Draco menghabiskan liburan musim panasnya di ruang baca Manor. Dia selalu saja menyukai tempat itu. Teringat olehnya saat dirinya berumur lima tahun dan mengendap-endap dari kamarnya di malam hari, dengan selimut membalut tubuhnya dan boneka naga di tangan, berjalan di antara lemari untuk membaca buku-buku yang dia sendiri belum begitu paham, sampai Ibunya memergokinya dan menyuruhnya kembali ke kamar. Atau tidak, Draco ketiduran di lantai ruang bacanya.
Namun akhir-akhir ini, Draco kebanyakan sudah mengerti apa isi bukunya, dan dia memanfaatkan hal itu sebaik mungkin dengan membaca dan memahaminya banyak-banyak.
“Apa kamu berencana menamatkan semua buku yang ada di sini sebelum tanggal 1 September?” tanya Ibunya di suatu siang, setelah meletakkan secangkir teh di depan Draco.
“Mana mungkin,” Draco memutar matanya, namun dengan senang hati mengambil secangkir tehnya. “Aku cuma baca buku yang bermanfaat untukku, tentu saja.”
“Bermanfaat untuk apa, sebenarnya?” tanya Ibunya, sambil melirik buku yang kini sedang dibaca Draco.
Draco menggigit bibir bawahnya, menahan dirinya untuk cepat-cepat menyembunyikan raut wajah mencurigakan dari Ibunya. Dia masih belum bilang siapa-siapa soal apa yang coba dia lakukan, bahkan ke Harry pun juga belum, karena Draco juga tidak yakin akan rencananya. Namun Narcissa Malfoy adalah seseorang yang dapat Draco percayai. Dan ketika Draco menatap mata Ibunya itu, dirinya jadi tidak tahan untuk mengatakannya.
“Aku sedang mencoba belajar Legilimency,” dia mengaku cepat-cepat.
Ibunya menaikkan kedua alisnya, terlihat terkejut dengan jawaban Draco.
“Lumayan sulit loh,” ujarnya. “Boleh Mother tahu untuk apa?”
“Karena dengan itu, aku bisa lebih mudah mengajari Harry Occlumency,” jelas Draco. “Pikiran Harry terlalu rentan untuk dimasuki. Dan sekarang, karena bahaya semakin besar, aku harus lebih berusaha melindunginya.”
“Begitu ya,” Ibunya mengangguk, tampak menimbang. “Sebelum ini dia tidak pernah ada yang mengajari?”
“Siapa yang mau mengajari? Kerabat muggle–nya? Ayah baptisnya yang jadi buronan?”
“Iya juga sih,” kata Ibunya. “Mother tahu kamu seorang Occlumens yang ahli, sayang, tapi Legilimency ini lebih susah dari itu loh. Mother saja tidak bisa, Ayahmu juga. Ada beberapa orang yang bisa, tentu saja, tapi itu karena mereka punya bakat sejak lahir, atau mereka benar-benar sangat kuat.”
“Aku tahu,” Draco menghela napas. “Dan susah sekali rasanya belajar sendiri saat aku tidak bisa melatihnya ke siapa-siapa. Kalau latihan sendiri sih aku bisa—tapi dari mana aku tahu aku berhasil jika tidak ada pikiran orang lain yang bisa kutembus?”
“Well,” Ibunya berkata lambat-lambat. “Kamu bisa melatihnya pada Mother, kalau kamu mau.”
“Yang benar?” tanya Draco, dadanya berdebar karenanya. “Mother mau?”
“Jujur saja, Mother cukup khawatir,” ujar Ibunya dengan senyum yang agak dipaksakan. “Pikiran kan salah satu tempat yang paling privat, dan dari kecil Mother sudah di ajari untuk melindungi pikiran kita sendiri, seperti Mother yang mengajarimu cara melindunginya. Tapi kamu ini anakku. Jadi kalau Mother mengijinkan seseorang untuk memasukinya, satu-satunya orang itu adalah kamu.”
Draco tersenyum, lalu menyentuh tangan Ibunya lembut.
“Terima kasih, Mother,” ujarnya. “Semua ini sangat berarti untukku.”
“Apa kamu bisa melakukannya tanpa tongkat sihirmu?” tanyanya, mengernyitkan dahi. “Mother tahu memang ada beberapa teknik yang berbeda—yang paling efektif adalah yang pakai mantra dan menggunakan tongkat sihir. Tapi teknik itu sungguh susah karena butuh fokus yang besar.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Do It All Over Again (INA Trans)
FanfikceYang Draco inginkan adalah sebuah jalan keluar. Jalan untuk mengulangi semuanya dari awal, dan untuk menghapus semua kesalahan yang pernah dia lakukan selama belasan tahun terakhir. Di umurnya yang ke sebelas, Draco menerima surat dari masa depan ya...