28. Bully (2)

338 30 0
                                    

Up lagi nih!!!
Huaaa gak nyangka mau 1,5k readers 😭

Masih gak nyangka hiks...
Ayoo vote vote vote buat dukung aku biar semangat juga nulisnya.

Enjoy saat baca biar gak kelimpungan, soalnya alurnya agak berantakan pas aku baca ulang huhu.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Seringai kecil muncul dibibir Aruna saat melihat Zahra berjalan sendirian menuju toilet. Sudah lama dia tidak membully gadis itu, sampai dia lupa kapan terakhirnya dia membully Zahra.

Ditemani Saraswati dan Pertiwi, Aruna menghampiri Zahra dan menutup bilik toilet yang dimana disana ada Zahra yang sudah gemetaran.

"Kak Aruna? Ngapain disini?!" Zahra mencoba untuk kabur, namun Pertiwi menahannya dan mendorong gadis itu hingga tersungkur.

"Lama banget gak liat lo nangis karena gue, kangen ga?"

Zahra menggeleng cepat. Dia mendorong tubuh Aruna agar gadis itu menyingkir, namun tidak bisa. Demi apapun Zahra sangat takut. Apalagi tatapan ketiga gadis itu seakan ingin membunuhnya.

"Jangan apa apain aku, kak." Zahra meneteskan air matanya membuat Saraswati berdecak malas.

Tangannya menjambak rambut Zahra kuat hingga gadis itu berteriak kesakitan. "Gitu doang nangis. Kalau gini?" Saraswati memperkuat jambakannya. Dia suka melihat Zahra begini.

Zahra menahan nafasnya sebelum akhirnya berteriak keras karena Aruna dengan sengaja menggunting seragam dan roknya dengan asal. Wajahnya memerah bukan karena marah, tapi karena tidak tahan dengan semuanya. Pertiwi membekap mulut Zahra agar teriakan gadis itu teredam.

"MMPRGHHHH!"

Zahra menangis keras. Bahkan begini Aruna masih melanjutkan aksinya. Jambakan di rambutnya belum dilepas, bekapan yang membuat sesak, ditambah dengan Aruna yang menggunting seragamnya.

"Nice girls! you will go viral!" Aruna bertepuk tangan sambil tersenyum puas. Dia mengeluarkan handphone dari saku celananya dengan pelan sambil mengamati bagaimana wajah Zahra yang tersiksa.

"Cup, cup, cup baby...uuu we love to see you suffer, haha." Aruna mulai merekam dari bagian per bagian yang terekspos. Demi apapun harga diri Zahra terasa hancur sekarang.

"Kurang seru!" Saraswati merobek seragam Zahra yang sudah compang-camping itu, hingga terlihat bra berwarna hitam terpampang jelas. Mereka tertawa keras, saling tatap. Bahkan Pertiwi melupakan jika dirinya sedang hamil.

Sebenarnya, ini adalah hal yang paling Pertiwi inginkan dari kemarin. Ngidam? Yaps! Maka dari itu dia memprovokasi Aruna dan Saraswati.

"Mphh-KALIAN JAHAT!"

Zahra menggeleng merasa tidak percaya dengan semuanya yang terjadi. Dia memeluk badannya sendiri, meringkuk di pojok ruangan. Dia merasa malu.

"Ayolah Zahra, lo itu terlalu lemah, bergantung sama cowok-cowok yang dimana mereka bahkan gak suka sama kehadiran elo." Ucapan Pertiwi membuat Zahra terdiam. Apakah benar?

"Gak! Mereka bakal lindungin aku! Mereka selalu ada buat aku!" Zahra menegaskan begitu. Tangan yang masih memeluk badan, rambut acak acakan, dan mata sebab. Gadis itu nampak sangat kacau.

"Ohh, are you sure? Tapi sekarang para pangeran lo kemana?"

Zahra kembali dibuat bungkam. Menjawab saja tidak bisa.

"Dengerin gue Zahra. Lo bahkan bukan apa-apa bagi keluarga gue. Seenaknya lo bikin Rama dipandang buruk sama orang, maka ini akibatnya." Ancaman Pertiwi adalah akhir dari percakapan mereka. Setelah itu ketiga kembar bersaudara meninggalkan toilet dimana Zahra menangis kembali dan memeluk badannya semakin erat.

"Mami...Z-zahra capek," lirih Zahra. Dia tidak kuat tanpa Maminya. Zahra hanya bergantung pada Maminya. Zahra tidak pernah mendapatkan kasih sayang lebih selain dari Maminya.

"Kenapa mereka benci sama Zahra? Zahra gak salah, kan, Mi? Zahra tunangannya Ares, Mami yang bilang dulu kalau Zahra sama Ares bakalan sama-sama." Zahra mengusap air matanya. Dia merasa bingung harus bagaimana sekarang.

Sampai dia mendengar suara pintu terbuka, dan terpampang jelas seorang laki-laki dengan rambut lepek memasuki toilet.

"Lo---Zahra?"

Zahra memundurkan badannya. Dia memeluk kuat badannya kembali. "JANGAN DEKET-DEKET!" teriaknya. Dia menangis histeris.

"Ra, lo? Astaga!"

"JANGAN DEKET DEKET!" Zahra menggeleng merasa tidak nyaman. "AKU BILANG JANGAN, RAMA!"

Balarama mendelik. "Lo nyuruh gue jangan deket-deket gitu biar apa? Maaf, gue gak doyan cewek!" ketus Balarama. Dia membuka seragamnya kemudian menyelimuti tubuh Zahra yang terbuka.

"R-ram?" Zahra menatap Balarama dari dekat saat ini. Benar kata Zetta dan Zereta, Balarama sangat tampan jika dilihat dari dekat.

"Karena kakak gue?" tanya Balarama.

Zahra mengangguk kaku. "Jangan ngapa-ngapain mereka, Ram! Aku gamau gini lagi," ujar Zahra menahan lengan Balarama yang akan berdiri.

"Untuk kali ini mereka udah keterlaluan, Ra."

"Enggak! Aku emang pantes dapetin ini, Rama. Aku egois."

Balarama menatap sendu Zahra. "Ra, andai lo gak tunangan sama Zavares, lo gak bakal gini. Izinin gue sama Zavares sebentar aja, ya? Ada suatu saat nanti lo yang bakal sama dia, selamanya."

Zahra mendongak. "maksud kamu?" Dia merasa bingung dengan apa yang Balarama katakan.

"Gapapa. Sini gue bantu, itung-itung caper sama guru," Balarama mengangkat badan Zahra ke gendongannya. Ringan, itu yang dia rasakan.

Di koridor mereka menjadi pusat perhatian. Apalagi oleh Zavares, yang melihat dengan jelas seragam yang Zahra kenakan adalah seragam Balarama.

"Bangsat!"

Kaiden terkejut mendengar ucapan itu. Dia mencoba meraih lengan Zavares agar dia tidak ngamuk, namun terlambat. Berakhir dia harus mengikuti langkah Zavares.

"MANGGALA! GERALD! WOI LO BERDUA BANTUIN GUE!"

•••

Gimana part kali ini?

BalaResTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang