Surat-suratan yang berisi banyak pertanyaan Draco dan sedikit jawaban terus berjalan sampai beberapa minggu setelahnya. Draco merasa Harry semakin gelisah setiap harinya, dan dia berusaha sekeras mungkin untuk selalu menenangkannya dengan tidak terang-terangan menyuruhnya untuk tenang (karena jika begitu, Harry malah akan semakin kesal dan marah). Hermione dan Weasley sepertinya tidak begitu membantu soal masalah ini, jadi semuanya bergantung pada Draco untuk tetap membuat Harry tenang dan tidak berderap kabur dari rumah kerabatnya untuk menggedor pintu Profesor Dumbledore dan menuntut jawaban.
Saat bulan Agustus tiba, Draco merasa kabur ke Bulgaria seperti ide yang sangat bagus.
Draco tengah menghitung mundur waktu saat dia bisa kembali ke Hogwarts, takut jika situasi seperti ini terus berlanjut, maka akan semakin parah kondisi Harry. Dan benar saja prasangka Draco.
Hari ini hari Senin, tanggal 3 Agustus, tiga hari setelah ulang tahun Harry yang ke lima belas, saat Ayah Draco pada akhirnya bergabung di meja makan untuk sarapan. Mata Draco memicing saat Lucius Malfoy masuk ke ruang makan, dengan sebuah senyum yang terulas di bibir, seolah sarapan dengan keluarganya, istrinya yang sudah jarang dia temui, dan anak laki-lakinya yang begitu membencinya, adalah aktivitas yang begitu normal dia lakukan.
“Selamat pagi,” salamnya, kemudian duduk di seberang Ibunya dan mengibaskan tongkat sihir untuk menarik telur dan sosis ke piringnya.
Draco cuma melongo, tidak menjawab salamnya. Sedangkan Ibunya menjawab dengan nada yang cukup sopan, walaupun terdengar agak dingin.“Aku baru dengar dari Menteri Sihir pagi ini,” ucapnya, senyum di bibirnya jauh lebih merekah saat matanya menemukan milik Draco. “Ternyata temanmu, Mr Potter, dikeluarkan dari sekolah karena melakukan Sihir di bawah umur.”
Draco menjatuhkan garpunya di piring, membuat suara berdenting gaduh di ruangan yang sebelumnya sunyi. Keringat dingin mulai terasa.
“Apa?” cuma itu yang bisa Draco utarakan.
“Kamu tidak salah dengar,” Ayahnya mendengus. “Aku tidak suka mengatakan ini, Draco, tapi aku sudah memperingatkanmu sebelum ini. Si Potter itu bukan teman yang baik buatmu. Sekarang, saat dia sudah tersingkir, mungkin kamu akhirnya bisa sadar—”
Draco langsung bangkit berdiri, tidak membiarkan Ayahnya melanjutkan bicaranya. Dia berderap pergi ke kamarnya, segera mengambil pena dan kertas perkamen. Aquila berkukur ricuh begitu Draco masuk ke kamar, namun dia tidak punya banyak waktu untuk menanggapi burung hantu itu. Alih-alih, Draco langsung duduk di meja belajarnya dan mulai menulis.
Harry,
Father baru saja bergabung sarapan, dia bilang kamu dikeluarkan dari sekolah. Apa yang terjadi?!
- Draco
Dia menggulung perkamennya, tidak repot-repot untuk memberi cap sebelum akhirnya memberikannya pada Aquila, yang langsung sigap.
“Aku butuh mengirimkan surat ini pada Harry,” ujarnya, membiarkan burung hantunya mengambil surat tersebut dengan paruhnya. “Secepat yang kamu bisa. Karena ini penting sekali.”
Aquila menundukkan kepalanya patuh dan dia pun segera terbang, mematuhi perintah Draco dengan terbang secepat yang ia mampu. Draco menatap burung hantunya itu sampai dia menghilang di kejauhan, dadanya masih saja berdetak dengan kencang.
Apa Harry benar-benar sekacau itu sampai dia menggunakan sihir di luar sekolah? Memang terdengar seperti dia sih—gampang melakukan tindakan tanpa pikir panjang—tapi selama ini, setiap dia berada dalam masalah seperti ini, dia selalu saja dia berhasil lolos. Misalnya kejadian menggelembungkan bibinya itu, walau Draco yakin pasti Kementerian tidak akan memaafkan Harry kalau kejadian itu terjadi saat ini, dimana masyarakat kini menganggap Harry sebagai orang gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do It All Over Again (INA Trans)
FanfictionYang Draco inginkan adalah sebuah jalan keluar. Jalan untuk mengulangi semuanya dari awal, dan untuk menghapus semua kesalahan yang pernah dia lakukan selama belasan tahun terakhir. Di umurnya yang ke sebelas, Draco menerima surat dari masa depan ya...