Mark keluar dari unit apartementnya dengan keadaan rapih di jam 10 pagi. Dia juga tak sengaja pas pasan dengan Tendra yang sepertinya baru saja balik dari olahraga, terlihat dari jaket olahraga yang dia gunakan juga handuk kecil yang tersampir di lehernya. Ah iya, Mark memindahkan unit apartementnya di gedung apartement Tendra sehingga ia mudah meminta tolong pada temannya itu ketika ia berada di Indonesia.
"hey, where you gonna go?" tanya Tendra.
"Church" jawab Mark simple.
"owh, happy sun——"
"do you know where the good church that suit me well?" tanya Mark
Tendra tergelak "in case you forgot that I'm a Buddhist, Mark"
"owh, sorry" setelah itu Mark pun berlalu pergi menuju lift yang ada di ujung koridor.
Tiba tiba Tendra berteriak "jangan lupa sarapan!" serunya yang hanya dibalas dengan acungan jempol oleh Mark.
Pagi ini, pria itu memutuskan dirinya untuk pergi beribadah. Mencari ketenangan dari satu satunya sumber ketenangan abadi, meminta pentunjuk dari Dia yang serba tahu. Sebenarnya Mark tau ke gereja mana dia harus pergi saat di New York, dia di New York bukanlah orang kemarin sore. Perkara menanyakan gereja yang bagus untuknya ke Tendra sebenarnya hanya basa basinya saja. Ya, setidaknya setelah ceramah Tendra semalam, mereka tetap jadi teman kerja.
Gereja tempat dia beribadah tak jauh dari lokasi apartementnya, masih sekitaran 101th Broadway avenue yang bisa ditemukan di kawasan sekitar Columbia University. Jadi jalan kaki dengan melewati beberapa tikungan pun sudah cukup.
Disaat orang orang keluar dari gereja, dia sendiri yang melwan arus memasuki gereja tersebut. Perlahan lahan jemaat disana keluar dan menyisakan sepi. Mark mengambil duduk di salah satu kursi yang biasa dia tempati. Matanya sempat bertemu dengan seorang pria tua yang juga jemaat disana, mereka hanya saling melempar senyum kemudian kembali sibuk dengan kegiatan masing masing.
Mark duduk, menautkan kedua tangannya, kemudian mengangkat tautan itu setinggi dada, lalu memejamkan matanya perlahan. Batinnya pun mulai berdoa dalam diam, mengeluarkan semua keluhan keluhannya, juga meminta yang terbaik pada-Nya.
Hingga dia tersadar, dalam doanya dia menangis.
__________________
Malam selanjutnya Gigi punya janji makan malam sahabatnya. Sahabatnya? Siapa lagi kalau bukan Karina. Karena dua minggu tak bertemu perkara jadwal Karina yang begitu padat, akhirnya mereka bisa bertemu dan menikmati sajian sushi di restaurant jepang.
Karina mengernyitkan dahinya saat Gigi berjalan mendekati meja mereka. Gigi dengan hoodie kebesaran yang sampai menutupi shortpantsnya, rambut yang dicepol, juga sneakers air jordan yang menutupi kakinya.
"kenapa lo lihatin gue segitunya?" tanya Gigi sambil meletakkan tasnya lalu mendudukkan dirinya di kursi depan Karina.
"ini elo? beneran Gisella sahabat gue?" tanya Karina.
"menurut elo gimana?"
Karina tergelak masih tak menyangka melihat sahabatnya yang bisa berubah dalam 2 minggu.
"kenapa? gue gendutan banget ya?" tanya Gigi sembari membolak balikkan menu.
Lagi lagi Karina tertawa, dia menggeleng kuat. "gak, cuman Gigi sahabat gue yang gue kenal tuh lebih sering pakai crop top dengan jeans panjang, atau sweater sama mini skirt, terus wedges" jelas Karina.
"sekarang malah kelihatan beda style nya" komen dia kemudian menyebutkan pesanannya pada pelayan yang sedari tadi menunggu.
Setelah Pelayan itu pergi, Karina kembali menatap Gigi curiga. Ia memicingkan matanya dan mendekatkan wajahnya dengan Gigi. Yang lebih aneh lagi, wanita beranak satu itu malah mengendus ngendus wangi Gigi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect You ; Second Date II
Fiksi Penggemar; Sequel of Second Date Dunia ini lucu sekali bukan? Every woman calls out "woman support woman" and a second after they demand a perfection from other women. Where is the freaking "woman support woman" that they are calling for? Kelanjutan dari ki...