35| Cerita

231 38 55
                                    

*Pulau Apung*

Poi menekan semua warna dalam lingkaran di pegangan pedangnya itu. Suara khas pembuka portal terdengar halus sembari mereka yang terkurung dalam pedang keluar secara bergantian. Mereka berdelapan duduk melingkar di tengah ruangan singgasana Bloo agar semua bisa melihat tampang satu dengan yang lainnya. Sigung yang memulai percakapan dengan pertanyaan sedari tadi berusaha menunggu dengan sabar. Cerita pun dimulai ...

"Aduh, keluarinnya pelan-pelan, napa? Benjol nih pala, kepentok. Ah, udahlah langsung cerita ae. Gue bakal ceritain pedang itu dulu, ehem," Ning mulai bercerita.

"Singkatnya, pedang ini tuh dibuat untuk mengurung kita berempat di pulau ini."

"Yap, pedang ini gak bisa dicabut oleh siapapun kecuali pemiliknya dan orang yang sedarah dengan pemiliknya. Selain itu, ada peraturan lain yang berlaku. Kalau suatu saat pedang ini tercabut oleh orang yang sedarah dengan pemiliknya atau dicabut dengan pemiliknya itu sendiri, kita berempat bisa bebas dan keluar dari pulau kurungan ini. Makanya ada gempa bumi sama kubah transparan kubah ini sirna tiba-tiba. Ngerti, kan?"

Yang lain pun mengangguk-ngangguk, entah mengerti atau tidak.

"Tapi, ternyata bukan itu doang. Sebelumnya, kita gak tau maksud lain dari bebas dan bisa keluar dari pulau ini," kata Neng.

"Lah, emang ada maksud lain apaan?" tanya Kapten penasaran.

"Ya, dipinyit lagi disini, lebih sempit lagi tempatnya. Kita bakal ngikut kemana aja bocah ini pergi. Kayak anak ayam aja," sahut Nong menggerutu sambil menunjuk pedang Poi.

"Kalo gitu artinya yang punya pedang sedarah sama Poi dong?"

"~poi?" kata Poi sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Hooh bener, baru tau gue kalo Sigung pinter," kata Neng.

"Idih, iri? Bilang bos!"

"Idih, siapa yang iri. Mo'on maap gue juga pinter, blek," kata Neng sambil menjulurkan lidah meledek.

"Terus pemilik aslinya siapa dong?" tanya Ajudan yang penasaran.

"Iya sama gue mau nanya itu juga. Sama ini, kenapa kalian dikurung? Pasti ada alesannya, kan?" tanya Kapten yang ikutan penasaran.

"Mereka noh, kalah perang! Gue ikutan kena kutukan mereka!" kata Bloo dengan amarah khasnya.

"Buset. Santai, pak! Santai, santai ..." kata Nong yang kaget.

"Hah, perang? Kapan perangnya? Apa hubungannya?" celetuk Ajudan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Gara-gara lo Pulau Apung atas yang biasa buat gue refreshing dikontrak sama kalian. Mana gak bayar sewa!"

Ketiga penyihir itu kehabisan kata-kata karena pernyataan itu memang benar. Tiba-tiba para penduduk memasuki ruangan singgasana dan memotong teriakan Bloo yang kesal serta mengalihkan pandangan semua orang di ruangan itu.

Gue ngapa-ngapain juga nggak! Dasar penyihir songong! gumam Bloo penuh dengan amarah.

Tapi gumaman itu hanya dianggap angin lalu oleh semua orang disitu karena melihat nampan-nampan besar yang mengumbar wangi super menggoda. Para penduduk pulau itu memberikan kudapan sederhana untuk menemani mereka berbincang. Dengan ramah mereka melayani semua orang di situ. Termasuk tiga penyihir yang jadi musuh bebuyutan raja Bloo. Setelah diinterupsi giliran Neng pula lanjut bercerita.

"Si pemilik pedangnya itu, panglima besar kerajaan dari kerajaan yang jauh itu. Dia itu satu dari empat panglima hebat, malah dia yang paling kuat waktu itu. Dia itu setia banget sama raja kerajaan. Makanya waktu adek raja sah kudeta, panglima hebat ini berontak. Dan kita yang jadi lawan panglima yang dukung pemerintahan yang sah."

"Bentar-bentar, jadi lo bertiga itu anak buah raja jahad yang ngambil kekuasaan paksa waktu itu?!" tebak Sigung dengan nada tinggi.

"Uh, i-iya," si Neng jadi gugup.

"Oh, baguslah. Mayan dikurung di pulau ini. Siapa suruh ngebela yang jahad? Untung bapaknya Poi hebat."

"Asem lo ye, kita udah tobat tau! Lagian emang bener itu bapaknya Poi? Belom tentu!" kata Nong gak terima.

"Waktu itu kita dimanfaatin doang sama raja jadi-jadian. Kita mah, masih polos."

"Halah, polos mbahmu!" kata Sigung yang tidak terima dengan alasan mereka.

"Mana ada orang polos disuruh bunuh orang juga mau?"

"Udah-udah jangan berteman," kata Ajudan berusaha melerai.

Di malam itu, suasana singgasana raja jadi ramai orang dan sangat bising. Ledek meledek, umpat mengumpat, sudah tidak jelas lagi. Singgasana Bloo sudah beralih fungsi menjadi jadi pasar dan tidak ada wibawa-wibawanya sama sekali.

Lesehan terpampang, makanan sana sini, kayak saung aja. Untung Bloo adalah raja yang merakyat tidak peduli bagus atau tidak tempat duduknya dan tidak harus duduk di singgasana. Yang penting duduk, begitulah si Bloo. Walau pemarah, bukan berarti sombong.

To be continued
***

Ehem, pantun time!🎉

Pagi-pagi ngadon tepung🍞
Siang-siang nangkep kepompong🦋
Enak, ya Pulau Apung?
Punya pemimpin merakyat dan tidak sombong👍

(Emang pemimpin kita sombong? Pemimpin kite juga merakyat kalee!)

Yang setuju angkat kaki👣, tangan aja juga bole🙄. Kalo gak setuju juga bole, tapi tetep komen yang sehat yaa👌

Yang baru mampir, selamat datang!✨Semoga kalian terbiasa dengan jokes receh author dan pantun nyeleneh yang sebenarnya berbobot:)

Kalau (ada yang) penasaran dengan IG author silahkan mampir ya!🌻
@vi4rts
@fluffvian

See you!

POi the LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang