36. The Truth Untold (part 1)

19 6 5
                                    

Trigger Warning: Talking about bullying, talking about self harm.

*******

Saat Rae pulang ke rumahnya diantar oleh Jimin, perasaannya sudah jauh lebih baik. Dia belum mau menceritakan kisahnya hari ini kepada siapapun, termasuk Jimin walaupun Jimin sudah mengetahui alasan kenapa Rae bisa sampai mendapatkan serangan panik.

Rae diam sepanjang perjalanan dan Rae diam ketika dia memasuki kamarnya. Dia hanya mengucapkan kata terimakasih kepada Jimin lalu menutup pintu kamarnya pelan.

Jimin terpaku berdiri di hadapan pintu kamar Rae, ingin sekali ia meminta maaf atas sikapnya yang telah menciumnya secara tiba-tiba tanpa persetujuan dari Rae.

Ken yang sudah mendengar kabar dari Jimin lewat chat sudah menunggu di ruang TV. Dia duduk dengan tubuh yang tegang, merasa khawatir, menunggu mereka sampai di rumah dengan selamat.

“Kamu gapapa?” Ken bertanya kepada Jimin yang masih menatap pintu kamar Rae, merindukannya.
Jimin menghembuskan nafasnya panjang dan berjalan menuju kursi yang berada di sebelah sofa panjang tempat duduk Ken.

“Bukannya Rae ya yang harusnya ditanya kayak gitu?” Jimin bertanya lesu kemudian duduk di kursi berhadapan dengan Ken.

“Nanti aku pasti tanya kalau dia udah mau ngomong, untuk saat ini aku tanya kamu dulu, kamu gapapa, kan,” ulang Ken tenang.

Jimin menundukan kepalanya, dia tidak mau menatap mata Ken yang mengingatkannya dengan mata Rae.

“Mas Ken mungkin pernah ngerasain yang sama kan,” ujar Jimin balik bertanya.

Ken menganggukan kepalanya pelan. “Iya, aku pernah lihat Rae waktu..” Ken menelan ludahnya, “..waktu dia kayak bukan dirinya sendiri,” lanjutnya lagi mencari kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan sikap Rae saat dia kambuh. “It’s the worst feeling, right?”

Jimin menganggukan kepalanya yang lesu setuju, itu memang perasaan yang sangat buruk.

“Minum?” Tawar Ken menyodorkan satu kaleng beer yang masih tertutup kepada Jimin. Jimin hanya menggelengkan kepalanya.

Suara pintu terbuka dengan keras memecah keheningan rumah. Seokjin terburu-buru masuk ke dalam ruangan dengan nafas yang hampir habis.

“Mana Rae?” Seokjin berseru langsung menghampiri Jimin dan Ken dengan wajah yang pucat dan mata yang terbuka lebar.

“Sssstt..” bisik Ken kepadanya sambil menaruh telunjuknya di depan mulutnya. “Jangan berisik, dia lagi di kamar, biarin aja dia istirahat dulu,” balas Ken di tempat duduknya.

Seokjin dengan gesit duduk di samping Ken dan mulai membombardir Ken dengan pertanyaan.

“Kenapa Rae? Apa yang terjadi? Kenapa kamu hanya chat aku kalau kamu harus cepet-cepet pulang karena Rae kena panic attack tanpa penjelasan lebih lanjut? Kamu tahu gak aku khawatir setengah mati,” bisiknya keras dengan wajah yang tegas. Jarang sekali Ken melihat sahabatnya seperti ini.

“Minum dulu nih,” tawar Ken lagi merasa risih dengan suara nafas Seokjin yang ngos-ngosan.

Seokjin menggelengkan kepalanya sama seperti Jimin sebelumnya ketika ditawari minuman, hanya saja gelengan kepalanya lebih agresif dari Jimin yang lesu. “Gak. Jawab,” serunya tegas.

“Aku juga belum tahu apa-apa Jin,” balas Ken sama tegasnya, “aku juga cuman dikabarin lewat chat doang sama Jimin,” lanjutnya sambil menunjuk Jimin yang duduk di hadapan mereka berdua, memasang wajah bersalah.

Keduanya menatap wajah Jimin meminta jawaban. Jimin menghembuskan nafasnya pelan, mempersiapkan ceritanya dari awal. Dengan suara yang parau Jimin berusaha menahan rasa sedihnya ketika dia menceritakan kepada Seokjin dan Ken kalau Rae sedang viral di internet dan kepopulerannya tersebut membuat beberapa orang menjadi membenci dan merundungnya.

7 Men in Her LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang