Sudah seminggu Mark berada di negeri yang dijuluki the city never sleeps itu. Tandanya, sudah seminggu pula ia dan Gigi berjarak belasan ribu kilometer, tidur di dua benua yang berbeda, dengan perbedaan zona waktu yang begitu jauh. Disaat Mark tengah menyapa malam, Gigi baru saja bertemu paginya. Ketika Mark terjaga, Gigi sudah tenggelam dengan mimpinya. Dengan jarak belasan ribu kilometer itu pun, mereka masih tak saling menghubungi. Untuk sekadar menyapa dan bertanya kabar pun tidak.
Padahal nyatanya dua orang itu sangat sangat ingin mendengar suara satu sama lain. Iya, Ego mereka sedang tinggi tingginya. Terlebih mengingat perbincangan mereka via telepon terakhir kali. Perbincangan yang sebenarnya salah paham tapi memperparah pertengkaran mereka, juga meyakinkan Gigi untuk berpisah dengan Mark.
Mark mendudukkan dirinya setelah sedari tadi sibuk bolak balik ikut bersama sutradara untuk melihat setting studio juga tempat yang telah tim produksi siapkan. Sehari setelah dia mendarat di New York, semua pekerjaan yang selama ini ia tunda karena berada di Indonesia seketika seperti mengejar ngejarnya. Dari meeting dengan home production, meeting denga pihak publisher tentang bukunya yang akan naik cetak lagi, makan siang dengan pemeran utama, dan—oh ya ia juga sempat melakukan satu book sign di brooklyn college. Semingguan ini dia benar benar merasa lelah karena seluruh energinya digunakan untuk bersosialisasi.
Agenda hari ini memang baru saja selesai, saat hendak menelpon Tendra untuk menjemputnya dan makan malam bersama, pria dengan tangan penuh tato itu sudah muncul lebih dahulu di depannya. "ayo balik, I'm freaking hungry right now" ajak Tendra kemudian meninggalkan Mark agar pria kacamata itu segera mengikutinya.
Karena lapar yang menghadang, dua pria itu sengaja mengambil tempat makan yang berada di salah satu mall yang dipenuhi foodcourt terbuka. Karena Mark yang sudah kehabisan energinya untuk bersosialisasi——bahkan untuk sekadar bertanya——akhirnya dia membiarkan Ten untuk memilih rumah makan mana yang akan mereka tempati. Mexican food? no, halal food? no, grilled meat? no. sushi? no, Mark mengikuti kemanapun kaki Tendra melangkah. Sebenarnya dia ingin bilang stop saat mereka melewati rumah makan daging panggang, tapi sepertinya Mark benar benar lelah sehingga dia memilih untuk bungkam.
"lo ma——"
"nah itu" tunjuk Tendra pada satu rumah makan sedang yang berukuran sedang dan tak ramai.
"yuk makan disitu, katanya enak" ajak Tedra
Kini dua orang itu tengah duduk sambil menunggu pesanan mereka diantar. Dua paket hamburgers, setengah loyang pizza, dan dua cokes untuk setiap mereka. "Mark" panggil Tendra, memecah keheningan diantara mereka.
Mark hanya berdeham sembari melihat handphonenya.
"don't you miss Gigi? chat or call her" timpal Tendra.
Tendra tau alasan Mark kesini sendirian, tanpa dia tanya pun Tendra sudah bisa menebak. Karena sejak menikah dengan Gigi, Mark malah menjadikan New York yang awalnya kota kesayangannya jadi kota tempat pelariannya bila dia sedang tidak baik baik dengan Gigi. Terbilang jauh dan pricey memang dibanding dia kabur ke Bandung atau Surabaya. Mungkin dia pilih New York, karena New York is his another home aside Gigi.
"Ten..."
"gue tau lo uring uringan gini karena kangen dia, lo cepet capek karena pikiran lo setengahnya mikirin dia disana" jelas Tendra.
"you try hard to hide it Mark, but your eyes couldn't lie" sambung Tendra.
Tak lama setelah Tendra berucap, pesanan mereka datang. Seraya menata makanan mereka, Tendra terus mencerocos menunjukkanrasa ibanya pada Mark yang sepertinya sebentar lagi bisa burn out dengan semua kepadatan jadwalnya di New York.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect You ; Second Date II
Fanfiction; Sequel of Second Date Dunia ini lucu sekali bukan? Every woman calls out "woman support woman" and a second after they demand a perfection from other women. Where is the freaking "woman support woman" that they are calling for? Kelanjutan dari ki...