Hari sudah malam, langit-langit kamar Hoseok yang gelap terlihat dingin di mata Rae. Dia tidak biasa tidur di rumah orang lain. Sudah puluhan kali Rae membalikan badannya di atas kasur, mencari posisi yang nyaman agar dia bisa tidur, tetapi setelah 2 jam berusaha, sampai sekarang dia gagal akhirnya dia memutuskan untuk menyerah dan menatap langit-langit sambil mereka ulang kejadian tadi saat dia berbincang-bincang dengan ibu Hoseok.
Saat itu, Rae sedang mencuci piring di dapur rumah orang tua Hoseok, dia ditemani oleh Jiwoo yang sedang memotong kue untuk pencuci mulut dan ibu Hoseok yang sedang mengembalikan bahan masakan pada tempatnya masing-masing.
"Padahal gak perlu repot-repot, biar ibu aja yang cuci piring," ujar ibu Hoseok manis.
"Gapapa kok tante, tante kan udah capek masak," balas Rae sambil membilas piring yang penuh dengan busa.
"Enak gak masakan ibu?" Tanyanya dengan wajah yang berseri-seri.
"Enaaakk," jawab Rae jujur sambil membulatkan matanya lebar-lebar.
"Kapan-kapan ibu ajarin ya, jadi nanti kalau kamu udah nikah sama Hoseok kamu bisa masakin, soalnya dia suka masakan ibu."
Rae tiba-tiba saja menghentikan kegiatannya. Dia masih mencerna kembali kata-kata yang diucapkan ibu Hoseok barusan. Menikah? Pacar saja bukan.
Jiwoo tertawa renyah, mirip sekali dengan suara tawa adiknya yang biasa Rae dengar.
"Ibu nih, udah ngomongin nikah aja, mereka kan belum ngobrol sampe ke arah sana kali, Bu," jelasnya santai. Rae akhirnya bisa tersenyum mendengar pembelaan dari Jiwoo, tentu saja mereka tidak membicarakan pernikahan.
"Ya gapapa dong, kali aja emang jodoh," rengek ibunya kecil lalu mengelus punggung Rae pelan, seperti mengajaknya untuk menyetujui perkataannya.
Rae hanya bisa tersenyum dan kembali melanjutkan kegiatannya. Tersenyum tetapi hatinya meringis. Rasanya dia sudah berdosa sekali telah membohongi ibu Hoseok, sementara itu Hoseok dan para pria yang lain malah asik cekakak-cekikik di ruang keluarga. Menyebalkan.
"Rae kapan main ke sini lagi? Ibu sama Ayah kesepian di sini, Jiwoo juga kan tinggalnya di kota, terus dia selalu sibuk, gak pernah mau berkunjung, sama kayak Hoseok."
"Apaan sih, Bu? Baru juga aku pulang sebulan yang lalu," ucap Jiwoo protes.
"Kurang sering," balas ibunya kemudian dengan wajah jutek.
Rae hanya tertawa mendengar perselisihan kecil mereka berdua.
Keluarga Hoseok kelewat harmonis untuk Rae. Mereka terlihat bahagia dan penuh tawa saat mereka makan malam bersama.
Ayahnya banyak menanyakan hal menyangkut pekerjaan Rae, dan terlihat kagum dengan prestasinya sebagai koordinator tim produksi periklanan, dia banyak bertanya.
Ibunya kelewat ramah, menanyakan kabar keluarga Rae, dan berkaca-kaca saat Rae menceritakan kalau ayahnya sudah meninggal dunia. Padahal Rae tidak merasa sedih sama sekali, dia sudah biasa dengan kehidupannya yang tidak memiliki sosok ayahnya lagi.
Jiwoo dan suaminya penuh canda dan tawa, mereka sering membuat Rae tertawa dengan candaannya. Rae sangat senang menghabiskan waktu bersama mereka, hanya saja bagi Rae, mereka bukanlah siapa-siapa, hanya keluarga seorang teman saja, tidak lebih.
Rae hanya berharap kalau mereka juga menganggap Rae sama, hanya teman Hoseok yang tidak penting, agar mereka tidak kecewa kalau tahu Rae dan Hoseok tidak memiliki status apapun.
"Mudah-mudahan ya tante," hanya itu yang bisa Rae balas.
"Dibilangin jangan panggil tante, panggil ibu aja," ujarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Men in Her Life
FanfictionRae adalah seorang gadis sederhana yang bekerja sebagai koordinator tim produksi periklanan. Hidupnya hanya berfokus pada pekerjaan dan orang-orang disekitarnya. Ibu, kakak, sahabat kakaknya yang sangat tampan, sahabatnya yang selalu ada untuknya, a...