Start
—Hari dimana Agha harus kembali ke London sudah tiba, kini Arkha dan Zheya sedang mengantarkan Agha ke bandara. Terlihat sangat jelas di mata Zheya, jika perempuan itu memendam kesedihannya.
Agha mengusap surai rambut Zheya, memeluknya hangat serta memberi kecupan tulus di kening Zheya.
"Beberapa bulan lagi gue balik, Zhey."
"Hm."
"Udah jangan nang---"
"Siapa yang nangis?!"
Agha terkekeh pelan melihat reaksi Zheya yang mengelak. "Iya, iya, gak nangis cuna banjir dikit tuh mata." Agha mencubit pipi chubby Zheya yang membuat perempuan itu kembali mendengus sebal.
"Sebentar gue mau ngomong sama Arkha, lo duduk dulu disana."
Zheya menurut meski sebenarnya agak penasaran dengan percakapan apa yang akan mereka bicarakan.
"Gue gak minta banyak sama lo, cuma tolong jaga adek gue meski lo gak cinta sama dia, jangan kasarin dia, dia gak suka di bentak."
Agha menjeda sebentar, menghela napasnya dengan berat. "Dari kecil gue, Papah, Mamah, selalu kasih Zheya yang terbaik, selalu cari segala cara buat dia bahagia. Jadi kalau lo gak bisa buat Zheya bahagia bilang ke gue, jangan bilang ke Zheya, gue siap bawa pulang Zheya."
Kenapa ya? Dada Arkha seperti dihantam oleh batu besar yang bisa membuat tubuhnya remuk seketika. Entah kenapa Arkha tidak suka dengan kalimat terakhir yang Agha ucapkan. Mendengar Agha akan bawa pulang Zheya, Arkha seperti diselimuti oleh kemarahan.
"Maksud lo---"
Agha menepuk-nepuk pundak Arkha seiring senyumannya terbit. "Gue percaya sama lo, Ar."
"Gue titip Zheya, ya."
Arkha mengangguk tanpa menjawab itu. Kemudian barulah Agha memanggil Zheya kembali dan berpamitan pada Arkha dan Zheya karena sudah terdengar pengumuman keberangkatan pesawat Agha yang sebentar lagi.
Zheya melambaikan tangannya ke arah Agha yang mulai menjauh, tidak dapat dipungkiri air mata Zheya kembali jatuh deras di pipinya. Tak kuasa menahan tangisnya, Arkha mencoba memberanikan dirinya untuk memeluk Zheya guna menenangkan istrinya itu.
"Gak lama bang Agha pasti balik lagi, Zheya," kata Arkha seiring tangannya menepuk-nepuk lembut punggung Zheya yang bergetar.
"Ayo, mau pulang?"
Dengan hati-hati Arkha menarik tangan Zheya, menggenggam tangan mungil itu dengan erat sampai mereka sampai di mobil.
Entah kenapa hati Arkha berdesir setelah menggenggam tangan Zheya, ia merasa ukuran tangan Zheya sangat pas untuk ia genggam. Arkha jadi seakan enggan untuk melepaskannya.
"Tuhan, kalau memang benar Zheya yang terbaik, Arkha ikhlas."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Arzhey [ ✓ END ]
Jugendliteratur17+ Bagaimana jadinya jika seseorang yang begitu asing tiba-tiba saja menjadi teman satu atap? Terlebih tanpa sepengetahuan keduanya, tiba-tiba saja mereka dinyatakan telah dijodohkan. Haruskah Arkha merasa bersalah dengan Aurel kekasihnya, karena i...