Draco berdiri di depan cermin keesokan paginya, merapikan jasnya sesuai yang dia inginkan ketika suara Ibunya menyadarkannya dari lamunan.
"Duh, anak Mother kok tampan sekali ya?" ujarnya sambil bersandar pada bingkai pintu kamar Draco, memandanginya dengan senyum simpul di bibirnya. "Padahal rasanya baru kemarin kamu umur sebelas tahun dan berceloteh soal anak laki-laki bernama Harry yang baru kamu temui di sekolah."
Pipi Draco memerah, lalu mengernyit. "Terus sekarang aku apa? Remaja yang masih berceloteh soal anak laki-laki yang sama?"
"Bukan hanya itu," Ibunya menggelengkan kepalanya. "Kamu tumbuh menjadi seorang pria yang luar biasa. Yang begitu kuat dan sabar mengejar apa yang kamu inginkan. Termasuk laki-laki yang kamu sayangi."
"Gampang Mother bicara begitu," gumamnya. "Mother kan orang tuaku."
"Remus ternyata benar," ujar Ibunya, sedikit sedih. "Ternyata kamu tidak bisa mendengarkan pujian yang diberikan padamu."
Draco mengerjap, tidak tahu harus merespon bagaimana. Namun ternyata Ibunya memang tak mengharapkan jawaban. Alih-alih, beliau berjalan mendekat sampai berdiri di sampingnya. Draco menghadapnya, membiarkan Ibunya merapikan bajunya.
"Mother sangat bangga padamu," ujarnya dengan lembut. "Harusnya kamu juga bangga pada dirimu sendiri. Kamu begitu spesial, Draco. Dan Mother bersyukur bisa menjadi orang tuamu."
"Jangan—" Draco bingung mau menjawab bagaimana. "Aku—"
"Sudahlah," ujar Ibunya, tersenyum lalu merapikan rambut Draco. "Dengarkan saja apa yang Mother katakan, sekali ini saja."
Draco terdiam, masih terdapat kernyitan di dahi.
"Loh, ini apa?" tanya Ibunya tiba-tiba sambil melihat kalung yang ia kenakan. Draco mengerjap.
"Dumbledore memberikannya padaku," ujarnya. "Katanya ini warisan keluarga Black? Namanya kalung Kebenaran Hati, ketika kita menggenggamnya dan memikirkan orang yang kita sayang, kita bisa melihat bayangan mereka dimanapun mereka berada."
"Rasanya pernah dengar," ujarnya tambah terkejut. "Ibuku pernah bercerita soal kalung ini, walaupun aku sendiri belum pernah melihatnya. Katanya... berbahaya. Bisa dibayangkan, di keluarga Black kan selalu tidak pernah terpisah satu sama lain. Jadi, kalung ini biasanya dipakai untuk mereka yang sudah menikah tapi mencintai orang lain yang tidak pantas untuk bersanding dengan keluarga Black."
"Oh," ujar Draco membelalak. "Makanya namanya begitu. Aku sempat bertanya soal namanya."
"Iya, benar," Ibunya mengangguk. "Maka dari itu, siapa yang benar-benar disayangi oleh seseorang akan terlihat. Kadang-kadang bahkan ketika mereka sama sekali tidak mengakuinya di depan publik." Ujarnya, lalu tampak ragu-ragu sejenak sebelum menatap Draco. "Boleh Mother coba?"
Draco mengangguk, lalu melepas kalungnya dan memberikannya ke Ibunya. Ibunya mengamatinya sejenak sebelum mengenakannya dan menggenggam liontinnya lalu memejamkan mata. Draco menatap raut wajah Ibunya, bertanya-tanya apakah Ibunya sedang memikirkan Ayahnya. Pertanyaan itu membuatnya merasa aneh.
Akhirnya, Ibunya membuka matanya lagi, mengamati liontin yang digenggamnya lalu membelainya lembut. "Hadiah ini begitu berharga," katanya. "Harus berterima kasih pada Dumbledore. Kapan beliau memberikannya padamu?"
"Scrimgeour kemarin ke rumah keluarga Weasley," Draco menjelaskan. "Sepertinya batas waktu tiga puluh satu hari untuk menahan peninggalan Dumbledore sudah habis, makanya mereka tidak punya pilihan lain selain memberikannya pada kami."
Narcissa tampak kesal, sudah sering dia menyuarakan ketidak-sepakatannya mengenai Kementerian yang seenak-jidat menahan warisan keluarga yang penting. Namun kali ini Narcissa tidak berkomentar selain mengembalikan kalungnya ke tangan Draco.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do It All Over Again (INA Trans)
FanfictionYang Draco inginkan adalah sebuah jalan keluar. Jalan untuk mengulangi semuanya dari awal, dan untuk menghapus semua kesalahan yang pernah dia lakukan selama belasan tahun terakhir. Di umurnya yang ke sebelas, Draco menerima surat dari masa depan ya...