Hari-hari menuju pemakaman Dumbledore adalah hari-hari yang paling damai selama Draco berada di Hogwarts. Kelas-kelas dan semua ujian dibatalkan. Beberapa siswa malah sudah dijemput pulang oleh orang tua mereka—termasuk si kembar Patil dan Smith—namun, beberapa memilih untuk tetap tinggal, seperti Finnigan yang sampai repot-repot bertengkar dengan Ibunya agar dapat diizinkan tinggal sampai pemakaman Dumbledore (Ibunya baru setuju ketika berhasil mendapatkan penginapan di Hogsmeade untuk berada di dekat anaknya, sesuatu yang hampir mustahil karena semua penyihir dari seluruh Negeri berkumpul di Hogsmeade untuk menghadiri pemakaman).
Draco menghabiskan hari-harinya bersama teman-temannya, bahkan dirinya sempat kagum pada kedekatan grupnya: Ginny, Ryan, Luna dan Yurika kini sering sekali berkumpul bersama mereka, begitu juga Longbottom sampai Viola, Yatin, Zoe dan Carina, Abbas, Demelza Robins dan beberapa siswa Hufflepuff yang sebelumnya tidak mereka kenal namun dekat dengan Demelza dan Abbas.
Draco benar-benar penasaran kapan memangnya Abbas dan Demelza jadi dekat. Saat Draco bertanya pada mereka apakah mereka berpacaran, Abbas memandang Draco aneh dan Demelza ketawa cekikikan.
"Merlin, mana mungkin," tawanya terbahak lalu menatap Abbas. "Bahkan kalau kita punya chemistry-pun tetap tidak mungkin. Abbas kan lagi tergila-gila dengan Killian."
"Mana ada!" Abbas mengelak, walaupun pipinya langsung memerah.
"Killian?" tanya Draco, menaikkan alisnya. "Bukannya itu cowok Hufflepuff berambut hitam yang suka kamu bawa-bawa ke meja Slytherin itu?"
Demelza membuka mulutnya namun Abbas langsung menutupinya agar Demelza tidak bicara macam-macam.
"Aku tidak suka dia!" desisnya sambil membelalakkan mata. "Jangan dengarkan si Demelza!"
Draco memandangi wajah Abbas, lalu ada sesuatu yang aneh di raut wajahnya, membuat Draco mengernyit.
"Kamu tahu kan tidak ada salahnya kalau kamu suka dia?" ujar Draco sambil mengedikkan bahunya, membuat pundak Abbas jadi tegang. "Kita tidak bisa mengontrol perasaan kita. Lagipula, sepertinya dia anak yang baik. Kita ini lagi menuju masa perang, mate. Kalau memang punya perasaan jangan mengelak, atau kita akan hidup dalam penyesalan."
Abbas hanya memandangnya tanpa bisa menjawab. Draco tersenyum sekilas memberi semangat sebelum meninggalkan mereka berdua sendirian.
Dirinya menemukan Harry, Hermione dan Weasley duduk di tepi danau, untuk kali pertama setelah sekian lama hanya mereka bertiga. Draco mengecup puncak kepala Harry sekilas sebelum akhirnya bergabung dan duduk di samping pacarnya.
"Hei," sapa Harry sambil tersenyum. "Habis dari mana?"
"Menjalankan peran sebagai tokoh teladan para Slytherin," dirinya menyeringai. Ketika Harry hanya mengernyit, Draco menambahkan. "Tidak berbahaya kok, serius. Aku cuma berusaha menjadi seperti Ginny padamu waktu itu, untuk menyadarkan Abbas."
"...Oh," Harry menggumam, lalu mengerjap begitu memahami apa maksudnya, lalu mendengus. "Hati-hati, jangan bikin anak orang jantungan."
"Aku pelan-pelan memberitahunya," Draco mengedikkan bahu. "Tidak seperti gadis berambut merah yang blak-blakan itu..."
Tapi Draco segera menghentikan kata-katanya begitu melihat Harry yang memandangnya dengan begitu intens. Akhir-akhir ini sering terjadi, Draco memergoki Harry memandangnya namun dengan intensitas yang begitu tajam, seolah Harry sedang memikirkan sesuatu yang menghantuinya. Tatapan itu bermula sejak malam saat Dumbledore meninggal, membuat Draco bertanya-tanya apakah dirinya yang membuat Harry menatapnya begini, ketika Draco siap mengorbankan hidupnya untuk Harry saat Snape ingin menyerangnya. Tapi itu bukan kali pertama Draco melakukannya, kan? Tidak mungkin Harry seterkejut itu karena hal itu kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Do It All Over Again (INA Trans)
FanfictionYang Draco inginkan adalah sebuah jalan keluar. Jalan untuk mengulangi semuanya dari awal, dan untuk menghapus semua kesalahan yang pernah dia lakukan selama belasan tahun terakhir. Di umurnya yang ke sebelas, Draco menerima surat dari masa depan ya...