goyang kayak ombak. Pasti gempa, nih. Buruan balik ke sampan," kata Neng memberikan arahan.
"Ehey, cepetan!"
"Sabar, dodol. Lo kira ini daratan gak licin apa? Kalo bisa lari, kita-" kata Sigung sambil merepet kesal dan ditarik oleh Ajudan untuk segera naik sampan.
"Udah yang gak waras, diem!" kata Ajudan sambil menarik Sigung.
Yah, untunglah mereka semua selamat. Sigung, Ajudan, Kapten, Bloo dan tiga penyihir kembar itu berhasil sampai di kapal sebelum gempa itu membumihanguskan pulau misterius itu. Udah gak dapat makanan, kena musibah lagi. Nasib, nasib. Malang kali nasib mereka ya, sodara?
To be continued
***Panas-panas makan rujak🍍
Terus lewatlah si merak🦃
Eh, pada ngerasa ada yang kurang gak?🤔
Tapi, apaan yak? 😓Tiba-tiba pengen makan rujak, enak tuh kayaknya🤤😅😆
Pake nanas🍍behh, mantul sodara-sodara👌
Da best puol(*Kalo ada yang sadar apa yang kurang, selamat cah bagus cah ayu, kalian akan jadi cah kangkung!)
Salam,
#authorrandom
KAMU SEDANG MEMBACA
POi the Legend
Novela JuvenilUdah bau, dekil, jelek, o'on, hidup lagi! Begitulah kesan pertama semua orang yang bertemu dengannya. Berbekal otak sebesar kacang hijau, tampang bloon, bau (yang amat sangat) tak sedap dan daki setebal 5 cm ditubuhnya bocah ini akan memulai petua...