36| Cerita(2)

213 37 64
                                    

*Pulau Apung*

Kedatangan banyak orang membuat penduduk Pulau Apung sangat senang. Yang biasanya singgasana itu penuh dengan aura gelap, malam itu suasana lebih cerah. Tak hanya suasananya, ruangan itu juga terang karena dipenuhi berlian yang glow in the dark serta kunang-kunang yang membuat pencahayaan dalam istana tetap terang benderang walaupun sudah malam.

Di tengah perbincangan yang mungkin hangat itu, Poi yang sedari tadi jadi topik bahasan utama malah sibuk dengan pedang barunya dan cemilan yang disajikan. Dia mengelilingi setiap sudut ruangan itu karena suka dengan berlian yang bersinar menawan.

"Wah berarti, temen kita ini seistimewa itu, ya?" kata Ajudan dengan mata berbinar.

"Ya, kentut sama bau mulutnya juga," kata Ning melengos.

Yang lain pun mengiyakan dengan gelak tawa nyaring,

"Terus, si babenya Poi sama raja yang dikudeta kemana?" tanya Sigung.

"Ya mana gue tau?!" jawab Bloo ngasal terus ngegas lagi.

"Elah, gak nanya lo!" jawab Sigung ikutan kesal.

"Hmm, kayaknya sih kalo raja sama permaisuri ngungsi gitu," jawab Neng.

"Ya, kalo si panglima pasti gak mungkin kerja di kerajaan lagi," kata Nong.

"Tapi, gue masih ada yang ganjel deh," kata Sigung.

"Napa nih bocah bisa nyasar kesini?" kata Sigung sambil menunjuk Poi yang sedang nungging ngeliat berlian merah yang besar di dinding ruangan itu.

Poi yang merasa dilihat banyak orang dan menjadi pusat perhatian. Dia pun menoleh dan

"~poi?"

"Hmm ... oh, barusan gue inget!" kata Neng.

"Inget apaan lo?" kata Nong.

''Setau gue, kejadian kudeta ini tuh sekitar lima belas taun yang lalu. Nah, beberapa hari sebelum kudeta kan anak raja lahir, panglima juga punya anak yang baru lahir. Sekitar 2 minggu gitu. Nah, istrinya panglima tuh sakit-sakitan, buat nyelamatin anaknya dia lari sekuat-kuatnya buat hanyutin anaknya ke sungai pake keranjang gitu, deh." (Inget, cerita Poi waktu bayi bisa nyasar ke rawa-rawa beracun)

"Sotoy lo. Tau dari mana lo?"

"Waktu kita perang, gue yang mimpin pasukan buat nguasain daerah sungai kerajaan. Dan sekilas gue liat ibu-ibu yang pake selendang khas kerajaan bawa keranjang sambil lari-lari. Terus cepet-cepet hanyutin keranjang gitu. Dan setelah dia berhasil hanyutin keranjang, dia ... meninggal"

"Oh, iya iya. Dulu orang yang pake selendang kerajaan itu orang-orang yang deket sama raja." Tambah Nong.

"Wah, gak bener ini. Denger ya, trio penyihir kembar otak kosong!" gertak Sigung.

"Beruntung Poi itu bego, polos, baru liat dunia, sama gak tau apa-apa. Kalo gak udah mampus lo bertiga. Tapi, gue temennya Sigung gak bakal biarin itu terjadi, lo bertiga emang harus dikasih arti!" kata Sigung dengan lantang.

"Bos, itu si Sigung ngejek apa bela?" tanya Ajudan berbisik.

"Gak tau dah, gue juga gak bisa bedain," jawab Kapten dengan berbisik balik.

Suasana di ruangan itu seketika mencekam. Pernyataan Sigung yang tak bisa diganggu gugat, membuat ketiga penyihir hebat itu menelan ludah karena dibelakang Sigung, Kapten dan Ajudan siap membela Poi bila sesuatu yang buruk menimpanya.

"Sans, bro. Tenang, tenang," kata Ning sambil tertawa kecil dan mencoba menenangkan diri dan rekan-rekan Poi.

"Tenang, duduk dulu. Cambuknya gak usah dipamerin, gue tau itu sakit banget kalo kena. Sekarang kekuatan yang kita punya cuma setengah karena disegel sama pedang ini. Kekuatan kita bisa balik semua kalo, kita bener-bener ikut apa yang si bocil itu mau," kata Neng menjelaskan dan memberikan penjelasan.

"Iya, sama ini. Kalau kita mau nyerang kalian ato si bocah itu pun, kita gak bisa," celetuk Nong.

"Kenapa?! Jelasin yang jelas!" kata Kapten yang membuat ketiga penyihir itu tersentak.

"Oke, oke. Gini maksudnya, karena kalian udah pro sama Poi banget, kalian dilindungi sama kekuatan sihir di dalam pedang itu. Kekuatan sihir kita yang disegel di dalam pedang itu, bakal balik ngelawan kita kalau kita ngelawan kalian. Tapi, sebaliknya kekuatan sihir itu gak bakal ngelawan kita kalau kita bantuin kalian atau jadi sekutu kalian," kata Ning mencoba menyakinkan mereka.

"Tau dari mana kalian? Jangan coba-coba ngibulin kita!"

"Tadi pas kita ditarik pedang itu, semakin kita ngelawan semakin sakit badan kita. Energi kita terkuras berkali-kali lipat sebesar kekuatan kita ngelawannya," kata Neng menjelaskan.

"Terus, disaat kita nyerah dan gak ada maksud jahat sama kalian, pedang itu gak bereaksi apa-apa kan sama kita? Simpelnya gitu," sambung Ning dengan memasang tampng sesantai mungkin.

"Oke, kalau gitu. Kesimpulannya pedang ini tuh kayak benda pusaka gitu, ya? Soalnya mengandung kekuatan magis, kan?" kata Ajudan yang berusaha tenang.

"Betul, karena itu kita gak bisa sembarangan sama pedang ini. Cuma Poi kan yang bisa megang?" kata Ning balik bertanya.

"Iya, bener."

"Bocah ini bakal gue lindungin sebaik mungkin, sebisa yang gue mampu," kata Sigung dan diikuti anggukan Ajudan serta Kapten.

"Iya, bocil ini spesial. Kita juga bakal ikut kalian," kata Ning mewakili kedua adiknya.

"Kalian?" kata Ajudan dengan suara meragukan.

"Ya, daripada dikurung di pedang mulu, encok juga gue. Lagian kita mau nebus perbuatan kita yang lama lewat bocah ini," kata Nong sambil menunjuk Poi.

Grok ... fiuh. Grok ... fiuh. Dengkuran Poi menutup perbincangan yang menegangkan dan berakhir damai malam itu. Waktu menunjukan dini hari, mereka melihat Bloo juga tertidur dan bulu tajamnya yang naik turun menandakan dia masih bernapas. Mungkin dia bosan dikacangin selama perbincangan itu. Yah, dia tinggal tidur.

"Okelah, besok kita lanjut ngobrol lagi. Sekarang tidur dulu aja deh," kata Ning.

"Iya deh. Hoamm. Pinggang sama leher gue pegel, narik urat mulu pas ngomong," kata Nong.

"Yeu, itu mah salah lo sendiri," kata Ajudan.

To be continued
***

Pagi-pagi liat koral
Beli micin merk sasa
Hey, anak-anak millennial🙄
Yuk, tingkatkan literasi bersama!😉

Bole kali nyenengin author sekali-kali, dukung authornya dulu dongs (⭐📨)

Sementara itu:
Asisten raja: "Kenapa semua tamu raja tidur di lantai?! Padahal ada kasur bintang lima," tepok jidatlah si asisten raja.


POi the LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang